Siapa sih yang enggak pernah dibully karena menjomblo? Ya tampaknya hampir setiap perempuan yang nyaman dengan status lajangnya pernah mengalami hal ini. Ia dipaksa menikah oleh kedua orangtuanya dan lingkungannya karena dianggap perempuan yang tidak menikah secepatnya akan kadaluarsa dan menjadi tidak diinginkan oleh masyarakat. Namun apa sih penyebabnya yang membuat perempuan lajang sulit untuk hidup damai di bumi Indonesia peritiwi?
Dalam konteks ini, lajang disini berarti tidak menikah secara agama dan negara. Status pacaran atau hidup bersama masih dianggap lajang di mata hukum negara.
Feby Indirani penulis buku 69 Things to be Grateful About Being Single melihat adanya masalah struktural dalam mengkondisikan perempuan lajang dalam mengalami diskriminasi. “Perempuan menjadi lemah di mata hukum jika statusnya melajang. Ia dibuat kesulitan untuk mengakses layanan kesehatan reproduksi, kepemilikan properti, bahkan sulit untuk mendapatkan visa karena dianggap tidak memiliki ikatan dengan negara asalnya. Ini adalah bentuk dari diskriminasi terhadap perempuan.”
Feby menjelaskan bagaimana beberapa perempuan lajang kesulitan mendapatkan pinjaman uang dari Bank untuk KPR. Beberapa bank masih sulit untuk menyutujuinya jika perempuan lajang meminta pinjaman sedirian tanpa adanya pendamping.
Di rumah sakit ibu dan anak, seringkali perempuan yang datang sendirian ke dokter kandungan akan dianggap tabu oleh masyarakat. Dalam rekam medisnya, perempuan harus menyantumkan nama relasi lelaki yang paling dekat dengannya. Jika ia belum menikah maka ia harus mencantumkan nama ayahnya. Jika ia sudah menikah, maka harus mencantumkan nama suaminya dan meminta segala persetujuan suaminya untuk melakukan tindakan pada tubuhnya, seolah-olah lelaki yang paling tahu atas tubuh perempuan.
Kita juga tahu bahwa perempuan lajang seringkali dianggap tidak memiliki tanggungan keluarga. Tak jarang perempuan lajang mendapatkan beban kerja yang lebih dan dipaksa untuk lembur. Padahal bisa saja perempuan lajang menafkahi dan harus mengurus saudara-saudaranya dan orangtuanya, namun hal ini tidak diperhitungkan. Maka tidaklah heran jika perempuan lajang tidak mendapatkan upah yang setara dengan rekan kerjanya yang lelaki yang sudah menikah, serta seringkali dimanfaatkan karena statusnya yang lajang untuk melakukan beban kerja yang lebih.
Hal ini juga tidak lepas dari Undang-undang pernikahan yang menempatkan lelaki sebagai kepala rumah tangga dan pemberi nafkah utama, sedangkan perempuan sebagai pengurus rumah tangga. Sehingga tak jarang perusahaan seringkali tidak memberi upah secara setara terhadap pekerja perempuan dan lelaki. Sedangkan setiap tahun, angka perempuan yang menjadi pencari nafkah utama telah meningkat. Dari awalnya yang hanya 7.54% pada tahun 1985 hingga 15.46% pada tahun 2019, menurut data BPS. Ada perubahan dinamika dalam keluarga Indonesia hari ini.
Urusan yang mempermasalahkan perempuan lajang juga dialami oleh perempuan lajang di masa Orde Baru. Di era rezim Soeharto, perempuan lajang dianggap bebas untuk diperlakukan apa saja.
“Saat itu, ada Panca Dharma Wanita, yang menjelaskan bahwa perempuan yang baik adalah perempuan sebagai istri pendamping suami, ibu rumah tangga, penerus keturunan dan pendidik anak, pencari nafkah tambahan serta sebagai warga negara dan anggota masyarakat,” jelas Ita Fatia Nadia dalam kelas gender yang dilaksanakan oleh Perempuan Mahardhika pada tanggal 16 September 2020.
Ita melihat hal ini sebagai upaya untuk meneror perempuan dengan menggunakan kekerasan struktural. Kita bisa melihat bagaimana peran perempuan di atur oleh negara. Keempat dari lima hal yang dikonstrukkan negara tidak lepas dengan status perempuan yang menikah, seolah-olah perempuan yang tidak menikah dan tidak memiliki anak tidak pantas dihormati dan tidak layak dianggap perempuan baik-baik.
“Ketika perempuan tidak punya anak, dia dianggap bukan wanita baik-baik. Ia tidak dianggap tidak memenuhi kriteria sehingga bisa diperlakukan apa saja bahkan layak mendapatkan kekerasan termasuk kekerasan seksual,” tambah Ita. Maka tak heran jika perempuan lajang atau bahkan perempuan yang berstatus janda seringkali mendapatkan disrkiminasi yang bahkan dilakukan oleh negara itu sendiri.
Jika kita renungkan sejenak, apakah ada konstruksi yang dibuat sedemikian rupa untuk mengatur peran lelaki dalam kehidupan bernegara? Tentunya tidak ada.
Perempuan dikondisikan untuk tunduk melalui pernikahan yang tidak setara. Tentu tidak ada yang salah jika kita bisa membangun pernikahan yang adil, setara dan penuh kesalingan. Namun faktanya hari ini perempuan disudutkan dan dibuat goyah agar segera menikah melalui konstruk keperempuan yang mendomestikasikan dirinya.
Nilai perempuan ditaruh pada besarnya tingkat keinginan lelaki terhadap dirinya. Maka tidak heran jika kamu sering mendengar “Nanti jadi perawan tua gak ada yang mau lho,” atau “gak akan ada yang mau kalau kamu terlalu kepintaran dan terlalu kaya.”
Selain dengan bentuk perisakan, kita bisa melihat bagaimana kampanye daring memojokkan perempuan lajang bahkan perempuan yang berpacaran dengan dalih agama untuk menyegerakan pernikahan. Fundamentalisme agama digunakan untuk membuat perempuan tunduk ke dalam ruang dimana ia tidak punya kekuatan di ranah domestik dan di ranah publik.
Hirarki yang menempatkan perempuan di bawah, dibutuhkan oleh kapitalisme agar tugas-tugas reproduksi sosial seperti mengurus rumah tangga dan mengasuh anak dapat dibebankan kepada perempuan. Padahal tanpa kerja reproduksi sosial tidak akan ada kelangsungan hidup. Kerja-kerja ini dianggap sebagai sebuah bakti yang tak perlu dibayarkan atau diupah.
Para pemilik modal membangun kekayaannya dari kerja-kerja reproduksi sosial yang dilakukan oleh perempuan di rumah, untuk para pekerja lelaki yang bekerja di pabrik-pabrik dan kantor-kantor. Yang seharusnya kerja reproduksi sosial memiliki nilai eknomis, namun hal ini dihilangkan agar urusan pengasuhan tidak menjadi urusan perusahaan-perusahaan besar atau bahkan negara.
Maka tidak heran jika kamu melihat pemerintah di beberapa negara seperti Jepang dan Tiongkok bahkan Indonesia pun menyerukan agar perempuan-perempuan segera menikah dan menghasilkan keturunan serta merawat dan mengasuhnya hingga besar. Sehingga tanpa perempuan yang menikah dan punya anak, maka roda ekonomi kapitalis pun tidak akan jalan.