Dialita, Nyanyian Semangat untuk Tetap Hidup (Bagian 1)

Di atas panggung sebuah auditorium, berdiri sebelas perempuan berusia lebih dari limapuluh tahun berkostum petani perempuan. Di hadapan mereka, berdiri seorang dirigen atau konduktor, memandu kesebelas perempuan paduan suara tersebut bernyanyi. Di sisi kanan panggung, pemain keyboard mengiringi mereka dengan alunan musik ber-genre keroncong.

Satu dari dua lagu yang dibawakan berjudul “Taman Bunga Plantungan”. Lagu ini ditulis oleh seorang tokoh Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), Zubaedah Nungtjik. AR, pada 1971 di kamp tahanan politik Plantungan, perbatasan antara Kabupaten Kendal dan Batang, Jawa Tengah.

Perform paduan suara bernama Dialita tersebut digelar di Goethe Haus, Jakarta, pada 21 Agustus 2022, dalam rangka peringatan hari ulang tahun ke 102 tahun Mia Bustam, anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang kenyang ditahan oleh rezim Orde Baru tanpa pernah diadili.

Perform Paduan Suara Dialita pada Peringatan 102 Mia Bustam di Goethe-Haus

 

Dialita merupakan kelompok paduan suara Indonesia berbasis di Jakarta yang didirikan pada 2011. Anggotanya terdiri dari perempuan-perempuan penyintas 65 yang sekarang sudah berusia di atas limapuluh tahun. Awalnya, Dialita hanya menyanyikan lagu-lagu nasional dan daerah. Setahun kemudian, Dialita menyajikan lagu-lagu yang ditulis oleh para tahanan politik pada masa orde baru di kamp-kamp penahanan.

Salah satu dari sebelas perempuan paduan suara Dialita itu adalah Theresia Ellysabeth. Teman-temannya biasa memanggil dengan nama Elly Runtu. Nama Runtu diambil dari nama marga ayahnya yang berasal dari Manado, Runturambi. Kegemaran dan bakat menyanyi Elly Runtu sudah muncul sedari ia kecil.

Hal itu membuatnya terpilih menjadi aubade pada perayaan 17 Agustus di Istana Negara saat ia duduk di bangku Sekolah Lanjut Tingkat Atas (SLTA). Pada 8 September 2022 lalu, saya berkesempatan mengunjungi rumahnya, di Jakarta Timur. Sambutannya yang hangat membuat saya merasa akrab ketika berbicara dengannya, meskipun kali pertama kami bertemu.

 

Tumbuh Di Tengah Pergerakan Kaum Perempuan

Elly Runtu lahir di Malang, pada 18 November 1946. Ayahnya seorang pegawai negeri yang terlibat aktif di serikat buruh terbesar pada masa presiden Sukarno, Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Sementara ibunya berasal dari Jawa.

Sebelum menetap di Jakarta, Elly Runtu sempat tinggal di beberapa kota di Jawa Timur dan Yogyakarta. Mengikuti sang ayah karena mendapat tugas pekerjaan. Karir terakhir ayahnya di Jakarta sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mewakili kelompok buruh dan Deputy Menteri BAPPENAS.

Di Jakarta, Elly Runtu menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Lanjut Tingkat Atas (SLTA). Ia juga sempat kuliah pada jurusan Kedokteran di Universitas Indonesia (UI). Namun, pada semester empat awal ia terpaksa berhenti, karena ditangkap. Cita-citanya untuk menjadi seorang dokter kandas setelah peristiwa gejolak politik pada 1965.

Elly Runtu dibesarkan pada masa organisasi pergerakan perempuan sedang tumbuh pada awal-awal kemerdekaan Indonesia. Ia menyaksikan pada periode awal 1945-an hingga akhir 1965 beberapa organisasi perempuan bermunculan untuk menyuarakan suara perempuan. Di antaranya adalah Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari), Persatuan Wanita Kristen Indonesia (PWKI), Barisan Buruh Wanita (BBW), dan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani).

Perwari merupakan organisasi perempuan indepeden. Tujuan pendiriannya menjadi garis belakang kemerdekaan, dari pengaturan dapur umum hingga kesehatan[1]. Tahun-tahun berikutnya, Perwari mulai melakukan pembelaan hak perempuan. Memastikan pendidikan terhadap perempuan dan anak, melawan poligami hingga memperjuangkan kesejahteraan buruh.

Namun, masa kejayaan Perwari mulai redup ketika salah satu anggotanya menjadi istri Soekarno yang kedua. Organisasi inipun semakin terpecah karena eksistensi Gerwani lebih meledak karena memiliki kesamaan garis politik dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Gerwani merupakan organisasi perempuan yang memiliki perhatian terhadap politik. Kedekatannya dengan Partai Komunis Indonesia membuat organisasi ini semakin progresif dan terus berkembang setiap tahunnya. Gerwani juga berfokus pada kesetaraan perempuan dan laki-laki, penolakan poligami dan meningkatkan kesejahteraan buruh baik dalam segi upah hingga hak buruh lainnya.

Pertemuan beberapa organisasi perempuan pada 26 Febuari 1946 di Solo, menyepakati dibentuknya satu Badan Kongres Wanita Indonesia (Kowani) yang merupakan komite tetap kongres dan mempunyai hak untuk membuat keputusan menyangkut kepentingan perkumpulan. Beberapa organisasi yang tergabung adalah Perwari, Perikatan Perkumpulan Isteri Indonesia (PPII), dan PWKI. Salah satu keputusan yang diambil adalah membentuk badan untuk memeriksa pergantian beberapa undang-undang warisan kolonial[2].

Di antaranya, UU perkawinan di bawah kepemimpinan Maria Ulfah Santoso, Kelompok kedua di bawah kepemimpinan S.K Trimurti mengatasi masalah yang dialami perempuan pekerja dan ketiga, dipimpin oleh J. Sulianti tentang persoalan kesehatan masyarakat[3].

Dedikasi Maria Ulfah dalam membela hak-hak buruh tertuang pada Maklumat penetapan hari buruh 1 Mei dan isu hak perempuan dalam perkawinan melalui UU perkawinan. Bersama Gerwani, S.K. Trimurti sangat fokus membela hak perempuan dan kesejahteraan buruh. Ia juga mendirikan Barisan Buruh Wanita (BBW) organisasi buruh perempuan pertama di Indonesia yang merupakan bagian dari Barisan Buruh Indonesia (BBI). BBW sendiri menjadi wadah istri kaum buruh dan perempuan saat itu. Di Jakarta, BBW dipimpin oleh Setiati terkenal lantang dan gencar melakukan aksi buruh pada 1 Mei.

Kiprah BBW kemudian hilang setelah BBI melebur ke dalam SOBSI. Masifnya gerakan buruh saat itu berhasil mendorong pemerintah meratifikasi konvensi ILO 100 tentang kesetaraan upah antara laki-laki dan perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya.

Selain itu, kerjasama Gerwani dengan pemerintah dalam pemberantasan buta huruf menjadi sorotan utama dan menarik perhatian masyarakat pada masa itu. Terbentuknya Taman Kanak-Kanak (TK) Melati di setiap cabang merupakan bukti perjuangan Gerwani dalam pemenuhan hak anak.

Para anggota melakukan upaya sosialisasi pencarian murid dan mengarusutamakan relasi yang baik antara guru dan orang tua. Pemberian kursus kilat kepada lulusan Sekolah Rakyat sebagai langkah mengatasi minimnya guru di desa-desa. Gerwani pun berhasil membangun kurang lebih 1500 sekolah TK Melati sebelum pembubaran pada 1965.

Gagasan Gerwani untuk memberantas buta huruf mengerakkan Elly Runtu untuk melakukan hal yang sama. Ia pun mengajarkan PRT (Pekerja Rumah Tangga) yang membantu ibunya di rumah agar mampu baca tulis. Aksinya tersebut dilakukan setiap PRT bebas dari tugasnya di rumah. Masifnya gerakan organisasi perempuan pada masa itu lebih banyak dipelopori oleh Gerwani dan Perwari.

Pada saat kuliah di Kedokteran UI, Elly Runtu mulai berorganisasi. Ia bergabung dengan organisasi mahasiswa, Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI). Ketertarikan Elly Runtu bergabung dengan CGMI karena organisasi ini, pada masa itu memiliki banyak kader yang cerdas dan memiliki aktifitas regu belajar bersama. Selain itu, CGMI dinilai sebagai organisasi mahasiswa yang paling kritis menyikapi persoalan-persoalan pendidikan dan bangsa. Karenanya, menurut Elly Runtu, CGMI diminati oleh banyak mahasiswa.

 

Baca selanjutnya Dialita, Nyanyian Semangat untuk Tetap Hidup (Bagian 2)

 

 

Sumber Rujukan:

[1] Cora Vreede-De Stuers. 2017. Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan Pencapaian. Cetakan Kedua. Penerbit Komunitas Bambu.

[2] Ibid

[3] Ibid

Nindya Utami

Seorang psikolog klinis yang sedang bergiat mendalami isu perempuan dan perburuhan

Comments

wave
4 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Press ESC to close