Pemogokan Perancis dan Peran Buruh Perempuan

Bara Api Pemogokan Perancis

Pemogokan di Perancis yang dimulai sejak Januari 2023 hingga saat ini, tidak membuat Presiden Emmanuel Macron urung mengesahkan kebijakan reformasi usia pensiun dari 62 tahun menjadi 64 tahun.

Pada Senin, 17 April 2023, Emmanuel Macron memberikan pidatonya di televisi setempat, bahwa ia menyesal tidak ada “titik temu” yang dapat dicapai terkait legislasi yang menaikkan usia pensiun resmi dari 62 menjadi 64 tahun. Ia juga menambahkan “bekerja secara gradual juga berarti menghasilkan lebih banyak kesejahteraan bagi seluruh bangsa”. Bersamaan dengan itu, ia menjanjikan peningkatan karir dan upah beserta peningkatan sistem pendidikan, kesehatan, dan peradilan.

Apakah pidato sang presiden sanggup meredakan kemarahan publik Perancis? nyatanya tidak. Serikat buruh di Perancis bersepakat terus melakukan pemogokan. Laurent Berger, sekretaris CFDT (salah satu serikat terbesar di Perancis) menyatakan akan terus melanjutkan demonstrasi hingga 1 Mei 2023, tepat di Hari Buruh Sedunia. Kebijakan reformasi usia pensiun dari 62 tahun hingga 64 tahun, akan menyebabkan buruh bekerja lebih lama untuk mengantongi dana pensiun. Artinya, warga negara Perancis akan bekerja di usia lebih muda demi uang pensiun yang kemungkinan tidak akan cukup memenuhi kebutuhan mereka di masa tua. Setidaknya, menurut hasil jajak pendapat resmi, sekitar tiga per empat warga Perancis menentang kebijakan ini. Kemarahan publik semakin meningkat setelah pemerintah terpaksa mendorong legislasi tersebut melalui parlemen menggunakan tindakan konstitusional yang disebut 49-3 yang menghindari pemungutan suara akhir di Majelis Nasional.

Aksi protes kemudian berlanjut dalam bentuk membunyikan peralatan dapur seperti wajan dan panci di penjuru negeri. Salah satu contohnya yang dilakukan 100 buruh di depan sebuah pabrik di Alsace, Perancis. Kunjungan Macron ini merupakan salah satu upaya untuk meredakan kemarahan publik Perancis.

Selain mengunjungi Alsace, Macron juga mengunjungi beberapa tempat seperti Desa Mutterscholtz pada hari Rabu, 19 April 2023, yang kemudian disambut dengan aksi protes buruh anggota CGT dan CFDT dengan membunyikan peralatan dapur di depan kantor Walikota Mutterscholtz. Aksi protes itu disambut dingin oleh Macron dengan menyatakan tidak perlu membunyikan peralatan dapur karena tidak akan merubah apapun. “Tidak perlu membunyikan peralatan dapur, karena tindakan itu tidak akan membawa Perancis kemana – mana”. Hal ini menandakan presiden Perancis itu akan tetap keras kepala dan tidak mendengarkan gelombang kemarahan buruh Perancis.

La Rose: Kelompok Feminis Buruh Perempuan yang Turut Mogok  

Dampak reformasi pensiun bagi buruh perempuan di Prancis cukup signifikan. Sebelumnya, pensiun penuh dapat diterima pada usia 62 tahun dengan persyaratan minimal 166 kredit kontribusi. Namun, dengan reformasi pensiun baru, usia pensiun resmi akan dinaikkan menjadi 64 tahun pada tahun 2027, dengan persyaratan minimal 172 kredit kontribusi.

Ini akan berdampak pada buruh perempuan yang biasanya memiliki karir yang lebih lambat akibat jeda saat mengambil cuti melahirkan dan pekerjaan paruh waktu.  Pekerjaan paruh waktu, dalam hal ini lebih fleksibel bagi buruh perempuan karena memungkinkan mereka bekerja sambil mengerjakan pekerjaan di rumah (domestik), terutama di periode maternitas.

Buruh perempuan cenderung menghasilkan pendapatan yang lebih rendah dan memiliki kontribusi pensiun yang lebih rendah dibandingkan dengan rekan buruh  laki-laki, sehingga mengumpulkan kredit kontribusi yang dibutuhkan untuk pensiun penuh akan lebih sulit bagi perempuan. Akibatnya, reformasi pensiun ini dapat memperburuk kesenjangan gender dalam ketersediaan dana pensiun dan memberikan beban finansial yang lebih besar bagi pekerja perempuan.Karenanya, buruh perempuan di Perancis merupakan bagian kekuatan utama pemogokan.

Aksi protes dengan memukul peralatan dapur seperti  panci dan wajan, merupakan salah satu simbol perlawanan buruh perempuan. Salah satu kelompok feminis yang meneriakkan suara buruh perempuan adalah La Rose. Satu hal yang menarik dari kelompok feminis ini adalah dress code mereka, yang mengenakan baju serupa dengan ikon “Rosie the Riveter” dengan slogan “We Can Do It”. Poster ini sempat populer di masa perang dunia dengan scarf polkadot, yang menyimbolkan 6 juta perempuan buruh Amerika Serikat yang bekerja di pabrik di masa Perang Dunia ke dua. Poster ini digunakan untuk memobilisasi perempuan untuk bekerja di pabrik di masa Perang Dunia ke Dua. Alasan penggunaan baju Rosie sebagai dress code La Rose disampaikan oleh Youle Yamamoto, pendiri La Rose, “Kami ingin menstimulasi imajinasi feminis dan perjuangannya hanya dalam sepersekian detik”. Singkat kata, mereka mencoba merubah image dari simbol yang awalnya merupakan propaganda perang menjadi pesan singkat “We can do it!”, bahwa perempuan juga bisa.

La Rose terlibat sejak awal dalam menentang kebijakan reformasi pensiun, terutama saat Edouard Philippe, (Perdana Menteri Prancis dari 2017 hingga 2020), berkomentar bahwa perempuan akan menjadi pihak yang paling diuntungkan dalam sistem pensiun yang baru. Komentar itu kemudian memantik kemarahan buruh perempuan, dan menjadi pemicu terbentuknya La Rose. Sebuah omong kosong, bahwa perempuan adalah pihak yang paling diuntungkan, padahal kenyataannya sebaliknya. Selain itu, Edouard Philippe dan tentu saja presiden Macron, telah mengabaikan fakta ketimpangan gender yang masih berlangsung di dunia kerja.

“Kebijakan reformasi pensiun, bertentangan dengan kesetaraan gender, sangat tidak adil dan memberatkan mereka yang paling rentan” Ucap Youle Yamamoto

Mengingat, kebijakan pensiun ini juga berdampak pada buruh rentan, seperti buruh perempuan usia lansia-La Rose terbuka keanggotaannya bagi perempuan lansia. Bahkan salah satu anggota La Rose berusia 85 tahun dan terlibat aktif dalam aksi protes. Pun, buruh perempuan muda memberi solidaritas bagi buruh perempuan lansia sebagai satu barisan kelas pekerja. “There is no Rosie without the Rosie grannies!” (Tidak ada Rosie tanpa Rosie Lansia), slogan ini menggema di setiap aksi protes. Selain itu, mereka juga mengenakan kostum zombi di beberapa aksi protes yang hendak memberi pesan bahwa  kebijakan reformasi pensiun ini sama saja menyediakan jalan pintas bagi buruh menuju pemakaman. Setidaknya pada usia 65 tahun, 23% dipastikan orang miskin lebih cepat meninggal dibanding kelompok orang kaya.

Meluasnya Pemogokan di Eropa

Pemogokan di Perancis tampaknya menjadi pemicu perluasan mogok di Eropa. Inggris misalnya mengalami gelombang pemogokan terbesar dalam setengah abad ini, sementara di Yunani, terjadi tiga kali pemogokan umum sejak kecelakaan kereta api pada 28 Februari. Buruh transportasi dan layanan publik di Jerman pun serupa, melakukan pemogokan pada 27 Maret 2023 lalu. Di Portugal, terjadi pemogokan nasional yang dilakukan kelas pekerja, mulai dari guru, pekerja sanitasi hingga buruh kereta api.

Tanggal 11 Februari 2023, sekitar 140 ribu guru turun ke jalan di kota Lisbon, Portugal. Demonstrasi ini merupakan demonstrasi terbesar sepanjang 10 tahun terakhir, memprotes upah yang stagnan. Fakta bahwa pandemi telah memukul perekonomian mereka dan inflasi tinggi yang turut memperparahnya.

Di Yunani, pemogokan buruh kereta api mengalami puncaknya setelah kecelakaan kereta api yang menewaskan 57 orang pada 28 Februari 2023. Banyak buruh kereta api dan pelajar yang tewas dalam kecelakaan tersebut dan memicu amarah kaum buruh. Aksi demonstrasi itu lalu berlanjut dalam tiga kali pemogokan pada 8 Maret, 13 Maret, dan 16 Maret, yang turut melibatkan pekerja muda. Aksi pemogokan dan demonstrasi ini merupakan yang terbesar pasca masa kediktatoran pada 1974.

Inflasi yang terus meninggi juga turut memicu pemogokan besar di Jerman. Pemogokan ini melibatkan pekerja Rumah sakit, sekolah, kantor pos hingga pelabuhan. Pada 27 Maret 2023, pemogokan besar terjadi. Kemarahan ini juga dipicu oleh tawaran bonus yang hanya 5% dari pengusaha sebagai respon atas tingginya inflasi yang meroket hingga 8,7%. Buruh meuntut kenaikan upah sebesar 10,5% akibat kenaikan inflasi tersebut.

Demikian halnya dengan buruh di Inggris, yang melakukan protes besar pada 1 Februari 2023, dan diikuti oleh buruh di berbagai sektor – buruh kereta api, sektor publik, perawat, pemadam kebakaran, guru, profesor dan banyak lagi- Hari itu, lebih dari 500 ribu buruh turun ke jalan memprotes kenaikan harga kebutuhan hidup.

Gelombang aksi protes dan pemogokan di Eropa, dengan Perancis sebagai episentrumnya (saat ini perlawanan rakyat Perancis yang paling meluas), merupakan respon situasi ekonomi politik yang memburuk akibat pandemi, kenaikan inflasi hingga peran Russia vs Ukraina. Sementara, pemerintah negeri Eropa justru meningkatkan budget militer untuk mengintervensi perang tersebut melalui NATO dan mengorbankan kepentingan kelas pekerja dengan menurunkan kebijakan yang memiskinkan kelas pekerja dan rakyat kecil.

Elemen paling penting dari gelombang perlawanan di Perancis dan beberapa negara Eropa adalah partisipasi dan solidaritas pekerja muda sebagai bagian kelas pekerja di ragam sektor. Pekerja muda dihantui mimpi buruk akan masa depan yang kian tak pasti dan rentan, seiring dengan krisis di aspek lainnya seperti krisis iklim, dan kelindan penindasan seperti seksisme dan rasisme. Bagi pekerja muda yang dibentuk oleh Kapitalisme untuk semakin individualistis dengan sistem kerja fleksibel dan makin individualis, dibenturkan pada realita bahwa tanpa solidaritas dan gerak kolektif, tak akan ada perubahan berarti. Perubahan sosial hanya mungkin dengan solidaritas, kolektivisme atau gerak bersama secara massif.  Selain itu, potensi perjuangan kelas tersedia dalam perjuangan bersama lintas kelompok dan gerakan, mulai dari kaum muda, gerakan anti rasisme hingga gerakan feminis.

 

Referensi           

https://www.leftvoice.org/robin-hood-strikes-in-france-workers-provide-free-energy-for-hospitals-schools-and-low-income-homes/?s=08

https://www.thejakartapost.com/opinion/2023/04/14/comparing-macrons-pension-reform-ambition-with-jokowis-omnibus-law.html?utm_campaign=os&utm_source=mobile&utm_medium=android

https://www.leftvoice.org/the-european-strike-wave-and-the-potential-of-the-working-class/

https://www.notretemps.com/droit-argent/societe/reforme-des-retraites-qui-sont-les-rosies-qui-mettent-d-ambiance-dans-les-manifestations-67366

https://www.facebook.com/LesRosiesAttac

https://twitter.com/LesRosies

 

 

Dian Septi Trisnanti

Penulis Lepas, pegiat buruh dan perempuan. Saat ini aktif sebagai ketua umum FSBPI

Comments

wave
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Press ESC to close