Hari ini kita diramaikan dengan adanya naskah Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga (RUU KK) yang masuk dalam prolegnas 2020. Jika dilihat-lihat naskah RUU Ketahanan Keluarga ini sangat berfokus pada perlindungan anak, terutama terkait kekerasan seksual terhadap anak. Dalam RUU nya, orang tua diwajibkan menyediakan kamar orangtua dan anak yang terpisah. Kamar anak yang berbeda gender harus dipisah juga. Masuk akal sih, namun kenyataannya anak perempuan yang sudah memiliki kamarnya sendiri pun tidak bebas dari kekerasan seksual. Dalam catatan tahunan komnas perempuan 2020 hal. 20 (CATAHU KP), diceritakan mengenai ayah kandung seorang mahasiswi yang melakukan kekerasan seksual padanya.
“Ayah kandungnya sebagai pelaku kekerasan seksual. Setiap malam Ayah kandung memasuki kamar anak perempuannya, dengan cara merusak kunci dan gagang pintu kamar. Sang anak mengganjal kamarnya di malam berikutnya dengan lemari, namun sang ayah kembali memaksa masuk dan secara berulangkali tindakan percobaan perkosaan terjadi terhadap anaknya sendiri. Sang anak tidak berani melaporkan karena merasa kasihan dan tidak tega pada ibunya.”
Kasus ini menunjukkan bahwa kekerasan yang terjadi pada anak perempuan bukan soal kamar yang terpisah atau tidak, melainkan karena sistem masyarakat kita yang menempatkan anak perempuan sebagai obyek kepemilikkan ayahnya. Kesewenangan ini berasal dari perasaan berhak lelaki dan relasi kuasa antara ayah yang merasa berhak melakukan apapun bahkan kepada anak kandungnya sendiri.
Selain itu, CATAHU KP 2020 juga mengemukakan fakta lainnya bahwa pelaku kekerasan terbanyak adalah ayah kandung, ayah tiri dan angkat, dan paman. Hal ini menunjukkan bahwa ayah sebagai kepala keluarga seringkali menjadi pelaku kekerasan seksual karena kuasa yang dimiliki olehnya.
Lantas apa yang dikatakan RUU Ketahanan Keluarga atas pemulihan psikis anak yang mendapatkan kekerasan seksual?
Tidak ada sedikitpun dalam RUU Ketahanan Keluarga yang menuliskan mengenai langkah-langkah pemulihan anak dari trauma kekerasan seksual. Tentu saja mereka merunutkan kamar yang terpisah sebagai pencegahan kekerasan seksual namun ini tidak berlaku untuk banyak kejadian inses, dan bentuk pencegahan ini tidak akan bisa disanggupi oleh keluarga miskin.
Oleh karena itu, RUU Ketahanan Keluarga tak sanggup menjadi jawaban terhadap kekerasan seksual yang terjadi pada anak. Sedangkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU Pungkas) lebih komprehensif memberikan jawaban dan penyelesaian atas kasus kekerasan seksual yang terjadi pada anak.
RUU Pungkas memberikan jaminan bagi korban untuk dapat berdaya kembali dan memulihkan diri dari kekerasan seksual yang terjadi padanya. Setidaknya korban kekerasan seksual tidak akan dikriminalisasi. Korbanpun akan mendapatkan bantuan hukum.
Beda dengan RUU Ketahanan Keluarga yang menyelesaikan segala ‘krisis’ dan ‘kerentanan keluarga’ dengan musyawarah. Seringkali istilah musyawarah digunakan untuk membungkam korban sehingga ia kesulitan untuk mencari keadilan. Dalam RUU tersebut, wewenang untuk melakukan musyawarah ini hanya diberikan kepada lelaki sebagai suami dan kepala keluarga. Istilah musyawarah ini menjadi ilusi akan dapat terciptanya keadilan namun jika kemampuan untuk melakukan musyawarah ditetapkan hanya bisa dilakukan oleh lelaki sebagai kepala rumah tangga, maka tidak akan ada kesetaraan dalam rumah tangga. Hal ini dapat menimbulkan ketegangan dan konflik di dalam keluarga.
Dalam rilis Koalisi Pekad (Peduli Kelompok Rentan Korban Covid-19) berjudul Kartini Bisa Geleng-Geleng Lihat is RUU Ketahanan Keluarga, RUU KK dianggap dapat membuat pemaksaan penyeragaman karena mendikte standar suatu keluarga. Pendiktean ini pun dapat menegasikan hak-hak anak untuk dapat hidup berdaya sejak usia dini dan hidup di lingkungan keluarga yang bahagia. Yang ada anak dapat merasa terkekang dengan standar-standar tersebut.
Selain itu, anak yang memiliki ekspresi yang berbeda dapat merasa terancam dan tertekan. RUU Ketahanan Keluarga dapat mengancam keragaman gender pada anak-anak. Anak dapat merasa tertekan dan mengalami gangguan pada kesehatan mentalnya. Seringkali anak yang direpresi oleh keluarganya sendiri akan memiliki tingkat bunuh diri yang tinggi karena hidup dengan keluarga yang tidak mendukung, sedangkan anak dengan ekspresi yang berbeda serta memiliki dukungan keluarganya dapat tumbuh dengan bahagia dan penuh penerimaan.
Bagi anak yang memiliki ekspresi keragaman gender yang berbeda, anak dapat dipaksa untuk menikah untuk merepresi ekspresinya. Hal ini dapat membuatnya mengalami kekerasan seksual di kemudian hari seperti dipaksakan untuk menikah dan pemerkosaan. Pemaksaan perkawinan dilakukan agar anak dapat bersikap berdasarkan ketentuan tertentu dan tunduk.
Terlebih lagi, penyelesaiaan secara musyawarah sering dijadikan cara untuk menutup kasus kekerasan seksual dengan menikahkan korban dengan pelaku pemerkosaan. Lantas jika RUU Ketahanan Keluarga disahkan, kemanakan korban mencari keadilan, apalagi jika ia dinikahkan? Kondisi ini adalah siklus kekerasan seksual yang tidak akan pernah berhenti.
Lantas bagaimanakah kita mencari keadilan jika kekerasan seksual terjadi di luar keluarga? Kekerasan seksual bisa terjadi dimana saja, di komunitas, sekolah, hingga ruang publik.
Tentunya anak menjadi tanggung jawab negara dan komunitas dimana ia tumbuh bukan hanya tanggung jawab orang tua saja. Diperlukan instrumen negara berupa perangkat hukum yang secara khusus menangani kasus kekerasan seksual.
Alih-alih ‘melindungi’ keluarga dari ‘kerentanan’, RUU ketahanan keluarga akan membuat anak terutama anak perempuan makin rentan terhadap kekerasan seksual dan kesulitan mencari keadilan serta pemulihan. Yang ada RUU ini menghancurkan keluarga, bukan mempertahankan keutuhan keluarga.
Jika kita menginginkan ketahanan keluarga maka berilah perlindungan dan mekanisme untuk mendapatkan keadilan dan pemulihan dari kekerasan seksual, bukan membuat hancur masa depan korban-korban kekerasan seksual karena trauma dan stigma sosial dari masyarakat.