Kebijakan Cuti Haid, Kebijakan Mendobrak Stigma Tubuh Perempuan

“Tidak ada lagi bekerja dengan rasa sakit, tidak ada lagi minum pil sebelum tiba di tempat kerja dan harus menyembunyikan fakta bahwa kita kesakitan yang membuat kita tidak bisa bekerja.”

Kebijakan Cuti Haid di Spanyol
Spanyol telah mencetak sejarah baru sebagai negeri pertama di Eropa yang mengesahkan kebijakan cuti haid, yang dijamin melalui program jaminan sosial. Kebijakan tersebut disahkan pada Selasa, 17 Mei 2022, waktu setempat dan merupakan bagian dari paket kebijakan reformasi kesehatan reproduksi untuk perempuan di Spanyol. Selain mengesahkan cuti haid, kebijakan kesehatan reproduksi Spanyol juga mengesahkan aborsi bagi perempuan usia 16 tahun tanpa persetujuan wali atau orang tua, penghapusan pajak beberapa produk pembalut, serta kewajiban menyediakan produk kebersihan gratis di fasilitas umum hingga perpanjangan cuti hamil dan aturan yang lebih ketat tentang surrogacy atau ibu pengganti.

Lebih lanjut, kebijakan cuti haid ini bisa diperpanjang menjadi tiga sampai lima hari, apabila rasa sakit yang mendera menjadi lebih parah. Namun, pemerintah Spanyol kemudian mengumumkan tidak ada batasan waktu bagi perempuan yang mengambil cuti haid. Meski demikian, untuk mengakses cuti haid, perempuan diharuskan melampirkan surat keterangan dokter, sejak hari pertama tidak bekerja.

Kebijakan cuti haid ini, menurut Irene Montero Menteri Kesetaraan dan seorang aktivis feminis di pemerintahan sayap kiri, merupakan perubahan membuang tabu dan stigma soal tubuh perempuan. Dalam hal ini, menstruasi bukan sekedar proses biologis yang terjadi pada tubuh perempuan semata. Menstruasi merupakan tanda seorang perempuan bisa aktif bereproduksi, dimana kemampuan melahirkan sangat krusial untuk melanjutkan peradaban. Dalam konteks ketenagakerjaan, “peradaban” itu sama artinya dengan “menjaga kelangsungan persediaan tenaga kerja”. Demikianlah, sistem ekonomi politik memandang tubuh perempuan sebagai obyek penghasil tenaga kerja. Pandangan ini kemudian memunculkan diskriminasi lain bagi perempuan yang tidak bisa mengalami siklus menstruasi atau tidak bisa hamil melahirkan atau memutuskan untuk tidak hamil melahirkan.

Pandangan itu berkelindan dengan dilekatkannya stigma, label, stereotype seksis, yang berdampak pada akses perempuan pada fasilitaas kesehatan, kesejahteraan, kondisi kerja yang lebih baik, ritual religi (darah haid kerap dianggap kotor sehingga tidak berhak menghadiri, mengunjungi tempat suci keagamaan), dan banyak lagi. Pun, sedikit banyak, pandangan seksis terhadap menstruasi, mempengaruhi cara pandang perempuan terhadap menstruasi dan tubuhnya sendiri. Tak sedikit perempuan merasa ‘kotor’ dan malu saat mengalami menstruasi, sehingga menjadi hal tabu dan enggan terbuka untuk mendiskusikannya.

Mengapa Kebijakan Cuti Haid Itu Penting
Pandangan yang bias dan seksis masyarakat terhadap menstruasi telah menimbulkan stigma bagi perempuan saat mengalami menstruasi dan mengetengahkan banyak perdebatan terkait kebijakan cuti haid. Apakah cuti haid, sebagaimana yang disampaikan Irene, Menteri Kesetaraan Spanyol, bisa mendobrak stigma menstruasi atau justru sebaliknya? Beberapa serikat pekerja di Spanyol, misalnya mengkhawatirkan hak cuti haid tanpa batas ini justru bisa mejadi bumerang dan menstigmatisasi perempuan di tempat kerja.

Selama ini, haid atau menstruasi selalu distigmakan sebagai siklus reproduksi yang membuat perempuan secara hormonal menjadi lebih emosional (tidak stabil secara emosi), sehingga tidak layak memimpin atau bekerja di ranah produksi. Ranah produksi atau domain publik selalu dilekatkan pada gender lelaki, sementara perempuan dilekatkan pada domain domestik yang dinilai sebagai ranah tidak produktif. Keberadaan cuti haid, dianggap bisa menjadi pembenar bahwa perempuan tidak selayaknya bekerja di ruang publik. Selain itu, perempuan yang mengambil cuti haid kerap dianggap buruh yang pemalas dan memanfaatkan cuti haid untuk sekedar bersantai. Sementara, bagi kelompok LGBTIQ, selalu tidak mudah untuk mengambil cuti haid akibat diskriminasi yang menyertai mereka saat mengalami menstruasi. Menstruasi bagi minoritas gender merupakan hal privat dan intim karena resiko diskriminasi dan stigma apabila diketahui publik atau pihak lain (contohnya, supervisor atau atasan lain). Itulah mengapa, dalam pelaksanaan kebijakan cuti haid, harus diiringi dengan perubahan mendasar terhadap diskriminasi berbasis gender.

Fakta yang timbul di dunia kerja sebenarnya menunjukkan sistem kerja yang maskulin dan patriarkal, yang melihat dunia kerja sebagai domainnya lelaki, sehingga buruh dalam kaca mata dunia kerja adalah berjenis kelamin lelaki. Maka, tak heran bila sistem kerja tidak pernah mengakui siklus reproduksi perempuan dan kebutuhan khusus yang melekat pada tubuhnya. Alih – alih memberi pengakuan dan mengakomodir kebutuhan tubuh perempuan, tak jarang perempuan dipaksa menyesuaikan diri dengan sistem kerja yang hetero seksis patriarkal. Misalkan, perempuan dipaksa mengadopsi karakter maskulin (tangguh, kuat, perkasa dll) untuk menyesuaikan diri dengan dunia kerja yang patriarkal. Akibatnya, mengambil cuti haid pun diidentikkan dengan sikap atau karakter yang lemah serta tidak produktif. Karakter yang lemah selalu diidentikkan pada gender perempuan dan karenanya kapasitas perempuan dalam bekerja kerap dipertanyakan.

Di sisi lain, kebijakan cuti haid bisa dilihat sebagai kesempatan untuk terus mengetengahkan pendiskusian tentang hak kesehatan reproduksi dalam dunia kerja dan peluang untuk merubah sistem kerja yang patriarkal supaya lebih inklusif. Sehingga, stigma dan tabu terkait menstruasi bisa didobrak. Termasuk pandangan bahwa haid adalah penyakit.

Pandangan bahwa haid merupakan penyakit tampil saat surat keterangan dari dokter menjadi syarat yang menyertai pengambilan cuti haid. Comisiones Obreras, salah satu serikat pekerja di Spanyol yang mendukung kebijakan cuti haid, memprotes poin yang menyebutkan perempuan wajib membuktikan bahwa mereka menderita kondisi yang memperburuk nyeri haid (endometriosis atau sindrom ovarium poliklistik) untuk bisa mengambil cuti haid. Berdasarkan penelitian YouGov pada tahun 2016, terhadap 1.000 perempuan, 52 persen perempuan mengalami dismenore saat datang bulan. Namun, hanya 27 persen yang memberitahukan atasannya. Sepertiga dari mereka yang mengalami dismenore akhirnya memilih mengambil izin sakit. Di beberapa negara, Taiwan misalnya, sakit saat haid mendasari kebijakan memasukkan cuti haid sebagai bagian dari cuti sakit yang ditetapkan 30 hari per tahun. Para pekerja yang mengambil cuti ini tetap berhak atas upah penuh. Namun, meski di banyak kasus, nyeri haid menjadi tak tertahankan dan melumpuhkan, tetapi itu tidak dianggap penyakit, setidaknya itulah yang disampaikan oleh Comisiones Obreras dalam pernyataannya.

Terlepas dari pro dan kontra yang melingkupinya, Perempuan yang sedang haid, baik dalam kondisi sakit atau tidak, berhak memperoleh cuti haid sebagai bagian hak kesehatan reproduksi perempuan. Lebih jauh lagi, perempuan dan ketubuhannya, selayaknya bebas dari diskriminasi, stigma dan bentuk kekerasan lainnya.

Gerakan Cuti Haid = Gerakan Melawan Stigma
Dengan hadirnya Spanyol sebagai negeri Eropa pertama yang mengesahkan cuti haid, maka setidaknya bisa mendorong gerakan perempuan lainnya untuk mendorong hadirnya kebijakan serupa.

Tentu saja, sebagaimana kebijakan perburuhan lainnya, kebijakan ini mesti diiringi dengan perbaikan kondisi kerja dan sistem kerja yang lebih inklusif, sehingga semua buruh perempuan dan minoritas gender lainnya, apapun status kerjanya bisa mengakses kebijakan cuti haid tanpa takut kehilangan pekerjaan, beserta intimidasi dan diskriminasi yang menyertainya.

Momen ini juga bisa menarik pendiskusian terkait kesehatan reproduksi ke permukaan dan menagih tanggung jawab negara dan korporasi untuk turut berkontribusi dalam menjaga kesehatan reproduksi perempuan. Mulai dari kebijakan cuti menstruasi, penghapusan pajak produk menstruasi (tampoon, pembalut, dll), hingga penyediaan fasilitas kesehatan reproduksi yang memadai di ruang – ruang publik.

Dengan gerak bersama global, desakan kebijakan kesehatan reproduksi bisa menjadi momen untuk melawan stigma dan tabu terhadap tubuh perempuan, yang selama ini dilanggengkan oleh sistem sosial hetero seksis patriarkal.

 

 

Referensi

1. https://www.parapuan.co/amp/533287469/spanyol-jadi-negara-pertama-di-eropa-yang-izinkan-cuti-haid-untuk-pekerja-perempuan?page=all

2. https://www.konde.co/2022/05/spanyol-akan-terapkan-cuti-haid-3-5-hari-jadi-negara-eropa-pertama-yang-akan-menerapkannya.html/

3. https://www.theguardian.com/world/2022/may/12/spain-to-ease-abortion-limits-for-over-16s-and-allow-menstrual-leave?CMP=Share_AndroidApp_Other

4. https://www.theguardian.com/world/2021/dec/30/spain-public-sector-trailblazers-seek-lead-way-menstrual-leave?CMP=Share_AndroidApp_Other

5. https://www.livemint.com/opinion/columns/it-s-2020-the-idea-of-menstrual-leave-is-long-overdue-11597937609117.html

6. https://link.springer.com/chapter/10.1007/978-981-15-0614-7_43

7. Macmillan Palgrave, 2020, The Palgrave Handbook of Critical Menstruation Studies

Dian Septi Trisnanti

Penulis Lepas, pegiat buruh dan perempuan. Saat ini aktif sebagai ketua umum FSBPI

Comments

wave
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Press ESC to close