Dialita, Nyanyian Semangat untuk Tetap Hidup (Bagian 2)

Masa Suram yang Tak Terlupakan

28 September 1965, sebelum gejolak politik, CGMI melakukan kongres ke III di Senayan dan mengundang DN Aidit yang saat itu merupakan ketua politbiro Partai Komunis Indonesia. Saat itu Elly Runtu baru memasuki semester empat awal, kuliah di Fakultas Kedokteran UI.

Dua hari pasca kongres CGMI, gejolak politik 65 meledak. Partai Komunis Indonesia dituduh sebagai dalang dari peristiwa pembunuhan enam jenderal. CGMI yang secara organisasi dekat dengan PKI terkena imbas dari peristiwa tersebut.

Awalnya Elly Runtu masih bersikap santai dan tenang, karena ia merasa tidak terkait apapun. Namun beberapa waktu kemudian, di kampusnya tertempel selebaran dengan deretan nama mahasiswa yang tergabung dalam CGMI diminta untuk wajib melapor. Tak disangka, nama Elly Runtu tertera dalam daftar nama tersebut. Bersama mahasiswa lainnya yang dianggap terlibat, Elly Runtu diwajibkan untuk melapor dua kali seminggu di kampus. Perkuliahan diberhentikan,

Elly dan mahasiswa lainnya hanya wajib lapor dan akan direhabilisasi apabila persoalan selesai. Tentu saja hal tersebut menjadi harapan bagi Elly Runtu agar tetap dapat melanjutkan kuliah.

Elly menceritakan pada saat bergejolaknya situasi politik pada tahun 1965, ayahnya sempat menawarkan untuk melanjutkan kuliah di luar negeri agar lebih aman. Ayahnya memiliki beberapa kenalan di luar negeri sehingga dapat membantunya jika ingin pindah kuliah ke luar negeri.

saya kemudian berpikir, kalau negara sedang seperti ini, saya pulang bagaimana? Jika sudah di sana, kemudian kembali apa bisa masuk lagi?” kenangnya. Dengan pertimbangan seperti itu, ia memutuskan untuk tidak pergi dan tetap bertahan pada situasi yang sedang kacau.

Tak berselang lama, rumah yang ditinggali Elly Runtu didatangi oleh masa yang anti terhadap PKI. Ayahnya yang merupakan anggota SOBSI kemudian ditangkap dan dipenjara di Pulau Buru. Ayahnya baru dipulangkan pada 1977. Penangkapan ayahnya membuat situasi hidupnya berubah. Segala fasilitas yang diberikan dicabut kembali oleh pemerintah.

Hal menyakitkan bagi Elly adalah ia harus berpisah dengan ibunya. Ia tidak tahu di mana ibunya tinggal dan begitu pula sebaliknya. Elly sendiri tinggal berpindah-pindah dari rumah kawan-kawannya yang bersedia menampungnya.

Menurutnya, pada masa itu, tidak semua orang mau menampung keluarga yang ditangkap dengan jumlah lebih dari satu orang. Bahkan, keluarga sendiri pun menghindar karena tidak berani untuk menjalin hubungan dengan orang yang terlibat dalam organisasi yang dilarang oleh pemerintah saat itu.

Elly baru bertemu ibunya kembali setelah hampir sebulan berpisah. Di Jl. Diponegoro, secara tak sengaja Elly yang sedang naik bis sepulang dari kampus UI untuk melapor, melihat perempuan seperti ibunya. Saat itu ia memutuskan untuk turun dari bis dan mengejar perempuan itu, dan ternyata memang benar ibunya.

Dengan perasaan bahagia bertemu kembali, Elly diajak ibunya ke rumah tempat ibunya tinggal. Namun pemilik rumah tak berkenan Elly tinggal di sana. Ia pun akhirnya memutuskan untuk pulang dan akan berkabar lagi mengenai tempat tinggalnya kepada ibunya.

Tertangkapnya ayah dan ketidakpastian dalam pendidikan membuat Ibu Elly memutuskan untuk hidup bersama dengan ibunya. Mereka pun mengontrak dan tinggal bersama di rumah kontrakan wilayah Kebayoran. Namun, kebersamaan itu tidak berlangsung lama.

Desember 1965 Elly Runtu ditangkap dan ditahan. Ibunya bingung seorang diri, beruntung ketua RT tempatnya tinggal orang betawi yang baik. “gak usah khawatir, tidak apa-apa, aman dilingkungan sini” ucapnya mengenang perkataan ketua RT.

Penahanan itu terjadi selama beberapa bulan dan berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Ia hanya mengingat tempat terakhir, yaitu di sebuah sekolah yang telah dikosongkan. Ia bersama teman-teman perempuannya yang ditangkap tinggal di sebuah ruang kelas.

Perempuan dan laki-laki dipisahkan ruangannya. Sementara beberapa ruang kosong ditinggali para prajurit tentara yang menjaga para tahanan. Ruangan para tahanan dikunci dari luar, mereka tak dapat melihat situasi diluar kecuali dari beberapa jendela. Jika harus ke kamar mandi, para tahanan harus minta ijin.

 

Bertahan untuk tetap melanjutkan kehidupan

Tepat hari ulang tahun DKI Jakarta pada 22 Juni 1966, saya dibebaskan karena tidak terbukti apa-apa” terang Ibu Elly sambil tersenyum. Pada masa itu, meskipun para tahanan dibebaskan tanpa indikasi apapun, mereka tetap berada dalam kontrol pemerintah.

Mereka dikenakan wajib lapor dan gerak-geriknya dipantau. Hilangnya kebebasan sebagai warga negara beriringan dengan hilangnya kebebasan untuk tinggal dan bersosialisasi di masyarakat.

Ketika dibebaskan, Elly Runtu diberi surat keterangan bebas yang bertuliskan “ditahan dari tanggal sekian hingga sekian dalam rangka G30S” jelas Elly. Situasi pada saat itu sangat sensitif di mana orang yang berkaitan PKI di diskriminasi dan diasingkan dalam masyarakat.

Ia  merasa dengan surat seperti itu, akan sulit baginya untuk mencari pekerjaan untuk melanjutkan hidup. Ketika ayahnya ditangkap saja sudah membuat semua kerluarga menyingkir dan dikucilkan. Ia pun memberanikan diri untuk mengajukan perubahan redaksi.

Untuk mengubahnya, Elly Runtu diminta untuk menghadap langsung ke penguasa yang berwenang pada saat itu. Ibunya menemani Elly ke kantor karena ibunya takut ia tidak kembali apabila masuk ke sana sendirian hanya untuk meminta perubahan redaksi.

Setibanya di Kodam Jaya, kepala bagian yang berwenang tidak bersedia menemui Elly, tapi mengutus sekretarisnya. Pada akhirnya redaksi surat itu berhasil diubah menjadi “ditahan dari tanggal sekian hingga sekian dalam rangka G30S dan tidak ditemukan indikasi apapun” jelas Elly Runtu.

Setelah bebas dan tinggal bersama ibunya, bertahan hidup adalah tujuan utama. Mencari pekerjaan tentu tidak mudah bagi Elly, terutama dengan embel-embel ‘keluarga PKI’ dan pernah ditangkap. Untuk bertahan hidup Ibunya mengkreditkan daster, tas dan sepatu di sekitar tempatnya tinggal. Pernah juga membuat kacang bawang dan bakpao untuk dititipkan ke warung-warung, walaupun sering sisa dan rugi.

Karena membutuhkan kerja keras untuk bertahan hidup, Elly Runtu memberanikan diri untuk melamar pekerjaan. Namun dengan surat keterangan mantan tahanan politik, sulit baginya untuk mencari pekerjaan. Hal yang sering membuatnya gagal diterima adalah ketika ia ditanya tentang peristiwa yang menimpanya.

Karena selalu gagal, Elly memutuskan untuk menggunakan ijazah SLTA nya sehingga tidak ada embel-embel pertanyaan lain. “Bukan bermaksud berbohong, namun dengan cara inilah dapat bertahan hidup” ungkap Elly.

Setelah melamar di beberapa tempat, Elly Runtu diterima di salah satu majalah perekonomian nasional. Karena ia tidak dapat mengetik, ia diminta untuk kursus ketik dengan cepat yaitu hanya satu bulan. Pemberi kerja menyadari bahwa Elly tidak memiliki uang, sehingga memberikan separuh biaya untuk Elly Runtu kursus mengetik. Dengan kemampuannya mengetik, ia diterima sebagai sekretaris.

Selain bekerja, kesibukan lain yang dilakukan Elly Runtu adalah dengan mengikuti koor paduan suara di Gereja. Baginya, selain mengembangkan bakat menyanyinya, aktivitas dan kesibukannya sebagai paduan suara menjadi cara Elly untuk menghilangkan rasa takut dan membangun kekuatan diri dari rasa trauma yang dialaminya.

Elly Runtu merasa sangat bersyukur karena langkahnya selalu dipermudah oleh Tuhan. Suatu hari ia berangkat ke kantor tempatnya bekerja. Lokasi kantornya tak jauh dari stasiun Gambir. Saat itu Elly melihat banyak ibu-ibu gendong menjual kue-kue tradisional di kereta dengan sangat laris.

Elly pun membeli sepuluh buat tiap jenis kue tradisional dijual ibu tersebut untuk ditunjukkan kepada ibunya di rumah sebagai contoh kue yang bisa dijual. Sang ibu pun membawa beberapa jenis kue tersebut dan mencoba menjualnya. Ternyata dagangan ibunya laris hingga memiliki konsumen yang tersebar di mana-mana, seperti Tebet, Kebayoran, Mampang dan lainnya.

Ibunya pun kemudian mengambil langsung dari ibu gendong di stasiun dan menjualnya dengan menaiki bis setiap hari. Sebetulnya ia kasihan melihat ibunya berkeliling membawa barang dan tas besar, namun apa mau di kata, semua dijalani agar tetap hidup. Berkat kerja keras, Elly dan Ibunya perekonomian mereka mulai membaik dan dapat membeli rumah kecil.

Seiring waktu, ia bertemu dengan seorang pria bernama Soetarjo asal Jombang yang bekerja dekat dengan kantornya. Sering pulang kerja bersama dan pendekatan selama dua tahun membuat mereka sepakat untuk lebih serius, menikah. Ia sangat mengingat tanggal pertunangannya dengan Soetarjo yaitu Oktober 1970 yang sebelumnya 21 Juni 1970 diundur karena bertepatan dengan hari meninggalnya Soekarno.

Pada Desember 1970 mereka melangsungkan pernikahan. Selang beberapa tahun, tempat tinggal mereka pun digusur karena akan dibangun perumahan menteri. Akhirnya mereka pindah di Jakarta Timur hingga hari ini.

Pigura Theresia Ellysabeth dan Suami Soetarjo

 

Baca selanjutnya Dialita, Nyanyian Semangat untuk Tetap Hidup (Bagian 3)

 

Nindya Utami

Seorang psikolog klinis yang sedang bergiat mendalami isu perempuan dan perburuhan

Comments

wave
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
1 Comment
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
trackback

[…] Baca selengkapnya Dialita, Nyanyian Semangat untuk Tetap Hidup (Bagian 2) […]

Press ESC to close