Pernyataan Gubernur Banten yang Tidak Berpihak pada Buruh
“Tolong diingatkan, buruh jangan terus protes juga pertimbangkan dengan kondisi Banten yang memang begitu banyak industri yang terkena dampak begitu. Banyak orang di-PHK segala, masih untung kita masih dipekerjakan walaupun (gaji) tidak naik,” begitulah perkataan Wahidin Halim selaku Gubernur provinsi Banten ketika menanggapi protes yang datang dari serikat buruh yang ada di Banten terkait penetapan Upah Minimum Provinsi Banten yang naik hanya 1,5%.
Pernyataan Wahidin ini kemudian direspon oleh Intan selaku pemimpin dari DPP SPN Provinsi Banten saat diminta tanggapannya mengenai pernyataan Wahidin Halim diatas “Itu pernyataan yang arogan dan seperti melupakan tugasnya sebagai pemimpin yang harusnya membela rakyat.” Pendapat yang serupa juga datang dari Pimpinan Nasional Komite Perempuan KSPN Siti Istakhori, “Sebagai Serikat Buruh tidak bisa diam mendengar pernyataan itu, Itu bukan pernyataan seorang pemimpin, itu sangat tidak menghargai kerja keras buruh selama ini” ujarnya
Lomba Upah Murah Para Kepala Daerah
Saat ini penetapan upah minimum memang menjadi polemik diberbagai daerah sejak keluarnya Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/11/HK.04/2020 tentang penetapan UMP 2021. SE tersebut menuliskan bahwa upah 2021 sama nilainya dengan upah tahun 2020. Krisis Covid 19 kembali menjadi alasan dari keputusan yang merugikan buruh ini.
Kepala daerah atau Gubernur kini seperti punya legitimasi terhadap lomba kebijakan upah murah yang jauh sebelum pandemi sudah sering dilakukan. Banyaknya perusahaan yang memindahkan pabriknya ke daerah dengan upah lebih rendah dan medatangkan investasi yang besar ke daerah adalah salah satu alasan Kepala Daerah “berjualan” upah murah.
Hal tersebut juga terjadi di Banten, dikutip dari laman berita online Kompas.com pada Juni tahun 2019 ada 10 pabrik dari Banten yang pindah ke Jawa Tengah dan menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Firman Bakri itu dikarenakan upah Banten yang terlalu tinggi. Sehingga keputusan Wahidin Halim tentang upah kali ini dapat dianggap sebagai keputusan yang didasarkan akan upaya mencegah makin banyaknya pabrik yang hengkang dari Banten.
Di kesempatan yang sama Wahidin Halim juga mengatakan “Boleh (buruh) minta, tapi kondisi Banten ini tinggal pilih, mau nganggur atau kerja, mau bangkrut? Sebenarnya lumayan gaji karyawan kita menyentuh Rp 4 jutaan,” ujarnya. Kondisi yang dikatakan oleh Gubernur Banten tersebut kembali mendapat bantahan dari Intan dan Siti yang mengatakan bahwa industri di Banten masih terhitung stabil pada masa pandemi ini. “Memang ada pabrik yang tutup tapi sampai saat ini laporan yang masuk hanya ada dua pabrik anggota SPN sepatu di Banten yang tutup” Ujar Intan.
Meski industri sepatu di Banten melemah tapi industri lain seperti industri bahan kimia dan industri elektronik mengalami kelonjakan pesanan seperti pesanan untuk bahan kimia pembuat hand sanitizer dan produk elekronik yaitu lemari pendingin dan LED TV yang banyak dibutuhkan saat orang harus membatasi aktivitas diluar rumah.
Dengan fakta tersebut serikat buruh di Banten semakin meyakini bahwa kenaikan upah yang hanya sebesar 1,5% tersebut adalah keputusan yang akan menguntungkan para pemodal semata. Apalagi keputusan dibuat hanya berdasarkan perundingan antara Gubernur dan perwakilan pengusaha tanpa melibatkan serikat buruh.
Buruh Kembali Dikorbankan
Upah yang disebut Gubernur Banten dengan kata “masih untung” menampar fakta bahwa UMP tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup layak buruh di Banten beserta keluarganya. Kontrakan dengan 3 sekat kamar yang sebelumnya berkisar 500 ribu rupiah kini menjadi 700 hingga 750 ribu rupiah. Kebutuhan untuk makan dan pendidikan ditambah dengan biaya ekstra saat masa pandemi seperti biaya pembelian masker dan hand sanitizer, nilai hampir 4 juta rupiah bisa jadi sangat kurang Membuat tidak jarang buruh harus mencari uang ekstra dengan mencari kerja tambahan hingga mencari pinjaman ke rentenir.
Keputusan Gubernur tentang upah juga tidak memiliki perspektif gender. Karena bagi buruh perempuan yang di Banten banyak bekerja di Industri alas kaki, upah rendah selain tidak dapat memenuhi biaya reproduksi buruh perempuan seperti ketika sedang hamil atau melahirkan, upah rendah juga dapat memicu kekerasan terjadi pada buruh perempuan. Salah satunya seperti laporan yang masuk ke SPN Banten, seorang buruh perempuan di Banten berhutang pada rentenir karena upahnya tidak cukup untuk kehidupan keluarganya, mendapat acaman dari si rentenir yang menyuruh menggunakan tubuhnya untuk membayar hutang yang tidak tidak sanggup dilunasi.
Sampai saat ini serikat – serikat buruh di Banten menyatakan akan terus berupaya melakukan perlawanan agar Gubernur mencabut surat keputusan tentang upah tersebut dan menggantinya sesuai dengan tuntutan buruh yaitu kenaikan upah sebesar 3,5%.
Informasi tambahan
Upah Provinsi Banten 2021
Sumber:
- Siti Istakhori – Ketua Komite Perempuan KSPN
- Intan Indria Dewi – Ketua DPP SPN Provinsi Banten
- Sadilah – Pengurus SP TSK SPSI Provinsi Banten
[…] berpihak pada pengusaha dan berusaha menanamkan mentalitas menerima mentah-mentah dalam diam (investigasi Perempuan Mahardhika). Ibarat sudah jatuh tertimpa […]