Paduan Suara Dialita: Musik untuk Pemulihan dan Merawat Harapan

Sudah 55 tahun sejak genosida 1965 merenggut nyawa banyak orang serta menghancurkan kehidupan orang-orang yang dijadikan tahanan politik. Para tahanan politik terpaksa meninggalkan keluarganya terutama anak-anaknya. Banyak anak-anak dari tahanan politik yang terpaksa untuk tinggal bersama kakek nenek mereka yang sudah renta, serta mencari cara untuk menghidupi diri mereka sendiri.

Sejak rezim Soeharto tumbang, anak-anak dari tahanan politik sering berkumpul untuk berbagi cerita agar tidak merasa sendiri. Mereka saling mengunjungi ibu-ibu dan keluarganya yang merupakan keluarga tahanan politik. Silaturahmi yang mereka lakukan membentuk ikatan batin yang kuat karena pengalaman mereka. Bahkan kegiatan bersama yang mereka lakukan telah melahirkan Paduan Suara Dialita, yang berisikan perempuan-perempuan dalam usia senja yang merupakan anak-anak dari tahanan politik.

Lahirnya Dialita berangkat dari kegiatan penggalangan dana yang dilakukan oleh anak-anak perempuan dari mantan tahanan politik yang kini sudah berusia limapuluh tahun ke atas. Tak disangka saat menyortir dan melipat baju-baju bekas, Utji, anak dari mantan tahanan politik, dan teman-temannya menghabiskan waktu dengan bernyanyi. Kebiasaan tersebut membawa mereka untuk membentuk kelompok paduan suara.

Pada tanggal 4 Desember 2011 terbentuklah kelompok paduan suara Dialita. Dialita yang berarti Diatas Limapuluh Tahun, awalnya beranggotakan 11 orang. Kini anggotanya ada 22 orang. Paduan Suara Dialita tak hanya diisi oleh anak dari mantan tapol tapi juga beranggotakan Muji dan Utati yang pernah menjadi tahanan politik.

Awalnya Dialita hanya menyanyikan lagu-lagu popular dan lagu-lagu kebangsaan yang memiliki makna dalam dengan perjuangan dan kepemudaan. Namun mereka menyadari bahwa sejarah mereka yang berkaitan erat dengan genosida 1965 memiliki makna yang dalam. Anggota Dialita yang bernama Utati dan Muji dibantu Sudiyami kemudian mengumpulkan lagu-lagu yang diciptakan selama para tahanan politik berada di tahanan. Mereka berharap dengan dikumpulkannya lagu-lagu tersebut, anak-anak muda di masa depan dapat belajar dari sejarah kelam bangsa Indonesia, yang hingga hari ini tidak mendapatkan pengakuan dari negaranya sendiri.

Mereka  mengumpulkan lagu-lagu dari penjara Bukit Duri dengan judul Salam Harapan, Indonesia Jaya, Tetap Senyum Menjelang Fajar, Ibu, Ujian, Buruh Wanita dan Relakan. Sedangkan dari Plantungan, mereka mengumpulkan lagu yang berjudul Taman Bunga Plantungan, Kabut Putih, Tanu Menggugah Hati dan Aku Percaya.

Dialita tidak hanya mengumpulkan lagu-lagu yang diciptakan di kamp penjara perempuan namun juga dari Pulau Buru seperti lagu Awan Putih serta Katanta Natal karya Subronto K. Atmodjo. Adapula lagu Pucuk Bambu dan Kupandang Langit dari Penjara Salemba. Pucuk Bambu diciptakan oleh Putu Oka Sukanta dengan notasi oleh Chairul sedangkan lirik dan lagu Kupandang Langit diciptakan oleh Koesalah Soebagyo Toer.

Selain mengumpulkan lirik lagu, mereka mulai mempelajari lagu-lagu yang diciptakan dari dalam penjara. Mereka juga mengumpulkan partitur yang diciptakan bersama lagu-lagu tersebut.

Upaya mengumpulkan lagu-lagu tersebut dan menyanyikannya merupakan upaya pemulihan. Memulihkan diri memang bukan sesuatu yang mudah. Bahkan psikolog sendiri pun belum tentu bisa membantu banyak apalagi jika ini berkaitan dengan genosida, yang mana sangat tabu dibicarakan di masyarakat Indonesia.

Selain itu, menyanyikan lagu-lagu yang diciptakan dari balik jeruji besi merupakan cara mereka melawan stigma-stigma tentang genosida 1965 serta menceritakan kisahnya sendri.

Seperti Utji, walaupun orang tuanya telah dibebaskan, stigma tentang orang tuanya yang merupakan tahanan politik tetap melekat erat. Ia pun sulit membicarakan tentang identitas dirinya dan pengalaman masa kecilnya tatkala ia dikucilkan di kampungnya karena diketahui memiliki orang tua tahanan politik.

Atau seperti Irina, yang hingga umur 20 tahun tidak tahu tentang sejarah orangtuanya. Bahkan, ia tak bisa menyantumkan nama ayah kandungnya dalam dokumennya. Banyak dari anak-anak tahanan politik yang haknya sebagai anak direbut karena orangtua mereka ditahan, serta dimiskinkan karena kehilangan sumber penghasilan mereka. Mereka juga dikeluarkan dari universitas tempat mereka belajar lantaran ketahuan orangtuanya merupakan tahanan politik.

Kelompok Paduan Suara Dialita juga beranggotakan mantan anggota Ansambel Gembira yang sempat terkenal di tahun 1960-an, seperti Elly Runtu, Tuti Martoyo dan Hartinah. Orangtua mereka juga ditahan dan hilang.

Ansambel Gembira ini sering diundang ke Istana Negara untuk bernyanyi di depan tamu kenegaraan dan menyanyikan lagu-lagu kebangsaan dan kedaerahan dari negara lain. Sehingga adanya Dialita menjadi penyemangat bagi 3 orang anggota ansambel gembira ini, karena berarti mereka bisa terus bermusik dan meneruskan perjuangan yang telah dimulainya di masa lalu. Dialita menjadi wadah kreatif dan aktualisasi para perempuan-perempuan yang mencari pemulihan dengan menceritakan sejarah mereka.

Kini Dialita telah mengeluarkan dua album. Album pertama yang berjudul Dunia Milik Kita diluncurkan pada tanggal 1 Oktober 2016 di Jogja, dan album kedua berjudul Salam Harapan yang diluncurkan pada tanggal 31 Januari 2019 di Jakarta.

Setiap ada yang mengundang Dialita, semangat mereka selalu berapi-api untuk bernyanyi di depan para pendengar dan penikmat musik. Bahkan mereka rela jika tidak dibayar untuk tampil. Uang yang terkumpul dari hasil penjualan album digunakan tak hanya untuk membiayai pengobatan para anggota Dialita yang sudah tua dan sepuh, tapi terutama (lebih banyak) untuk membantu sesama penyintas yg bukan anggota Dialita.

Apa yang perempuan-peremuan Dialita lakukan tak hanya merupakan cara mereka untuk pulih namun cara mereka bercerita kepada dunia tentang masa kelamnya serta membangun harapan untuk negara yang dicintainya.

Kamu bisa mendengarkan lagu-lagu mereka di YouTube dan Spotify.

 

 

Fira Bas

Seorang feminis Jawa yang sesekali melakoni sebagai dokter gigi serta melawan segala ketidakmungkinan untuk menemukan cinta, kehidupan, dan semangat hidup.

Press ESC to close