Lagi-lagi, situasi pandemi Covid-19 dijadikan kambing hitam atas kesulitan DPR dalam membahas RUU PKS. Hal ini membuat saya naik pitam. Pada akhirnya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) diusulkan dicabut dari Prolegnas Prioritas DPR RI 2020. Tanpa sungkan, Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Fraksi PKB Marwan Dasopang mengatakan bahwa pembahasan RUU PKS dirasa sulit.
Padahal sebelum pandemi menggerayangi negeri pun pembahasan RUU PKS cenderung mandek di legislasi. Selanjutnya, pada 2 Juli, hasil rapat Badan Legislasi (Baleg) DPR menyatakan bahwa RUU PKS resmi ditarik dari Prolegnas Prioritas 2020.
Kekecewaan dan kemarahan diberi. DPR dan Pemerintah dalam hal ini semakin tak malu-malu dalam menunjukkan lemahnya komitmen politik mereka terhadap korban kekerasan seksual. Ironisnya, justru di saat pandemilah angka kasus kekerasan seksual kian membengkak. Menurut data yang tercatat oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPA) bersama Komnas Perempuan, peningkatan angka kasusnya mencapai 75 persen.
Kemunduran ini disesalkan oleh banyak pihak, terutama oleh para korban dan pendamping korban kekerasan seksual. Ditariknya produk hukum yang menjamin keselamatan korban kekerasan seksual dan semua orang –mengingat kasus kekerasan seksual dapat dialami siapapun– telah memperlihatkan betapa negara setengah hati atau bahkan enggan berpihak kepada rakyatnya.
Selang seminggu setelah insiden penarikan RUU PKS itu, berbagai organisasi dan individu yang tergabung dalam GERAK Perempuan, termasuk saya, mulai menggelar aksi di depan gedung DPR RI dan/atau DPRD. GERAK Perempuan mulai mengorganisir sebuah aksi protes sebagai sebuah sikap penolakan atas dikeluarkannya RUU PKS dari Prolegnas Prioritas pada tahun ini. Aksi itu juga diproyeksikan sebagai aksi rutinan setiap Selasa. Kami sepakat menamainya Aksi Selasaan. Sejak 7 Juli hingga tulisan ini dibuat, Aksi Selasaan telah digelar sebanyak 12 kali saban Selasa.
Tak ayal, benih Aksi Selasaan ini kian bermunculan di titik-titik lainnya di Indonesia. Selain dilaksanakan di depan DPR RI, Aksi Selasaan juga hadir di depan Gedung DPRD Jawa Barat, depan Gedung DPR DI Yogyakarta, dan Simpang Empat Lembuswana Samarinda. Terus menerus meluas.
Ketika Aksi Selasaan diorganisir dan dilaksanakan, ada ambivalensi dalam diri saya: antusias sekaligus kecewa. Saya antuasias karena para pendukung pengesahan RUU PKS kini telah melahirkan ruang perjuangan yang semakin baru. Tak hanya dengan berkampanye dan menggelar diskusi publik secara masif di media sosial, melainkan juga memprotes kebijakan mereka secara lebih nyata – tepat di depan gedung tempat ‘mereka’ berkomplot.
Di sisi kontradiktifnya, harus saya katakan bahwa saya merasa kecewa dengan kenyataan bahwa penguasa semakin tebal muka dan tak menyantuni kepentingan rakyatnya, terkhusus para korban kekerasan seksual, anak, perempuan, dan minoritas gender.
Bila dirunut, sejak awal kehadirannya dalam Prolegnas DPR RI pada 2016 lalu, RUU PKS telah melalui aral yang pelik di dalam gedung parlemen. Pada 2018, RUU ini sempat masuk dalam Prolegnas Prioritas DPR RI tapi tak kunjung dibahas. Sampai pada paripurna terakhir DPR periode 2014-2019, RUU PKS dinyatakan tak masuk dalam RUU carry over atau pembahasannya tak bisa dilanjut pada periode selanjutnya. Artinya, pembahasan RUU PKS harus diulang dari awal oleh DPR periode selanjutnya. Pada 2020, alih-alih menunjukkan kemajuan, RUU PKS justru ditarik sama sekali dari Prolegnas Prioritas DPR RI 2020. Miris.
Kekerasan seksual tentu bukan isu yang baru. Ia hadir di mana saja, kapan saja, dialami oleh siapa saja, dan bisa dilakukan oleh siapa saja. Ia bisa terjadi di ruang kelas, pesantren, rumah ibadah, angkutan umum, ujung gang, pojok pasar, kubik ruangan kantor, indekos, ruang pabrik, kebun, sawah, dan bahkan di tempat yang kita pikir paling aman: ruang kamar. Tak sedikit laporan yang telah memberitakan kasus-kasus kekerasan seksual – membuktikan bahwa perempuan, anak, dan minoritas gender masih minim ruang aman dalam keseharian hidup mereka. Namun, celakanya, negara lebih memilih menutup mata.
Kasus kekerasan seksual itu ada, kasat, dan dekat, tetapi niskala bagi ‘mereka’ yang telah mati rasa. “Pembahasannya sulit saat pandemi,” dalih mereka. Padahal, jika hendak dibandingkan, RUU Omnibus Law yang gemuk – isinya terdiri dari sekitar 1.200 pasal – itu pun masih bisa terus dibahas saat pandemi. Bahkan, pada pertengahan September lalu, Pemerintah mengatakan bahwa pembahasannya sudah mencapai 90 persen. Perbandingan lainnya: RUU Omnibus Law baru diserahkan ke DPR pada 2019, jauh lebih muda tiga tahun dari RUU PKS, tetapi perkembangannya begitu progresif di legislasi. Cepat sekali.
Selain itu, kita juga belum lupa dengan UU Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) yang diketuk pengesahannya di tengah pandemi, meskipun sarat kritik. Dengan sekelebat perbandingan-perbandingan itu, saya rasa sudah cukup untuk mempertanyakan relevansi alasan “saat pandemi” oleh Komisi VIII DPR RI.
Meski menyesalkan lemahnya komitmen politik Pemerintah dan DPR RI untuk memberi payung hukum penghapusan kekerasan seksual, GERAK Perempuan terus melakukan upaya yang lebih strategis dengan masuk ke ruang-ruang rapat bersama anggota legislatif. Seiring prosesnya, Aksi Selasaan pun kian progresif dalam tuntutan-tuntutannya.
Selain menuntut pengesahan RUU PKS, GERAK Perempuan juga membawa empat tuntutan lain, yaitu mendorong pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT), mendorong RUU Masyarakat Adat, Tolak Omnibus Law, Tolak RUU Ketahanan Keluarga.
Aksi Selasaan sendiri telah memperlihatkan bahwa urgensi RUU PKS tak main-main. Tak hanya soal pengesahannya, melainkan juga di tataran pelaksanaannya yang harus berorientasi pada keadilan korban. Sekaligus, ini akan melahirkan sejarah bagi pergerakan perempuan yang semakin terintegrasi dengan hal-hal politis, tentunya untuk kepentingan kaum 99%, bukan 1% saja.