Legalitas Aborsi Aman di Australia: Capaian Penting Hak Reproduksi Perempuan
Lebih dari satu tahun sejak dicabutnya Undang – Undang Kehamilan 2021 (Pregnancy Act 2021) di Australia, akhirnya prosedur aborsi benar – benar dihapuskan dari hukum pidana Australia Selatan. Australia Selatan, menjadi negara bagian terakhir yang melegalkan prosedur aborsi dan menghapuskan kriminalisasi terhadap praktek aborsi.
Di saat yang bersamaan, pada 24 Juni 2022, Mahkamah Agung Amerika Serikat justru mencabut pengesahan aborsi di semua negara bagian Amerika Serikat. Keputusan itu membalikkan capaian gerakan perempuan atas hak reproduksi aborsi perempuan yang disahkan pada tahun 1973. Kebijakan itu dikenal dengan kebijakan Roe v Wade[1].
Di tengah capaian gerakan perempuan untuk menjamin hak aborsi dan dihapuskannya kriminalisasi praktek aborsi di Australia, keputusan MA Amerika Serikat itu menjadi sinyal waspada untuk terus mengawal hukum perlindungan aborsi di semua negara bagian Australia. Sebagaimana yang dinyatakan Dr. Tania Penovic, kepala penelitian gender dan seksualitas untuk Pusat Castan Bagi Hukum HAM di Universitas Monash, hak perempuan merupakan perjuangan yang keras dan bisa dengan mudah hilang dari genggaman bila tidak dikawal.
“Australia masih relatif baik dalam hal perlindungan hak aborsi, namun ku rasa, ini juga menunjukkan hak perempuan, kesetaraan gender merupakan perjuangan yang keras dan perlu dilindungi dengan lebih hati – hati karena sangat rentan dan bisa dengan mudah hilang” Ucap Tania.
Apa yang dirisaukan Dr. Tania, bukan tanpa alasan karena perjuangan politik atas perlindungan hak reproduksi perempuan melalui proses puluhan tahun dan berliku. Pun, setelah hak aborsi mulai dilegalkan di beberapa negara bagian Australia (kini sudah disahkan di seluruh negara bagian), stigma terhadap perempuan yang menggunakan hak reproduksinya atas aborsi masih terus berlaku.
Contohnya, adanya sebagian dokter yang masih menolak memberi layanan aborsi, sementara pihak farmasi juga menolak menyediakan obat – obatan medis untuk aborsi. Dr. Tania menyebutkan, para dokter yang bekerja di RS Khatolik khawatir bakal diblack list bila membantu atau memberikan layanan aborsi.
Artinya, kebijakan politik perlindungan hak aborsi masih harus diperjuangkan supaya bisa terlaksana tanpa stigma, diskriminasi dan kekerasan, terutama kepada kelompok rentan seperti kelompok disabilitas, LBTIQ, korban perkosaan dan inses. Padahal, jalan panjang perlindungan hak reproduksi atas aborsi bagi perempuan sudah dirintis dari beberapa dekade silam.
Sebagai referensi, berikut ini catatan tentang hukum perlindungan hak reproduksi aborsi di semua negara bagian Australia:
- Di ACT (Australian Capital Territory), prosedur aborsi disahkan sejak 1993 untuk kehamilan usia 16 minggu dan harus dilaksanakan oleh seorang dokter atau perawat. Bila lebih dari 16 minggu, pasien bisa pergi ke negara bagian lain.
- Di New South Wales, prosedur aborsi dihilangkan dari UU Pidana pada Oktober 2019. Aborsi legal diperbolehkan untuk kehamilan hingga usia 22 minggu. Bila usia kehamilan lebih dari 22 minggu, dibutuhkan persetujuan setidaknya dua dokter untuk menjalani prosedur aborsi. Apabila dokter menolak memberi persetujuan, wajib merekomendasikan layanan kesehatan yang terdaftar, yang bisa memberikan layanan aborsi.
- Di Northern Territory, hukum tentang prosedur aborsi disahkan di akhir 2021. Satu dokter bisa menyetujui dan melakukan prosedur aborsi untuk kehamilan usia hingga 24 minggu. Bila usia kehamilan lebih dari 24 minggu, dibutuhkan persetujuan dua dokter. Sebelum UU Aborsi disahkan, batas prosedur aborsi adalah untuk kehamilan 23 minggu dan diperlukan persetujuan dua dokter.
- Di Queensland, sejak 2018 prosedur aborsi bisa dilakukan pada kehamilan usia hingga 22 minggu. Bila usia kehamilan lebih dari 22 minggu, dibutuhkan persetujuan dua dokter. Prosedur aborsi ini akhirnya didekriminalisasi di Queensland pada 2018, setelah melalui perdebatan panjang yang emosional.
- Di SA (South Australia), Pada tahun 1969, South Australia menjadi negara bagian pertama yang melegalkan secara hukum prosedur aborsi yang dibutuhkan untuk melindungi nyawa dan kesehatan sang ibu. Pada tahun 2019, terdapat sebuah tinjauan yang meloloskan reformasi untuk memastikan undang-undang tersebut dihapus dari yurisdiksi pidana dan menjadi tindakan mandiri yang memperlakukan aborsi sebagai masalah kesehatan. Sejak 7 Juli 2021, prosedur aborsi diperbolehkan untuk kehamilan usia 22 minggu dan 6 hari. Bila usia kehamilan lebih dari 22 minggu dan 6 hari, dibutuhkan persetujuan dua dokter.
- Di Tasmania, sejak 2014, prosedur aborsi bisa dilakukan pada usia kehamilan hingga 16 minggu. Bila usia kehamilan lebih dari 16 minggu, dibutuhkan persetujuan dua dokter.
- Di Victoria, prosedur aborsi bisa dilakukan pada usia kehamilan hingga 24 minggu sesuai dengan reformasi 2008 yang mendekriminalisasi aborsi. Bila usia kehamilan lebih dari 24 minggu, dibutuhkan persetujuan dua dokter. Apabila dokter tidak memberi persetujuan, wajib merekomendasikan dokter lain yang tidak keberatan melakukan prosedur aborsi.
- Di WA (Western Australia), sejak 1998, prosedur aborsi bisa dilakukan pada usia kehamilan hingga 20 minggu dengan persetujuan dua dokter. Bila usia kehamilan lebih dari 20 minggu, dibutuhkan persetujuan panel 6 dokter.
Meski perlindungan hukum atas hak reproduksi aborsi telah disahkan di seluruh negara bagian Australia, masih banyak hambatan yang dialami perempuan. Hambatan itu terbentang dalam hal akses, terutama bagi kelompok minoritas.
Dekriminalisasi terhadap prosedur aborsi, tidak secara otomatis menyediakan akses bagi semua perempuan atas aborsi aman. Mendekatkan akses layanan kesehatan aborsi kepada seluruh perempuan hingga menjangkau kalangan minoritas dan marjinal menjadi keharusan. Dengan demikian, tidak ada perempuan yang kesulitan menjangkau akses layanan aborsi aman.
Salah satu kelompok perempuan yang kesulitan mengakses layanan aborsi aman adalah kelompok perempuan migran dan pengungsi, karena bagi mereka yang menggunakan visa sementara akses aborsi bisa sangat mahal sementara kehamilan dan perawatan ibu (migran dan pengungsi) tidak ditanggung dengan cara yang sama oleh dana kesehatan swasta.
“Perempuan hamil harus membayar lebih dari $8,000 untuk mengakses aborsi aman dan itu sangat mahal” ujar Bonney Corbin, Kepala Kebijakan MSI Reproductive Choices Australia
Kelompok marjinal lainnya yang kesulitan mengakses aborsi aman adalah komunitas aborigin yang menghadapi kendala kultural (budaya) dalam mengakses aborsi aman. Selain itu, kelompok LGBTIQ juga merupakan kelompok rentan dalam mengakses aborsi aman, mengingat hak atas otonomi tubuh dan seksualitasnya yang selama ini lebih rentan mengalami stigma[2]. Kemerdekaan atas tubuh dan seksualitas berpengaruh besar terhadap akses layanan kesehatan reproduksi.
Demi melampaui ragam kendala itulah, gerakan perempuan di Australia menggemakan ‘safe access zone ‘ atau ‘zona akses aman’ di seluruh penjuru Australia guna memastikan dihapusnya praktek intimidasi, intervensi terhadap otoritas perempuan dalam mengakses aborsi aman. Pasalnya, ragam intimidasi, bullying masih kerap dialami perempuan hamil yang hendak mengakses aborsi aman di klinik yang tersedia.
Sudah semestinya, semua perempuan, tanpa terkecuali, apapun identitas dan latar belakangnya bebas mengakses layanan aborsi aman tanpa rasa takut, tanpa perlu merasa terancam dan bebas dari segala bentuk intimidasi.
Memahami Aborsi Sebagai Hak Kesehatan Reproduksi Perempuan
Tubuh perempuan, tidak pernah menjadi bagian yang netral namun politis. Ragam kepentingan bertumbuk satu sama lain demi menundukkan tubuh perempuan, mengambil otoritas atasnya tanpa perlu perempuan turut andil.
Tak jarang, tubuh perempuan menjadi arena pertarungan politik dalam kancah perebutan kekuasaan (praktek perbudakan seksual dan perkosaan di wilayah perang atau daerah konflik, perdagangan perempuan dll). Termasuk, otoritas dalam menentukan hak reproduksi tubuh perempuan (kebijakan KB/ Keluarga Berencana, satu anak saja, hingga larangan hamil di tempat kerja, hingga aborsi).
Praktek aborsi menjadi bahasan kontroversial dan kerap kali mengabaikan suara perempuan sebagai pihak langsung yang mengalami. Sementara, pelarangan aborsi justru berdampak pada terancamnya nyawa perempuan yang mengalami KTD (Kehamilan Tidak Diinginkan).
Dalam buku kumpulan cerita “Choice Words; A collection of writing about abortion”[3], kaum perempuan di berbagai negara bagian Australia menceritakan pengalamannya memilih aborsi. Aborsi bukan dan tidak pernah menjadi pilihan mudah, di tengah minimnya pendidikan seks, kontrasepsi yang gagal, hingga akses aborsi aman yang tidak memadai.
Claudia Karvan, misalnya, dalam kumpulan cerita tersebut mengisahkan kehamilan tidak diinginkan yang terjadi saat usianya masih 17 tahun. Ia tak pernah memperoleh pendidikan seks dari orang tuanya, baik tentang seksualitas atau pentingnya alat kontrasepsi dan apa makna hubungan seksual dalam sebuah relasi beserta konsekuensinya.
Cerita lain datang dari seorang perempuan usia 39 tahun bernama Angela Williamson, dengan 3 anak (17 th, 10 th dan 7 th). Menjadi seorang ibu sejak usia muda (21 th), membuatnya menjalani hidup yang keras.
Kehamilan yang tidak diinginkan di usia 39 tahun dan beban hidup teramat berat, membuatnya memilih aborsi. Namun, saat itu, Tasmania bukan tempat yang memudahkan akses aborsi, sehingga ia harus menempuh perjalanan ke Melbourne demi memperoleh akses aborsi aman.
Kekalutan memenuhi pikiran Angela, ia ingin menghubungi beberapa dokter di Tasmania sebelum memutuskan pergi ke Melbourne, namun ia takut dihakimi dan akhirnya menghubungi 3 dokter yang berbeda, yang berakhir nihil dan direkomendasikan untuk mengakses aborsi aman di Melbourne.
Dunia terasa gelap, sendirian dan merasa panik; bagaimana dengan ketiga anaknya yang harus dijemput sepulang sekolah, seperti apa hidupnya nanti. Angela, harus menghadapi proses itu sendirian, karena suaminya memiliki kesibukannya sendiri.
Kesulitan akses aborsi aman di Tasmania menimbulkan dampak psikologis yang tidak kecil bagi Angela, yang kemungkinan besar juga menimpa perempuan lain, terlebih perempuan kelompok rentan.
Terbatasnya legalitas aborsi bisa mendorong maraknya praktik aborsi ilegal oleh perempuan dengan kehamilan tidak diinginkan (KTD). Praktik aborsi ilegal mengandung konsekuensi berat yang harus dibayar perempuan mulai dari trauma fisik hingga psikologis, belum lagi stigma dan pengucilan.
Selain itu, perempuan menjadi pihak yang beresiko dikriminalkan secara hukum sementara pihak lelaki bisa dengan mudah menghilang dan tidak turut bertanggung jawab. Itulah mengapa, penghapusan praktek aborsi dari hukum pidana di Australia menjadi momen penting dalam menyelamatkan perempuan. Konsekuensi paling menyedihkan tentu saja adalah kematian akibat aborsi tidak aman,
Karenanya, menjadi penting melihat persoalan aborsi dari kacamata perempuan dengan kehamilan tidak diinginkan, mendegarkan suaranya meski lirih terpendam oleh rasa takut. Menyelami problemnya dan memahami bahwa persoalan aborsi atau melanjutkan kehamilan merupakan bagian hak reproduksi perempuan, yang dalam penentuan pilihannya, ialah pemegang kuasa.
Referensi:
[1] Roe v Wade dikenal sebagai salah putusan penting Mahkamah Agung Amerika Serikat sekaligus masih diliputi kontroversi hingga hari ini. Putusan menyatakan bahwa Konstitusi melindungi kebebasan seorang wanita hamil untuk menjalani aborsi tanpa batasan berlebihan dari pemerintah.
[2] Stirrat, Catriona. 2022. New abortion laws have come into effect in South Australia. What are they in other states?, https://www.sbs.com.au/news/article/new-abortion-laws-have-come-into-effect-in-south-australia-what-are-they-in-other-states/g5w55ghaj, diakses pada 27 September 2022 pukul 16.00 WIB
[3] Swinn, Louise, 2019. Choice Words; A collection of writing about abortion. Allen & Unwin, Australia
[4] ADELAIDE, 2022. Abortion to finally be decriminalised in SA, https://indaily.com.au/news/2022/06/24/abortion-to-finally-be-decriminalised-in-sa-from-july/, diakses pada 27 September 2022, pukul 16.00 WIB
[5] Mawarni, Nadia Lutfiana, 2022. https://www.alinea.id/gaya-hidup/hukum-negara-di-dunia-dari-amerika-sampai-arab-saudi-memandang-aborsi-b2cFo98Bd, diakses pada 12 September 2022, pukul 10.00 WIB
[6] Tito Hilmawan Reditya, 2022, Roe v Wade dan Lika-liku Hukum Aborsi AS. https://internasional.kompas.com/read/2022/07/11/190000470/roe-v-wade-dan-lika-liku-hukum-aborsi-as?page=all&jxconn=1*1yzvp79*other_jxampid*ampMZVR2VmgwdTJCUDdQTk1vY0F6am9VRndzLXVfVlhxbURQUUlwS0ZJMkpLQkFveTNRWnIydGpwVXRQZmIzLQ..#page2. Diakses pada 12 September 2022, pukul 10.00 WIB
[7] Lisnawati, Lilis, 2022. Berkaca dari Roe v. Wade di AS, apakah kebijakan aborsi di Indonesia sudah menjamin perlindungan terhadap hak-hak perempuan atas tubuhnya? https://theconversation.com/berkaca-dari-roe-v-wade-di-as-apakah-kebijakan-aborsi-di-indonesia-sudah-menjamin-perlindungan-terhadap-hak-hak-perempuan-atas-tubuhnya-185887, diakses pada 27 September 2022, pukul 16.00 WIB
[…] catatan: tulisan ini sebelumnya dimuat di https://mahardhika.org/liku-perjuangan-hak-aborsi-aman-di-australia/ […]