Ilusi Pertumbuhan Ekonomi: Rakyat Terlilit Utang dalam Kondisi Kerja yang Tak Pasti

Klaim pemerintah atas pertumbuhan ekonomi nyatanya tidak sejalan dengan realitas masyarakat yang menggantungkan hidup pada hutang. Sebab, situasi kerja dibuat semakin tidak pasti dengan praktik no work no pay

Baru-baru ini, Presiden Jokowi membuat pernyataan bahwa pertumbuhan ekonomi nasional mengalami tren kenaikan positif. Bahkan, ia mengklaim pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal III 2022 termasuk yang tertinggi di antara negara-negara anggota G-20.

Merujuk pada data BPS, pertumbuhan ekonomi selama tahun 2022 secara keseluruhan mencapai 5,31 persen, lebih tinggi dibanding 2021 yang hanya tumbuh sebesar 3,70 persen. Menurut pemerintah, penopang utama pertumbuhan ekonomi tersebut berasal dari meningkatnya daya konsumsi masyarakat.

Kendati demikian, pemerintah merasa daya konsumsi masyarakat masih lemah akibat dampak pandemi Covid-19. Beberapa cara pun dilakukan, salah satunya dengan penyaluran bantuan langsung tunai (BLT) BBM yang menyasar pada 20,7 juta keluarga miskin dengan total anggaran terealisasi sebesar Rp12,7 triliun. Selain BLT BBM, pemerintah juga menyalurkan berbagai bantuan yang dianggarkan untuk program pengentasan kemiskinan sebesar Rp461,6 triliun.

Tak cukup sampai di situ, melalui Permenaker Nomor 18 Tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023, upah minimum provinsi (UMP) turut dinaikkan dengan angka berbeda-beda di tiap provinsi. Kenaikan terendah di Papua Barat sebesar 2,6 persen, sedangkan yang tertinggi di Sumatra Barat sebesar 9,15 persen. Sementara untuk DKI Jakarta, besaran UMP naik 4,9 persen.

Meskipun kenaikan UMP tersebut jauh dari tuntutan serikat buruh yakni lebih dari 13 persen, sejatinya, masyarakat patut mempertanyakan: apakah berbagai bantuan pemerintah dan kenaikan UMP diikuti dengan menurunnya angka kemiskinan di Indonesia?

Nyatanya, jumlah kasus kemiskinan di Indonesia terus meningkat. BPS mencatat, jumlah penduduk miskin justru naik sekitar 0,20 juta orang atau mencapai 26,36 juta orang pada September 2022 dibandingkan enam bulan sebelumnya. Ditambah lagi, angka itu belum termasuk masyarakat yang tidak dikategorikan miskin menurut pemerintah, tetapi hidup dengan tanggungan beban lain selain dirinya.

Pemerintah juga menaikkan besaran garis kemiskinan pada akhir tahun kemarin. Sebab, harga-harga barang naik tiap bulannya. Tak ayal, inflasi tahun 2022 sebesar 5,51 persen melesat naik dari tahun sebelumnya sebesar 1,87 persen. Artinya, masyarakat miskin adalah korban langsung jika terjadi kenaikan harga, terutama harga bahan pangan.

Angka itulah yang membuat kita merasa pertumbuhan ekonomi hanya bisa dirayakan oleh pemerintah, bukan oleh kita. Sebab, angka-angka yang menunjukkan adanya pertumbuhan ekonomi nasional, hanyalah ilusi yang sangat jauh dari realita kondisi rakyat.

 

Mengapa Ekonomi Nasional Bisa Tumbuh?

Seperti yang sudah dibicarakan sebelumnya, daya beli masyarakat menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi nasional. Tetapi, dengan hadirnya bantuan-bantuan seperti BLT yang jumlahnya hanya Rp600 ribu per orang, tentu tak dapat mendongkrak daya beli masyarakat. Sementara itu, harga barang-barang selalu naik tiap bulan. Hadirnya BLT pun hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, di samping juga agar pemerintah terlihat masih peduli kepada rakyatnya.

Untuk menyiasati naiknya harga barang-barang kebutuhan, sebagian akan memilih cara instan mendapatkan uang tambahan melalui pinjaman online. Pemerintah pun tahu betul akan hal itu.

Sehingga pada September lalu, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (PDP) pun disahkan. Hal ini dilakukan untuk menjawab masalah maraknya kasus-kasus penipuan terhadap masyarakat yang melakukan pinjaman online, serta kebocoran data pribadi. Dengan begitu, diharapkan undang-undang tersebut dapat meningkatkan kepercayaan dan kenyamanan akses masyarakat terhadap perusahaan pinjaman online. Sederhananya, pemerintah memfasilitasi kita untuk bisa berutang dengan rasa aman.

Terbitnya undang-undang itu juga sebagai respon pemerintah yang menilai tingginya minat masyarakat terhadap pinjaman online. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan, jumlah penyaluran pinjaman online pada Desember 2022 mencapai Rp19,52 triliun, meningkat  2,95 persen dari bulan sebelumnya (month-to-month/mtm) sebesar Rp18,96 triliun. Pinjaman online pada Desember 2022 disalurkan kepada 13,71 juta entitas peminjam (borrower).

Penyaluran pinjaman online tersebut juga meningkat sekitar 43,52 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu (year-on-year/yoy) yang sebesar Rp13,60 triliun pada Desember 2021.

Apakah pinjaman online merupakan hal yang tabu meskipun pemerintah juga gencar melakukan pengawasan kepada perusahaan-perusahaan pinjol yang bandel? Pertanyaan ini bisa dijawab dengan adanya fakta bahwa di sekeliling kita masih banyak orang-orang yang terjerat utang hingga berbuat kriminal, bahkan bunuh diri. Para pembuat kebijakan tentu menutup mata ketika dihadapkan pada masalah-masalah sosial yang terjadi.

Dengan demikian, terbitnya UU PDP itu seakan memperlihatkan jalan pintas yang ditawarkan pemerintah kepada masyarakat untuk dapat meningkatkan konsumsi rumah tangganya, sehingga berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi nasional. Ketika ekonomi nasional menunjukkan pertumbuhan yang signifikan, Indonesia akan dilirik oleh investor sebagai negara yang menjanjikan keuntungan.

Negara, melalui berbagai undang-undang, memberikan berbagai kemudahan kepada calon investor untuk menanamkan modalnya di sini. Imbasnya, lagi-lagi adalah rakyat.

Contoh paling nyata yang dapat dilihat adalah terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja pada 30 Desember 2022 lalu. Perppu ini diterbitkan untuk mengganti UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Terbitnya Perppu Cipta Kerja berdasarkan pertimbangan pemerintah yang menganggap adanya kebutuhan mendesak dalam menghadapi tantangan ekonomi global, seperti kenaikan harga pangan dan energi karena terganggunya pasokan (supply chain). Kemendesakan yang dimaksud pemerintah berkaitan dengan penurunan pertumbuhan ekonomi dunia dan kenaikan inflasi secara global.

Tetapi, alasan kemendesakkan itu hanyalah mengada-ada dan tidak masuk akal. Sebab, pembentukan hingga pengesahan UU Cipta Kerja juga memakai ‘sistem kebut semalam’ tanpa alasan kemendesakkan seperti penerbitan Perppu-nya. Alasan yang lebih tepat untuk penerbitan Perppu Cipta Kerja ini adalah agar penyelenggara negara dapat memberikan berbagai kemudahan kepada investor: perizinan mudah dan murah, serta jaminan rasa aman dan nyaman untuk berinvestasi. Artinya, penerbitan Perppu ini adalah untuk memfasilitasi kehendak investor dan pemodal melalui kepastian hukum, bukan untuk kepentingan rakyat.

 

Fleksibilisasi Kerja sebagai Prinsip ‘No Work No Pay’

Dalam Pasal 185 Perppu Cipta Kerja, disebutkan bahwa UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Namun, substansi keduanya hampir sama, hanya beberapa kalimat yang diubah. Bisa dibilang, Perppu Cipta Kerja hanyalah kepanjangan tangan UU Cipta Kerja dan aturan pelaksananya.

Padahal, perjalanan UU Cipta Kerja telah mendapat banyak penolakan dari masyarakat sipil, khususnya dari kelompok buruh. Sebab, substansi dari UU ini adalah bagaimana para pemilik modal dapat memaksimalkan keuntungan. Cara paling mudah adalah dengan melangkahi hak-hak buruh yang telah difasilitasi negara melalui UU ini.

Dengan cara itu, Perppu Cipta Kerja menjamin kemudahan perizinan, kawasan industri siap pakai, tanah produktif, serta lengkapnya infrastruktur untuk menjamin keberlangsungan produksi.

Beberapa isi dari Perppu Cipta Kerja yang memberikan jaminan kepada investor, dapat kita lihat seperti adanya peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha, kemudahan membuka usaha, pengadaan tanah, percepatan proyek strategis nasional, penghilangan batas minimal kawasan hutan.

‘Ekosistem investasi’ yang sudah disebutkan itu, disebutkan pula pada Bab IV tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi “….Perlindungan dan kesejahteraan tenaga kerja dalam rangka mendukung ekosistem investasi”.

Untuk membangun ekosistem investasi yang dimaksud, negara melakukan reformasi hukum dalam perburuhan dan sistem jaminan sosial yang mewujud pada kebijakan pasar kerja fleksibel (labour market flexibility/LMF). Kebijakan ini mengilhami adanya invisible hand yang membiarkan modal bergerak sebebas-bebasnya. Peran negara hanya sebagai fasilitator untuk memastikan akumulasi, sirkulasi, dan distribusi kapital berjalan lancar.

Dalam proses itu, negara harus menyediakan buruh terampil yang dapat direkrut dan dipecat sesuai kebutuhan, dapat bekerja kapanpun di manapun, dan bisa dibayar murah. Negara harus menjamin buruh-buruh itu tersedia secara melimpah.

Maka. Tak heran jika UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mendorong fleksibilisasi hubungan kerja, dilebur dalam Perppu Cipta Kerja. Sehingga dalam Perppu itu, fleksibilisasi hubungan kerja disempurnakan menjadi fleksibilitas waktu kerja, upah, serta perekrutan dan pemecatan.

Fleksibilisasi waktu kerja berarti perusahaan dapat memperkerjakan buruh kapanpun sesuai kebutuhan dan membuangnya ketika sudah tidak dibutuhkan. Buruh dipaksa untuk tak lagi mengenal istilah ‘jam kerja’ dan ‘bukan jam kerja’. Sebab, pemilik perusahaan hanya mengakui nilai kerja yang dilakukan buruh saat melakukan pekerjaan, sedangkan waktu istirahat dan cuti sebagai bagian dari hak pekerja, tidak diakui pemilik perusahaan karena dianggap sebagai beban bagi perusahaan. Itulah yang saat ini kita kenal dengan istilah ‘no work no pay’.

Saat ini, beberapa perusahaan sudah menerapkan no work no pay. Bentuk dari prinsip ini misalnya, buruh diliburkan di hari tertentu dengan upah penuh, tapi cuti tahunan dipotong. Jika tidak memiliki cuti tahunan dihitung memiliki utang cuti tahunan.

Bentuk lainnya yaitu mengubah skema perhitungan total upah buruh menjadi buruh harian. Misalnya, buruh diliburkan di hari tertentu dengan upah 50 hingga 70 persen dari upah pokok.

Selain itu, bentuk lainnya adalah dengan merumahkan buruh tanpa diupah, memecat buruh training dan kontrak, bahkan memecat buruh tetap dengan kompensasi sekehendak perusahaan atau melalui skema lain yang menurunkan nilai kompensasi pemutusan hubungan kerja, seperti pengunduran diri.

No work no pay dapat berjalan karena negara memberikan kesempatan kepada perusahaan untuk mengatur waktu kerja sendiri, meskipun negara telah menentapkan jumlah maksimum kerja dan lembur buruh. Sebab, minimnya peran negara dalam mengatur waktu kerja, membuat klausul pengaturannya diserahkan ke tingkat pabrik untuk menjamin berjalannya ‘ekosistem investasi’.

Selain itu, dalam Perppu Cipta Kerja yang berlandaskan prinsip ‘no work no pay’, pesangon tidak dimasukan sebagai bagian dari kebijakan pengupahan. Padahal, pesangon merupakan cara untuk mencegah terjadinya PHK dan sebagai cara bertahan hidup selama belum mendapat pekerjaan baru.

Karena tak ada jaminan bagi buruh untuk mendapat pesangon, perusahaan akan semakin mudah untuk memecat pekerjanya. Salah satunya dengan adanya ‘pasal kesalahan berat’ yang dicantumkan dalam Perppu Cipta Kerja sebagai alasan untuk memecat buruh. Berbagai alasan perusahaan untuk memecat pekerjanya dibuat sedemikian rupa untuk mengakomodasi kepentingan perusahaan. Sebab, fleksibilisasi dalam konteks ini berangkat dari asumsi bahwa memecat buruh adalah hak perusahaan.

Situasi tersebut pada akhirnya juga semakin membuat pekerja perempuan dalam kondisi rentan. Pasalnya, ia dilihat sebagai kelompok pekerja yang tidak dapat menghasilkan keuntungan maksimal bagi akumulasi modal karena memiliki kebutuhan khusus yang berkaitan dengan sistem reproduksinya.

Mengenai hal itu, negara sudah memfasilitasi kepentingan pemodal melalui Perppu Cipta Kerja. Dalam aturan tersebut, perusahaan tak lagi menjamin upah bagi pekerja perempuan yang mengambil cuti haid maupun cuti hamil. Sebagaimana diatur dalam Pasal 79 Perppu tersebut, perusahaan memang diwajibkan memberi cuti tahunan kepada pekerjanya, itu pun hanya berlaku bagi perusahaan tertentu. Ditambah lagi, mekanisme cuti diserahkan kepada perusahaan melalui perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama. Tetapi, Perppu itu tidak menegaskan adanya kewajiban perusahaan untuk memberikan cuti haid dan cuti hamil, maupun jaminan upah bagi mereka yang mengambil cuti tersebut. Artinya, intervensi negara dalam menjamin hak-hak perempuan semakin diminimalisir.

Padahal, dalam UU Ketenagakerjaan yang berlaku sebelumnya, dua hak khusus bagi pekerja perempuan ini harus dipenuhi oleh perusahaan.

Ditambah jika perempuan dibebankan oleh tanggung jawab domestik dan perawatan yang memaksa mereka untuk berhutang. Kesehatan yang terancam, diikuti oleh bayang-bayang kekerasan di tempat kerja dan rumah menjadikan perempuan berada dalam siklus yang mematikan.

Pada akhirnya, fleksibilitas dari prinsip no work no pay berimbas pada sulitnya seorang pekerja untuk dapat bertahan lama di sebuah perusahaan karena minimnya perlindungan sosial. Sebab, semakin fleksibel para tenaga kerja untuk menentukan jam kerja, kemungkinan mendapat tekanan justru akan lebih besar.

Berbagai jaminan yang dihilangkan itu membuat buruh tetap seolah-olah diposisikan sebagai buruh harian lepas. Skema pengupahan ‘buruh harian lepas’ ini tak lain karena adanya prinsip no work no pay. Pasalnya, buruh tetap, yang waktu kerjanya sudah diatur dan ditetapkan, dianggap tidak menghasilkan untung yang maksimal.

Hilangnya skema pengupahan buruh tetap pada akhirnya membawa kita pada situasi ketidakpastian kerja, di mana para pekerja kesulitan untuk bertahan lama di perusahaan karena upah dan waktu kerja yang tak pasti. Sementara itu, tuntutan hidup terus berjalan, utang semakin menggunung, dan pemerintah terus menggenjot konsumsi masyarakat demi pertumbuhan ekonomi nasional yang sejatinya tak bisa dirasakan oleh rakyat.

Perempuan Mahardhika

Comments

wave
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Press ESC to close