Momentum Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP) tahun 2024 menjadi pengingat pentingnya menyoroti isu-isu yang sering kali terpinggirkan, tidak diprioritaskan, bahkan diabaikan negara, termasuk kekerasan dan diskriminasi terhadap komunitas dengan ragam gender dan seksualitas.
Apalagi ditengah pemerintahan baru yang belum genap 100 hari namun bukannya menjawab kebutuhan mendesak pekerja perempuan maupun pekerja ragam gender dan seksualitas, pendekatan yang dibawa cenderung menempatkan komunitas ragam gender dan seksualitas sebagai ancaman negara. Narasi ini mengakar dari perspektif militer yang kini mendominasi pengambilan kebijakan. Narasi ini bukan sekadar tentang narasi politik atau kebijakan; ini soal kehidupan sehari-hari. Sejak awal, komunitas LGBTIQ+ telah menghadapi kekerasan yang sistematis. Dengan adanya label “ancaman”, risiko diskriminasi semakin meningkat, mengancam hak setiap individu untuk bekerja dengan martabat dan keamanan dan menunjukkan pelanggaran terhadap hak-hak pekerja yang paling mendasar.
Realitas pahit ini terjadi di tengah sistem kerja yang sudah memberatkan: status kerja kontrak jangka pendek, minimnya jaminan perlindungan hak, upah yang rendah, target kerja yang sangat tinggi, hingga pemutusan hubungan kerja yang semakin mudah dilakukan.
Diskusi Memperingati HAKTP 2024 diselenggarakan oleh Perempuan Mahardhika dengan tema “Kerja Layak yang Inklusif: Memperjuangkan Hak Tanpa Diskriminasi Berbasis Gender dan Seksualitas” menggarisbawahi pentingnya memperjuangkan hak-hak pekerja tanpa diskriminasi berbasis gender dan bermartabat bagi setiap orang. Acara ini menghadirkan pandangan dari berbagai narasumber yang aktif dalam memperjuangkan hak buruh dan komunitas LGBTIQ+.
Lindah dari Pelangi Mahardhika memaparkan realitas kerja yang penuh tantangan, terutama bagi kelompok LGBTIQ+. “Banyak teman harus menghadapi pungutan liar untuk bisa bekerja, dan setelah masuk, mereka dihadapkan pada kontrak kerja singkat, diskriminasi, dan kekerasan verbal,” jelasnya. Ia juga menyoroti ketidaksetaraan upah, larangan berserikat, hingga pelecehan berbasis orientasi seksual.
Salah satu cerita yang disampaikan adalah pengalaman pekerja lesbian yang diperlakukan tidak manusiawi. “Teman saya pernah dipanggil atasannya dan dikatakan, ‘Kamu mau kerja atau nggak? Jangan bawa sial di sini.’ Tekanan seperti ini tidak hanya mengganggu fisik tapi juga psikis,” tambah Lindah.
Bagi pekerja LGBTIQ+, diskriminasi bahkan terjadi sejak awal pencarian kerja. “Surat lamaran sering dilempar dengan hinaan, seperti ‘Kami tidak menerima orang aneh seperti kalian.’ Saat diterima kerja, tekanan berlanjut dengan pelecehan verbal, tuntutan untuk mengikuti norma tertentu, dan stigma yang merendahkan. Beberapa bahkan pekerja dengan ekpresi tomboy diminta mengenakan kerudung agar bisa tetap bekerja.”
Namun, ia juga menyoroti bagaimana pengorganisiran dapat memberikan kekuatan. “Ada teman yang mengalami diskriminasi berat di tempat kerja, tapi setelah bergabung dengan organisasi, dia bisa melawan. Kini, dia lebih kuat dan mampu menghadapi tekanan.”
Menurut Lindah, akar masalah diskriminasi ini terletak pada manajemen yang tidak memiliki pemahaman tentang SOGIESC, serta budaya patriarki yang mengakar kuat dan memicu homofobia. “Inilah yang membuat diskriminasi terhadap pekerja ragam gender dan seksualitas semakin parah,” tutupnya.
“Pekerja dengan ragam gender dan seksualitas harus mendapatkan tempat kerja yang layak tanpa diskriminasi. Tapi ini hanya bisa tercapai jika kita terus memperjuangkan hak kita bersama,” tambahnya.
Vivi dari Perempuan Mahardhika menegaskan bahwa kondisi yang diceritakan Lindah adalah pelanggaran terhadap prinsip kerja layak. “Kerja layak itu hak semua orang. Ketika hak ini dilanggar, hak untuk hidup layak pun terganggu,” ujarnya.
Menurut Vivi kerja layak adalah kunci untuk memenuhi hidup layak, namun situasi kerja di Indonesia jauh dari ideal, terutama bagi kelompok LGBTIQ+ yang banyak bekerja di sektor yang diinformalkan. “Kondisi kerja formal saja masih jauh dari layak, apalagi di sektor informal yang minim perlindungan,” ujarnya. Vivi merinci empat unsur kerja layak menurut ILO: kesempatan kerja, hak di tempat kerja, jaminan sosial, dan dialog sosial, yang sebagian besar belum terpenuhi untuk kelompok rentan seperti LGBTIQ+, perempuan, dan disabilitas.
Tantangan utama mencakup:
- Sistem ketenagakerjaan yang diskriminatif: “Banyak pekerjaan memiliki syarat bias gender atau pendidikan yang menghalangi akses teman-teman LGBTIQ+,” jelas Vivi.
- Minimnya perlindungan hukum di sektor informal: “Hak normatif hanya diakui di sektor formal, sedangkan mayoritas LGBTIQ+ bekerja di sektor informal tanpa jaminan sosial atau perlindungan,” tambahnya.
- Hambatan berserikat: “Serikat buruh adalah ujung tombak perjuangan hak kerja. Namun, banyak buruh takut berserikat karena risiko pemutusan kontrak,” jelasnya.
- Lingkungan kerja dan masyarakat yang homofobik: “Teman-teman LGBTIQ+ menghadapi diskriminasi dari rekrutmen hingga tempat kerja, ditambah stigma dari masyarakat,” ungkap Vivi.
Diskriminasi berbasis gender dan seksualitas, menurut Vivi, terkait erat dengan masalah kelas dan sistemik. “Ketidakadilan ini berakar pada sistem hukum, pendidikan, dan perspektif masyarakat yang patriarkal dan eksploitatif,” jelasnya. Pengusaha sering kali mendapat keuntungan dari penindasan ini.
Meski tantangannya berat, Vivi menekankan pentingnya kolaborasi. “Kita perlu bekerja sama dengan serikat buruh dan organisasi LGBTIQ+ untuk membawa isu ketidaksetaraan ke dalam perundingan. Tidak cukup melihat ini sebagai persoalan identitas; kita harus menghubungkannya dengan isu struktural seperti upah layak dan hak normatif, kita perlu memastikan isu-isu LGBTIQ+ masuk dalam agenda perundingan buruh agar hak-hak pekerja LGBTIQ+ tidak terabaikan.”
“Perjuangan ini panjang, tapi hal-hal yang kita diskusikan adalah bagian dari usaha menjawab tantangan untuk dunia kerja yang lebih inklusif dan adil.” tambah Vivi.
Agustin, seorang advokat gender, menyoroti lemahnya implementasi hukum yang ada. “UUD 1945 Pasal 28D sudah menjamin kerja layak untuk semua. Tetapi, diskriminasi terhadap LGBTIQ+ masih sulit diatasi karena regulasi belum inklusif, “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.” Namun, implementasi masih jauh dari harapan. “Undang-undang dan kebijakan ada, tetapi tiada. Perubahan harus dilakukan,” tegas Agustin.
Agustin juga menggarisbawahi bahwa meskipun banyak instrumen hukum seperti UU Ketenagakerjaan, Konvensi ILO, dan CEDAW, perlindungan terhadap kelompok rentan seperti LGBTIQ+ belum sepenuhnya terefleksikan. Contohnya, Konvensi ILO No. 190 tentang dunia kerja yang bebas dari pelecehan belum diratifikasi oleh Indonesia, padahal ini relevan untuk menangani kekerasan dan diskriminasi di tempat kerja.
Dalam kaitannya dengan serikat buruh, Agustin menyoroti pentingnya memasukkan isu SOGIESC (Orientasi Seksual, Identitas Gender, Ekspresi Gender, dan Karakteristik Seksual) ke dalam agenda advokasi. “Pelatihan yang melibatkan ketua serikat buruh menunjukkan komitmen untuk menjadikan zero tolerance terhadap kekerasan lebih inklusif terhadap teman-teman ragam gender dan seksualitas,” ungkapnya.
Agustin juga menjelaskan bahwa regulasi yang ada sebenarnya bisa diakses oleh semua warga negara, termasuk LGBTIQ+, tanpa perlu undang-undang khusus. “Hukum menyebutkan setiap orang. Jika dilakukan revisi kecil dengan menambahkan kata ‘gender’, itu sudah cukup inklusif,” katanya. Ia menekankan pentingnya pendekatan hermeneutika hukum untuk memperluas interpretasi dan menjadikan hukum lebih adaptif terhadap kebutuhan kelompok marginal.
“Kita adalah warga negara Indonesia. Kerangka hukum yang ada bisa menjadi alat perjuangan, asal kita terus mendorong revisi dan advokasi, termasuk melalui Judicial Review untuk memasukkan istilah-istilah yang relevan, sehingga hukum lebih inklusif bagi ragam gender dan seksualitas. Kita adalah warga negara Indonesia. Hukum yang ada seharusnya melindungi semua tanpa terkecuali.” tambah Agustin
Jumisih, ketua Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia menambahkan pentingnya peran serikat buruh untuk memperjuangkan dunia kerja inklusif, “Serikat buruh adalah ujung tombak perjuangan. Untuk memperjuangkan kerja layak bagi semua, termasuk pekerja dengan ragam gender dan seksualitas, kita harus mulai dari berserikat. Meski tidak mudah, ini adalah langkah awal menuju perubahan, teman-teman LGBTIQ+ pekerja adalah bagian dari serikat, selayaknya serikat tidak berperilaku eksklusif tetapi kita harus inklusif. Serikat buruh yang independen adalah kunci untuk memperjuangkan nilai-nilai yang kita yakini dan mempunyai keberpihakan.”
Namun, Jumisih juga mengakui bahwa tidak semua serikat memahami atau ramah terhadap isu ragam gender dan seksualitas. “Sensitivitas terhadap keragaman ini perlu dimulai dengan keterbukaan terhadap pengetahuan baru. Tidak bisa instan; itu adalah proses panjang yang membutuhkan diskusi, belajar, dan praktik dalam keseharian.”
Ia mendorong serikat buruh untuk memasukkan kebijakan inklusif ke dalam AD/ART organisasi, menyusun program-program yang ramah terhadap komunitas LGBTIQ+, dan memastikan ruang diskusi untuk mengevaluasi diri. Menurutnya, menciptakan serikat yang inklusif berarti membangun budaya organisasi yang peduli dan bebas dari perilaku diskriminatif.
“Kita harus berani mengevaluasi diri, tidak hanya untuk menggugurkan kewajiban, tetapi meyakini bahwa serikat buruh yang inklusif adalah alat perjuangan yang lebih kuat,” tambahnya.
Dalam skala yang lebih besar, ia menekankan perlunya advokasi kebijakan, termasuk mendesak regulasi seperti UU Penghapusan Diskriminasi Komprehensif dan mendorong edukasi di berbagai tingkat, termasuk di dunia pendidikan. “Langkah-langkah ini penting untuk menembus sistem patriarki yang mengakar dan menciptakan perubahan sistemik.”
Diskusi ini menggarisbawahi bahwa melawan diskriminasi berbasis gender dan seksualitas adalah bagian dari perjuangan melawan ketidakadilan sistemik yang harus dilakukan secara kolektif.
Suara-suara dalam diskusi ini menjadi seruan tegas kepada negara untuk menghentikan praktik kekerasan dan diskriminasi, serta memenuhi kewajibannya menjamin hak asasi setiap warganya. Setiap orang tanpa terkecuali berhak atas pekerjaan yang bermartabat, dan kekerasan terhadap perempuan maupun komunitas ragam gender dan seksualitas adalah pelanggaran hak asasi manusia yang tak boleh diabaikan.
Mewujudkan dunia kerja yang inklusif dan adil tidak dapat dilakukan sendirian. Perjuangan ini memerlukan strategi bersama untuk merebut hak atas keadilan ekonomi, menghancurkan hambatan struktural yang melanggengkan penindasan, dan memastikan penghormatan terhadap keberagaman. Kolaborasi lintas sektor adalah kunci perubahan, tidak hanya untuk menantang diskriminasi, tetapi juga untuk membangun sistem kerja yang menghormati keberagaman dan menjunjung kesetaraan.
Pemerintah memiliki tanggung jawab besar untuk menciptakan dunia kerja yang bebas dari diskriminasi. Dunia kerja yang inklusif adalah dunia yang menghargai keragaman, menjamin hak semua orang, dan memberikan ruang bagi setiap individu untuk bekerja dengan bermartabat tanpa hambatan berbasis identitas gender atau seksualitas.