Memutus rantai kekerasan tidak akan bisa dilakukan jika sistem hukum yang ada hari ini tidak inklusif atau melibatkan keragaman perspektif subyeknya. Melalui webinar dengan judul yang sama Memutus Rantai Kekerasan, Sri Agustine dari Ardhanary Institute memberikan gambaran tentang hukum yang seringkali tak dapat menjawab permasalahan yang dihadapi oleh kelompok minoritas gender dan orientasi seksual.
Agustine merujuk laporan komnas perempuan terkait kekerasan terhadap perempuan. Ia melihat lapisan bentuk kekerasan yang berkaitan erat dengan identitasnya sebagai perempuan. Perempuan mendapatkan kekerasan berbasis gender, juga karena jenis kelaminnya bahkan orientasi seksualnya.
Ketika berbicara mengenai orientasi seksual, perempuan yang heteroseksual pun juga sering mendapatkan paksaan seperti dipaksa menikah dengan orang yang tidak diinginkan. Ini juga termasuk penggolongan kekerasan terhadap perempuan berbasis orientasi seksualnya karena ia tidak bisa bersama dengan orang yang ia cintai bahkan jika orang itu adalah lelaki sekalipun. Agustine menawarkan untuk melihat konteks orientasi seksual dengan luas dan melibatkan segala aspek pemaksaan.
Hari ini, dalam mengakui adanya kekerasan yang terjadi tidak hanya disempitkan kepada terminologi kekerasan berbasis perempuan saja, namun juga mengakui adanya kekerasan berbasis orientasi seksual, ekspresi gender dan karakateristik seks (SOGIESC – sexual orientation, gender identity and sex characteristic). Kini laporan CEDAW dari Indonesia telah menggolongkan kekerasan terhadap perempuan berdasarkan perempuan biologis, sosial dan transpria. Maka ketika kita berbicara mengenai kekerasan terhadap perempuan, maka keragaman SOGIESC harus menjadi bagian dari gerakan hak asasi perempuan. Dengan demikian kita dapat melihat kompleksitasnya.
Seringkali pandangan masyarakat umum kita melihat seksualitas sebagai sekedar prokreasi saja dan tidak melihatnya sebagai sarana rekreasi. Agustine kemudian menceritakan pengalamannya tatkala melakukan pelatihan kepada guru-guru. Ia bertanya kepada guru yang ia temui (dalam konteks biner), apa tujuan lelaki dan perempuan menikah? Para guru menjawab dengan otomatis bahwa alasan seseorang menikah adalah untuk punya anak. Lantas jika sudah memiliki anak apakah berhenti berhubungan seksual? Disinilah para guru menjawab tidak. Disini kita menyadari bahwa urusan seks bukan hanya tentang prokreasi semata namun juga tentang rekreasi.
Berbicara tentang seksualitas tidak hanya praktiknya saja, namun berbicara tentang identitas gender jenis kelamin, budaya, politik dan sosial dimana masyarakat kita berada.
Konsep rekreasi yang tidak dianggap dalam pembahasan dan pemahaman mengenai seksualitas ditambah dengan adanya nilai nilai moral yang diinterpretasikan dari suatu agama yang memisahkan yang normatif dan yang non-normatif, maka akan makin mengukuhkan serta membenarkan kekerasan terhadap kelompok yang dianggap non-normatif.
Hingga hari ini, banyak data yang dikumpulkan oleh lembaga yang membantu mengadvokasi perlindungan berbagai kelompok minoritas SOGIESC, namun data ini seringkali tidak tersinergis dengan Lembaga hukum negara seperti Komnas HAM dan lainnya. Sehingga walaupun banyak data yang terkumpulkan namun rantai kekerasan akan sulit diputuskan karena sulitnya negara mengakui adanya kekerasan yang dialami oleh kelompok yang rentan.
Rantai kekerasan ini juga tak akan putus selama hukum yang ada hari ini tidak memiliki perspektif keadilan. Berbicara mengenai ilmu hukum yang ada di Indonesia, Agustine menuturkan bahwa hukum serta aparat penegak hukum termasuk jaksa yang ada di Indonesia ini bersifat positivistik sehingga sangat kaku dan tidak kontekstual. Semua sudah ada standar operator prosedur sehingga tidak melihat secara kontekstual kenapa suatu hal benar-benar terjadi. “Hukum postivistik ini harusnya diubah dengan hukum humaniora dimana viktimologi, kriminologi serta hak asasi manusia itu ada di dalamnya.”
Di fakultas hukum yang ada di Indonesia, HAM masuk ke dalam ilmu hukum dan hanya diajarkan sedikit saja. “Seharusnya keadilan masuk mata kuliah lmu sendiri di fakultas hukum.” Pembahasan soal HAM sendiri hanya banyak di fakultas ilmu sosial dan ilmu politik. Maka dari itu orang hukum sendiri sulit untuk mengintegrasikan dan menjawab permasalahan HAM ke dalam ilmu hukum.
Dalam kasus kekerasan seksual, dibutuhkan analisa viktimologi dan kriminologi. Namun analisa ini sulit untuk dimasukkan ke dalam ilmu hukum.
Selain itu, KUHP (kitab undang-undang hukum pidana) memandang perempuan dan kelompok minoritas sebagai kelompok yang terpinggirkan. Sedangkan manusia yang dianggap memiliki martabat adalah individu lelaki heteroseksual.
Perempuan, transpuan dan transpria yang menjadi korban kekerasan seksual tidak dilihat sebagai manusia yang utuh namun hanya tubuh seksual belaka. Mereka hanya dilihat sebagai objek bukan subjek. Hal ini tidak lepas dari cerminan pemikiran jurisprudence yang sangat maskulin. Bahkan hakim akan cenderung menghasilkan keputusan yang bersifat biner dan melihat perempuan sebagai objek yang lemah bukan sebagai subjek hukum.
“Istilah kesusilaan ini sangat problematik karena berkaitan dengan urusan moral agama dan budaya, sementara kekerasan seksual tidak bisa dipandang dari kacamata kesusilaan, Kekerasan seksual harus masuk kategori kejahatan terhadap kemerdekaan orang dan tubuhnya, seperti pembunuhan dan penganiayaan. Makna kesusilaan yang berlaku pada masyarakat saat ini cenderung menabukan sesuatu, namun kekerasan seksual tak seharusnya dianggap menjadi hal yang tabu,” jelas Naila Rizqi Zakiah, seorang praktisi hukum dan gender.
Situasi politik, sosial, ekonomi yang ada hari ini, berwajah lelaki dan terepresentasikan ke dalam yurisprudens. Hukum yang berlaku hari ini memiliki sudut pandang yang biner karena ditulis tanpa melibatkan perspektif yang inklusif.
Semenjak pandemi, kekerasan dalam rumah tangga semakin meningkat. Hal ini kemudian menjadi alasan untuk perempuan menggugat cerai suaminya. Gugatan cerai yang dilayangkan perempuan di pengadilan telah meningkat sebanyak 90%. Jika sebelumnya permohonan perceraian yang disampaikan, kini perempuan sudah mulai sadar hukum dan berani menggugat suaminya untuk cerai.
“Kesadaran perempuan terkait kasus kekerasan terhadap perempuan semakin meningkat. Walau penyelesaiannya tidak melalui jalur ligitasi, tapi kasus pidana yang dialami oleh perempuan digunakan untuk menggugat dan memutus lingkar kekerasan melalui jalur perdata,” jelas Agustine.
Dengan demikian kita perlu mewujudkan agenda untuk mewujudkan hukum yang adil. Melalui upaya Queering the Law, kita mencari dan menciptakan ruang-ruang hukum yang inklusif.
Queering the Law tak hanya menjadi agenda kerja kelompok SOGIESC saja namun juga menjadi agenda kerja hak asasi perempuan dan hukum berkeadilan gender. Hal ini dilakukan agar bisa diarusutamakan dan diintegrasikan ke dalam kebijakan.
Melalui Queering the Law, Agustine berupaya membongkar sistem hukum yang selama ini turut merepresi hak hak perempuan, transpuan dan transpria. Ia juga menawarkan bagaimana cara untuk menjawab permasalahan kekerasan dalam ranah personal menggunakan sistem yang sudah ada dengan mengubah bagaimana kita melihat korban kekerasan tidak sebagai objek, namun subjek hukum itu sendiri.
Tonton ulang siarang webinarnya di laman Perempuan Mahardhika di Facebook.