Seringkali Ketika membicarakan kekerasan seksual di tempat kerja, definisinya dipersempit menjadi pelecehan yang terjadi di kantor dan di pabrik. Padahal kekerasan seksual dapat terjadi di berbagai ruang dimana kerja sedang berlangsung, termasuk ketika kita sedang work from home alias kerja dari rumah.
International Labour Organization mengeluarkan konvensi ILO nomer 190 yang berupaya mengatasi masalah kekerasan seksual di dunia kerja. Dunia kerja ini meliputi ruang publik dan ruang privat yang menjadi tempat kerja. Segala aspek yang berkaitan dengan pekerjaan termasuk dalam dunia kerja seperti komunikasi, ruang rehat, ruang ganti, perjalanan dinas, akomodasi pekerja hingga transportasi menuju dan dari tempat kerja.
Komunikasi yang berkaitan dengan kerja baik itu melalui komunikasi tatap muka dan melalui teknologi komunikasi dan informasi, menjadi sangat rentan untuk terjadinya kekerasan seksual. Alat komunikasi berupa telepon genggam bisa menjadi medium untuk melakukan kekerasan seksual.
Tentunya saat kita WFH kita sering mendapati diri kita kesulitan menyesuaikan ritme kerja baru. Tak jarang komentar dan candaan seksis sering keluar di grup komunikasi kerja dan hal seperti ini tidak bisa dihindari. Akhirnya ruang komunikasi menjadi tidak aman bagi pekerja perempuan. Perempuan akhirnya tidak dapat berkomunikasi secara leluasa dimana banyak pekerja yang akan menghakiminya terutama Ketika perempuan masih harus berjuang bekerja dari rumah sambil mengurus anaknya yang sedang sekolah dari rumah.
Selain itu perempuan yang bekerja melalui melayani pelanggan secara daring juga dapat mengalami kekerasan berbasis gender secara daring. Karena seringnya aplikasi daring dapat diakses secara anonim maka memudahkan pelaku untuk melakukan kekerasan sesuka mereka tanpa menerima konsekuensinya.
Interaksi pekerja pun tidak berhenti saat komunikasi di tempat ia bekerja namun juga meliputi ketika pekerja sedang mengikuti aktifitas sosial, kegiatan sosial, dan lokakarya. Dunia kerja bahkan tidak luput dari tempat dimana pekerja diberi upah. Hal ini tidak lepas dari pekerja perempuan yang kerja di industri rumahan.
Seringkali pekerja perempuan tidak mendapat haknya untuk merasa aman. Rumah bisa menjadi tempat terjadinya kekerasan dalam rumah tangga sehingga perempuan sulit untuk bekerja. Terutama saat WFH, perempuan yang biasanya bekerja di luar rumah, terpaksa tinggal di dalam rumah bersama dengan abusernya atau pelaku kekerasan. Hal ini juga termasuk pekerja rumah tangga yang tinggal bersama majikan dan rentan mengalami kekerasan.
Ruang lingkup kerja pekerja rumah tangga adalah rumah majikannya. Hingga hari ini pekerja rumah tangga tidak mendapatkan pengakuan dan perlindungan atas kerjanya karena pekerjaan ini dianggap informal. Banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga dan kasus kekerasan seksual yang menyebabkan pekerja mengalami disabilitas dan trauma. Akibatnya banyak perempuan tidak bisa mengakses kerja yang menjadi haknya.
Selain itu, banyak pekerja informal tidak mendapatkan hak kerja layak yang semestinya. Menurut Survei Angkatan Kerjas Nasional pada bulan Februari 2020, sebanyak 61.35 persen perempuan adalah pekerja informal. Perempuan pekerja informal ini berada pada sektor pertanian, kehutanan, perdaganan hingga industri pengolahan. Perempuan masuk ke dalam sektor pekerja informal karena pekerja formal seringkali sulit memberikan ruang untuk perempuan bekerja sambil mengasuh anaknya. Perempuan lajang yang belum menikah dan memiliki anak lebih banyak dipilih.
Waktu dalam dunia kerja baik bagi pekerja formal dan informal yang tidak memiliki batasan waktu kerja membuat perempuan rentan mendapatkan kekerasan seksual. Kita bisa ambil contoh para pedagang sayuran di pasar yang sudah bekerja sejak jam tiga pagi, atau sales promotion girl yang harus kerja hingga larut malam untuk menjual rokok. Kondisi kerja mereka yang tanpa perlindungan membuat mereka rentan mengalami pelecehan.
Perempuan yang kerja sebagai pekerja di toko daring juga jarang tersorot. Dalam sebuah artikel yang ditulis di laman The Conversation oleh Fathimah Fildzah Izzati, perempuan yang bekerja di toko daring, bekerja dengan jam kerja yang panjang dan tidak memiliki standar upah. Banyak pekerja toko daring memilih untuk bekerja di rumah. Rumah bisa menjadi tempat kerja yang tidak aman tatkala ia hidup dengan suaminya yang merupakan pelaku kekerasan seksual.
Waktu dalam dunia kerja pun tidak terbatas saat pekerja sedang bekerja saja, namun ketika pekerja sedang istirahat dan makan siang. Di saat seperti ini kekerasan seksual berupa pelecehan mudah terjadi. Tidak hanya saat istirahat namun saat pekerja melakukan perjalanan dinas yang berada di luar tempat ia biasanya kerja, juga dapat dihitung sebagai ruang dunia kerja. Hal ini juga termasuk usaha untuk berpergian menuju tempat kerja dan pulang ke rumah dimana masih ada kekerasan seksual dalam transportasi publik.
Dunia kerja yang masih maskulin dan tidak berpihak pada perempuan tidak memberikan rasa aman untuk bekerja dan bebas dari kekerasan seksual.
Melalui Konvensi ILO 190, kekerasan seksual di tempat kerja berupaya untuk dapat disorot karena kasusnya yang merajalela dan tidak terkendali. ILO pun menyerukan agar negara-negara ikut meratifikasinya. Hingga hari ini baru ada dua negara yang meratifikasinya yaitu Uruguay dan Fiji. Fiji sendiri meratifikasinya setelah meratifikasi Protokol 2002 tentang Konvensi Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
Kerja layak yang bebas dari kekerasan tentunya akan mempengaruhi akses kerja bagi perempuan, oleh karena itu penting sekali bagi negara-negara ikut meratitifkasinya agar bisa mengambil Langkah-langkah untuk mengadopsi hukum dan regulasi dalam menghapus kekerasan dan pelecehan di dunia kerja termasuk kekerasan berbasis gender. Dalam hal ini kepentingan dan kebutuhan pekerja terutama pekerja perempuan harus diperhatikan, didengarkan dan dilibatkan agar kebijakan yang dihasilkan tidak salah sasaran.