KDRT Pada Buruh Perempuan: Terikat Rantai Kekerasan Yang Tidak Terlihat

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) tidak terjadi begitu saja terhadap perempaun. Situasi kerja juga memberikan sumbangsih terjadinya kekerasan. Tepat 22 September 2022 mendatang adalah peringatan 18 tahun pengesahan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) no. 23 Tahun 2004. Bersama Lembaga Badan Hukum (LBH) Apik Jakarta yaitu Siti Mazumah dan Siti Husna, berupaya membagi cerita dan informasi mengenai situasi KDRT pekerja perempuan. Serta bagaimana tanggung jawab tempat kerja memberikan rasa aman kepada pekerja yang mengalami KDRT.

Zuma selaku Direktur LBH Apik Jakarta menunjukkan data pelaporan KDRT yang terus meningkat tiga tahun terakhir yaitu dari tahun 2019 hingga 2021. Hal ini menggambarkan meskipun sudah ada UU PKDRT ternyata masih belum mampu untuk memutus keberulangan KDRT terhadap perempuan. Peristiwa KDRT pun tidak hanya sekedar kekerasan fisik sebagaimana umumnya, namun bersamaan  dengan kekerasan ekonomi, psikologis dan kekerasan lainnya.

Selama ini, tempat kerja dianggap tidak memiliki hubungan dengan KDRT yang terjadi di rumah. Kenyataannya, tempat kerja memiliki kontribusi terjadinya KDRT di rumah. Upah murah dan sistem kerja fleksibel memberikan dampak secara tidak langsung terhadap kondisi buruh. Situasi kerja yang berat seperti target tinggi memberikan beban ganda yang harus ditanggung buruh perempuan. Hal tersebut menimbulkan dampak buruk secara psikologi kepada buruh seperti lelah, dan stress ketika berada di rumah.

Normalisasi budaya masyarakat pun menjadi penyumbang terbesar terjadinya  KDRT. “KDRT biasanya dilaporkan setelah kejadiannya sudah parah. Masyarakat memiliki kecenderungan merahasiakan peristiwa  KDRT dan dianggap sebuah aib keluarga” ungkap Zumah. Pola kekerasan dari pelaku pun semakin meningkat karena perilaku yang dilakukan pelaku dianggap akan berubah atau hilang seiring waktu. Ketimpangan relasi gender antara laki-laki dan perempuan juga menjadi pencetus terjadinya KDRT. Laki-laki dianggap sebagai pencari nafkah sehingga membentuk kepemilikan terhadap istri. Dengan begitu posisi perempuan menjadi lemah karena segala keputusan di rumah menjadi otoritas suami.

Husna selaku pengacara publik menceritakan mengenai pelaporan kasus dan situasi KDRT yang dialami buruh  perempuan. Peristiwa tersebut sudah sering terjadi dan dianggap biasa oleh keluarga maupun lingkungan sekitar. Stigma terhadap perempuan yang tidak patuh terhadap suami menjadi pelanggengan KDRT. Korban baru diselamatkan ketika kekerasan fisik yang dialaminya membuat korban dilarikan di rumah sakit.

Pada pasal 15 dalam UU PKDRT secara jelas dikatakan bahwa semua orang yang melihat, mendengar atau mengetahui wajib melakukan upaya-upaya dalam membantu pencegahan tindak kekerasan. Mengacu pada pasal ini, peran serta masyarakat sangat dibutuhkan agar rantai kekerasan dapat dihentikan secara dini.

Contoh kasus di atas juga menunjukkan tumpulnya payung hukum hingga saat ini. Banyaknya bukti kekerasan yang dilakukan pelaku namun hukuman rendah terhadap pelaku yaitu 1,4 tahun dari tuntutan awal 4 tahun. Disamping itu, meskipun persidangan memutuskan pelaku di penjara tetap tidak membuat korban merasa aman. Korban merasa takut untuk tinggal di lingkungan sekitar pelaku.”Kekerasan yang dialami korban tidak terputus sebab korban yang banyak mengalami luka-luka. Dan korban juga yang harus pergi dari rumah” terang Husna.

Banyak pengaduan KDRT yang tidak tersesaikan kasusnya. Hal ini karena adanya keraguan atau pertimbangan dari korban berkaitan dengan pelaku adalah keluarga atau orang terdekat. Selain itu, kesulitan untuk memberikan pembuktian karena kekerasan seringkali berada di dalam rumah. Saksi menjadi sulit untuk ditemukan dan berujung pencabutan pelaporan.

18 tahun pengesahan UU PKDRT tidak membuat Aparat Penegak Hukum (APH) mengupgrade pengetahuannya dan masih menggunakan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam sebagai acuan. Hal ini berdampak pada banyaknya korban lebih memilih untuk bercerai daripada menjerat pelaku kekerasan. Dengan bercerai akan mempermudah pemutusan mata rantai kekerasan pada korban daripada proses pelaporan yang rumit.

Husna juga menyayangkan APH yang tidak menggunakan kaidah khusus yang berperspektif terhadap perempuan dalam proses pengaduan korban. “APH masih menganggap bahwa pertengkaran dengan melibatkan kekerasan dianggap biasa. Bahkan di minta untuk menyelesaikan secara damai dan musyawarah kekeluargaan” terangnya.

Stigma mengenai keluarga yang harmonis adalah tidak bercerai masih langgeng di masyarakat. Dampaknya kekerasan menjadi dimaklumi dan dilegalkan dalam rumah tangga. Korban yang seharusnya mendapat perlindungan malah disalahkan dan dianggap layak mendapatkan kekerasan. Ketergantungan ekonomi juga menjadi faktor sulitnya perempuan untuk lepas dari jerat kekerasan. Pertimbangan bagaimana akan bertahan, persoalan anak dan ketakutan lainnya.

Kalaupun perempuan mandiri secara ekonomi, tidak berarti dapat dengan mudah lepas dari rantai kekerasan. Hal ini berkaitan dengan kurangnya dukungan dari keluarga untuk keluar, kekerasan dianggap bentuk cinta kasih dari pelaku dan pemikiran perempuan yang mengidamkan rumah tangga yang harmonis.

Ada praktik baik dari perusahaan atau pemberi kerja dalam proses peradilan yang dilakukan oleh pekerjanya. Pada kasus KDRT, pemberi kerja memberikan dukungan berupa izin untuk tidak bekerja. Dengan begitu, pekerja dapat lebih fokus dalam pengurusan persoalannya. Namun ada juga pemberi kerja yang menyulitkan proses penyidikan. Biasanya pada kasus kekerasan seksual yang itu terjadi di ranah tempat kerja. Korban mendapatkan intimidasi sehingga pada akhirnya korban mencabut laporannya.

Sebagai penutup, pengaplikasian  UU PKDRT sangat dibutuhkan dalam memutus mata rantai kekerasan terhadap perempuan. Mengacu dalam pasal 15 tadi bahwa pentingnya peran serta masyarakat sebagai  support sistem bagi korban. Support tersebut dapat dari keluarga, lingkungan maupun lembaga pendamping untuk menghadapi persoalan dan memulihkan kondisi psikologis korban. “Support sistem sangat dibutuhkan bagi korban. Bahwa kita ada, tidak menyalahkan korban dan memahami situasinya. Sehingga korban tidak menyalahkan diri sendiri atas apa yang terjadi”.

 

Tonton ulang siaran Ngobras di laman Perempuan Mahardhika di Facebook.

Perempuan Mahardhika

Comments

wave
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Press ESC to close