Perempuan Disablitas dan Haknya yang Terpinggirkan

Sudahkah kita melihat bagaimana kondisi perempuan penyandang disabilitas mental yang berada di panti sosial? Bagaimana selama ini mereka hidup di dalam ruang yang sangat gelap – seakan terpisah dari dunia luar?

Penyandang disabilitas perempuan memiliki kerentanan yang berlipat ganda. Mereka secara khusus memiliki hak-hak sebagai seorang perempuan. Salah satunya saat sedang menstruasi, mereka berhak mendapatkan pembalut untuk kesehatan reproduksi.

Beberapa waktu lalu, tepatnya pada 26-27 Agustus 2020. Saya mendapat kesempatan mengikuti lokakarya daring tentang Pengenalan Convention on the Right of Persons with Disabilities (CRDP) yang diadakan oleh Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS).

Dari sini, saya melihat bagaimana teman-teman kita, penghuni perempuan yang berada di panti sosial. Mereka tidak hanya rentan terhadap pelecehan seksual yang saat ini santer disuarakan oleh kolektif-kolektif perempuan melalui media sosial atau diskusi-diskusi, namun mereka juga kehilangan akses untuk bersuara tentang apa yang telah mereka alami di sana. Panti sosial seperti ruang kedap suara dan sangat tertutup, sehingga apapun yang terjadi di dalamnya, sulit untuk dilihat atau didengar oleh kita. Kemudian, pintu masuk ke sana seperti gerbang yang bekerja otomatis untuk merampas hak-hak mereka yang terdaftar sebagai penyandang disabilitas mental. Inilah yang terjadi pada banyak kasus panti sosial.

Di Indonesia, ada sekelompok perempuan yang lebih terpinggirkan dari sekelompok perempuan yang terus menuntut keadilan pada Negara. Mereka sangat tersisih dari persoalan Negara kita hari ini. Negara terlihat seperti tidak berusaha mencari dan memberikan solusi terhadap persoalan penghuni perempuan yang berada di panti sosial. Terlihat dari bagaimana kondisi mereka yang tidak berubah dari tahun ke tahun –masih sama- tidak mendapatkan haknya sebagai manusia dan sebagai perempuan.

Padahal kita tahu, Indonesia termasuk salah satu Negara yang meratifikasi CRPD (Convention on the Rights of Persons with Disabilities). Di mana disebutkan dengan jelas hal-hal apa saja yang sepatutnya dilakukan oleh Negara untuk melindungi dan memenuhi hak-hak penghuni panti sosial. Seperti pada CRPD pasal 14 yang mengatur tentang kebebasan dan keamanan penyandang disabilitas. Pasal 15 tentang kebebasan dari penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia. Bahkan komite CRPD menegaskan bahwa kebebasan dan keamanan pribadi adalah salah satu hak yang paling berharga yang menjadi hak setiap orang.

Namun yang terjadi adalah penghuni panti sosial dikurung seperti tahanan, dikumpulkan dengan banyak orang, laki-laki maupun perempuan. Mereka tidak boleh keluar, kecuali saat makan. Bahkan banyak dari mereka yang kakinya dirantai. Ada juga yang dikurung sendirian dalam ruang yang sangat kecil. Bisakah kita bayangkan, saat dirantai dan dikurung selama bertahun-tahun, beberapa di antara mereka bahkan harus buang air kecil di tempat yang sama dengan tempat mereka tidur?

Selain itu, penghuni perempuan juga sangat rentan mengalami kekerasan dan pelecehan seksual. Kondisi kerja yang membiarkan staf laki-laki bebas keluar-masuk ruangan perempuan, bahkan saat malam hari, memungkinkan kekerasan seksual mudah terjadi. Dan tugas para staf lelaki yang untuk memandikan penghuni perempuan di ruang terbuka, di mana siapapun bebas lalu-lalang di tempat tersebut.

Hal ini tentu membuat kita berpikir, apa yang sebenarnya terjadi pada pemikiran orang-orang yang memiliki kuasa dalam membuat kebijakan? Sehingga yang terjadi adalah persoalan penghuni perempuan disabilitas amat sangat terpinggirkan.

Pada salah satu panti sosial, pengurusnya mengatakan tidak ada pemeriksaan kesehatan selama masa kehamilan seorang penghuni perempuan. Mereka hanya dibantu saat melahirkan saja, itupun oleh staf laki-laki (dokumentasi foto yang dipajang di panti sosial). Di mana tidak ada bidan, perawat, atau tenaga media. Bahkan ada kasus-kasus di mana Ibu dan bayi meninggal saat proses kelahiran. Hal ini menunjukkan minimnya akses terhadap kesehatan reproduksinya.

Sampai hari ini, saya masih bertanya-tanya, mengapa Negara menghilang dari persoalan yang begitu kompleks yang dihadapi oleh penghuni panti, khususnya penghuni perempuan? Di mana semestinya, Negaralah yang berada paling depan untuk melindungi dan memenuhi hak-hak mereka sebagai warga negara. Belum lagi negara tak kunjung memberikan perlindungan untuk melindungi teman-teman dasibilitas dari kekerasan seksual. Terbukti Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang tak kunjung disahkan.

Perempuan dengan disabilitas tidak berbeda dari kita. Mereka adalah bagian dari keragaman umat manusia. Mereka memiliki hak yang setara dalam segala aspek kehidupan, termasuk hak mendapatkan kesehatan yang layak, kehidupan yang baik, dan perlakuan yang tidak merendahkan martabatnya sebagai seorang perempuan dan sebagai manusia.

Catatan:

Penyandang disabilitas adalah mereka yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama di mana ketika berhadapan dengan berbagai hambatan, hal ini dapat menghalangi partisipasi penuh dan efektif mereka dalam masyarakat berdasarkan kesetaraan dengan yang lainnya. Sehingga, faktor lingkungan dan tempat tinggal yang tidak sehatlah –hambatan besar- yang membuat seseorang menjadi penyandang disabilitas.

 

Anna Desliani

Comments

wave
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Press ESC to close