Dialita, Nyanyian Semangat untuk Tetap Hidup (Bagian 3)

Bertahan Dengan Stigma

Pernah menjadi tahanan politik meskipun hanya sebentar, tidak membuat kondisi lingkungan kembali seperti semula. Stigma dianggap terlibat PKI membuat sanak saudara menjauh. Tidak sedikit yang berpaling dan berpura-pura tidak memiliki ikatan.

Hal demikian dialami oleh Elly Runtu. Suatu hari kakak sepupunya datang dari Surabaya dan mengajak ke rumah kakak laki-lakinya.

Tanpa ada pikiran dan perasaan yang aneh, ia pun pergi. Setibanya di sana, bukan sapaan hangat keluarga yang didapat, sebaliknya, sebuah teriakan dan stigma. “Kamu tahu gak kamu itu bawa siapa?! Kamu tahu gak dia darimana?!” terangnya menirukan apa yang ia dengar dari kakak sepupunya.

Diperlakukan seperti itu tentu saja sedih, namun, Elly Runtu selalu bersikap bijak. Ia tahu betul bahwa apa yang dialaminya adalah karena stigmatisasi oleh rezim orde baru. Sehingga Elly melihat bahwa mereka juga adalah korban dari bagaimana rezim terus merawat cerita buruk tentang gejolak politik 65.

Melekatnya stigma mantan tahanan dan berasal dari keluarga korban peristiwa 65 berlangsung secara turun menurun. Generasi berikutnya yang bahkan tidak memahami peristiwa keluarganya pun tak luput dari derita. Begitu kuatnya dokrin dan stigma yang dibangun menciptakan momok mengerikan bagi hidup mereka.

Kekhawatiran akan diketahui tentang keluarganya menjadi hal mencekam. Peristiwa itupun pernah menghampiri Ibu Elly. Suatu hari terdapat screening dari pemerintah ditempatnya bekerja. Seorang dari Kodam yang diutus.

Tentu saja mendengar nama Kodam sudah terbayang dengan peristiwa masa lalunya. Kabar dikeluarkannya seorang rekan kerja karena memiliki silsilah keluarga PKI pun semakin membuatnya takut. Ia berdiskusi dengan ibu dan suaminya tentang kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi.

Ia pun memutuskan untuk menunjukkan surat bebas dan keberadaan ayahnya pun dipertanyakan. Ia menceritakan bahwa ketakutan muncul pada saat itu, apalagi saat mengatakan bahwa ayahnya berada di pulau Buru. Namun perasaan lega diperolehnya, sebab utusan tersebut hanya berpesan padanya untuk menyimpan baik-baik surat bebas tersebut.

Stigma buruk sebagai mantan tahanan berdampak pada semua aspek. Keluarga dan pertemanan yang hilang dan terampas dari kebebasan untuk bergerak. Hilangnya akses terhadap pekerjaan dan ruang hidup tidak sedikit membuat mantan tahanan politik menjadi terpuruk dan terasing.

Tidak mudah membangun kembali dari titik kejatuhan pascaperistiwa penangkapan tersebut. Elly merasa bahwa dirinya termasuk beruntung karena memiliki ibu dan beberapa keluarga seperti nenek dari ibunya dan saudara dari bapaknya yang masih peduli. Hal itu yang kemudian menjadi jalan penguat untuk tetap maju dan berusaha bangkit.

Peristiwa dan apa yang dialami Elly Runtu tersebut tentu tidak bisa dilupakan, namun juga tidak bisa terus dikenang. Ia merasakan betul sakitnya dan pahitnya menjadi seorang mantan tahanan politik.

Penderitaan yang panjang dan stigma yang melekat pada saudara serta teman-teman terhadap dirinya. Ia pun memutuskan untuk berjuang. Ia tidak melupakan peristiwa tersebut, menurutnya yang terbaik adalah berusaha berdamai dan berusaha untuk melanjutkan hidup.

 

Luka Itu Sembuh Bersama Dialita

Pertemuannya dengan anggota paduan suara Dialita (Di Atas Limapuluh Tahun) sudah terbentuk sejak dulu. Kegemarannya bernyanyi membuat ia tergabung dalam paduan suara Gembira pada saat ia masih sekolah. Di sanalah ia bertemu dengan Bu Tuti Martoyo dan Bu Hartina, meskipun masuk pada periode yang berbeda.

Bu Hartina sendiri merupakan seniornya di sekolah. Sedangkan pertemuannya dengan Bu Tuti terjadi pasca peristiwa penangkapan. Pertemuan inilah yang kemudian menghubungkan mereka dengan teman-teman lainnya yang tergabung di Dialita.

Seperti Bu Irina yang ditemuinya pada saat di rumah Bu Tutik. Sedangkan pertemuan dengan Bu Uchi ketika ia berkunjung ke Panti Jompo Waluyo Sejati Abadi. Panti Jompo ini merupakan tempat yang dikhususkan bagi mantan tahanan politik perempuan di masa rezim Soeharto.

(Dari kiri ke kanan)
Irina Dayasih, Theresia Ellysabeth, Astuti Ananta Toer
Theresia Ellysabeth dan Uchi Kowati
Merayakan Hut ke 10 Dialita di kediaman Tuti Martoyo

 

Awalnya, aktivitas Elly dan teman-teman sesama mantan tahanan politik ini sekedar mengumpulkan barang-barang bekas dan kemudian membantu teman-teman yang kesulitan secara finansial. Bantuan ini tentu tidak hanya kepada sesama teman-teman anggota namun juga teman di luar anggota Dialita.

Solidaritas terhadap sesama untuk membantu dalam bentuk apapun sesuai kemampuan masing-masing anggota. Memahami sama-sama korban rezim menjadi dasar bagi teman-teman untuk bersolidaritas.

Senandung pun sering dilakukan pada saat sedang kumpul bersama. Dari sanalah mereka menemukan ide untuk membuat paduan suara. Nama Dialita disepakati karena rata-rata dari mereka usianya diatas 50 tahun.

Dua orang teman Elly Runtu yang berjasa mengumpulkan lagu-lagu yang hidup di camp pada masa itu adalah Utati dan Mudjiati. Dalam aksi-aksi panggungnya Dialita menyanyikan lagu-lagu yang dikumpulkan untuk mengenang dan terus memupuk solidaritas sesama penyintas 65. Bersama Dialita Elly Runtu merasa hidup dan semakin percaya diri untuk tampil di tengah-tengah publik dan berani menyuarakan ketidakadilan yang ia alami.

Semangat teman-teman penyintas yang bergabung bersama Dialita tidak pudar meskipun sudah lanjut usia. Dukungan antar sesama penyintas membuat mereka semakin kuat dan erat. Dialita merupakan wadah untuk proses penyembuhan luka batin yang dialami mereka selama ini.

Dengan bertemu dan bercerita saja, itu merupakan proses penyembuhan atas luka yang tetap membekas selama puluhan tahun. Sedih dan senang dirasakan bersama, dengan begitu segala trauma dapat diatasi dan dihadapi secara bersama.

Kenangan Dialita piknik bersama mendiang Tossin Suharya sebelum pandemi
Dialita makan siang bersama Dyah Pitaloka di Tangerang
(Dari kiri ke kanan)
Sri Nasti, Tunik (konduktor), Theresia Ellysabeth

 

Elly Runtu merasakan besarnya dampak dari perkumpulan dengan teman-teman Dialita. Hubungan yang terjalin lebih erat daripada hubungan dengan teman-teman biasa. Meskipun ia masih merasa sedih dengan teman-teman di luar sana yang mungkin tidak sebebas dirinya dan teman di Dialita.

Mungkin secara materi terpenuhi bersama keluarga, namun tidak diberikan sama sekali akses untuk bersosialisasi dengan orang lain. Disadari atau tidak oleh anggota keluarga, perlakuan isolasi tersebut menjadi perpanjangan penyiksaan secara psikologis.

Bahkan tidak sedikit yang menelantarkan mantan tahanan politik ini di panti Jompo. Padahal yang dibutuhkan bagi teman-teman penyintas adalah sebuah pertemanan di mana mereka merasa diterima tanpa ada diskriminasi dan stigmatisasi.

Saat bertemu dengan Elly Runtu, wajahnya masih tampak segar dan masih semangat meski usianya sudah 76 tahun. Dan yang membuat saya takjub adalah ia bertahan dengan penyakit ginjalnya kurang lebih 8 tahun terakhir tanpa mengeluh dan tetap tampil dalam panggung-panggung panduan suara. Dan akhirnya cita-citanya menjadi seorang dokter dilanjutkan oleh anak perempuan satu-satunya.

 

Nindya Utami

Seorang psikolog klinis yang sedang bergiat mendalami isu perempuan dan perburuhan

Comments

wave
5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
1 Comment
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
trackback

[…] Baca selengkapnya Dialita, Nyanyian Semangat untuk Tetap Hidup (Bagian 3) […]

Press ESC to close