World Cup Qatar = World Cup Eksploitasi
Siapa yang tidak terpesona dengan gemerlap pesta sepak bola dunia World Cup, yang digelar empat tahun sekali. Ajang olah raga itu telah menjadi ajang raksasa sekaligus ajang bisnis dengan keuntungan melimpah.
Sejak 1930, FIFA World Cup sudah menjadikan dirinya sebagai ajang olah raga raksasa yang prestisius dan menggiurkan. Tak heran, negara – negara dunia berebut menjadi tuan rumah, tak hanya untuk mendulang keuntungan melalui pembangunan infrastruktur mulai dari stadion, pusat – pusat training sepak bola bagi seluruh tim dunia, hingga perhotelan dan pusat – pusat hiburan, namun juga menaikkan posisi politik negara secara global. Bagi FIFA sendiri yang merupakan penyelenggara World Cup, ajang ini merupakan ajang bisnis ‘profitable’ sehingga sanggup menggandeng dua sponsor besar yaitu ADIDAS dan Coca Cola sejak 1970.
Selama beberapa dekade, ADIDAS telah menjadi sponsor utama perlengkapan piala dunia dan mensponsori 9 dari 16 tim Piala Dunia, diantaranya adalah empat tim favorit teratas seperti Argentina, Spanyol, Belgia dan Jerman. Berdasarkan daftar peringkat yang dilansir oleh FIFA, enam dari tujuh negara yang bermain, mengenakan Jersey ADIDAS. Semuanya berada di 20 tim teratas dunia.
Piala Dunia Qatar 2022 sendiri menjadi turnamen FIFA paling menguntungkan sepanjang masa dengan rekor USD 5,4 miliar atau sekitar Rp 84,67 triliun, lebih unggul dari turnamen 2018 Rusia. Namun, rekor keuntungan tersebut berbanding terbalik dengan kondisi pekerja yang berpeluh keringat demi terwujudnya pagelaran raksasa yang menampilkan Jungkook BTS di acara pembuka dengan harga fantastis.
Diperkirakan biaya yang digelontorkan adalah sebesar USD 3 – 4,5 juta, sesuai dengan biaya kerja sama iklan dengan BTS. Tentu saja biaya sebesar itu mendatangkan keuntungan lebih, mengingat rating penayangan pembukaan World Cup Qatar melalui televisi, meningkat pesat di seluruh dunia, dengan jumlah penonton 3,3 juta. Angka ini bertambah 109% dibanding dua pembukaan piala dunia sebelumnya. Rating ini tentu saja akan terus meningkat sepanjang turnamen Piala Dunia, terutama di pertandingan penentu.
Secara keseluruhan, berdasarkan berita yang dilansir Reuters, sejak Qatar ditetapkan sebagai tuan rumah Piala Dunia pada 11 tahun yang lalu. Negara tersebut telah menghabiskan setidaknya $229 miliar untuk persiapan Piala Dunia yang digunakan untuk pembangunan infrastruktur, rumah sakit, hotel, bandara, dan beberapa stadion baru.
Tujuh dari delapan stadion yang digunakan untuk Piala Dunia 2022 merupakan stadion baru. Ketujuhnya dibangun dari nol dengan fasilitas kelas dunia. Sementara satu stadion yang sebelumnya telah ada, direnovasi secara total. Melalui penggunaan anggaran ini, Qatar mengklaim telah menciptakan lapangan kerja bagi 1,5 juta pekerja. Namun, Guardian mencatat, di saat bersamaan telah mengakibatkan lebih dari 6.500 pekerja dari India, Pakistan, Nepal, Bangladesh dan Srilanka meninggal akibat stres, serangan jantung dan stroke yang dipicu oleh suhu tinggi di Qatar. Meski, tentu saja pemerintah Qatar enggan mengakuinya.
Perlu dicatat, 70% dari pekerja di Qatar adalah pekerja migran yang mayoritasnya terserap sebagai buruh kerah biru, sementara 30% pekerja lainnya merupakan warga negara Qatar dan menempati lapangan kerja yang jauh lebih baik. Ketimpangan kelas bernuansa perbedaan ras ini memperburuk situasi pekerja migran di Qatar. Fenomena ini berkebalikan dengan slogan yang digemborkan dalam World Cup Qatar, yaitu multikulturalisme, keragaman dan perdamaian.
Tak hanya pekerja migran yang menjadi tumbal dari megahnya pagelaran World Cup Qatar, para pekerja produsen produk ADIDAS yang merupakan sponsor utama World Cup sejak 1970 juga bernasib serupa, terlebih di masa pandemi COVID 19.
Cerita Pekerja Pembuat Produk ADIDAS
Sebut saja gadis berusia 26 tahun itu, Isti. Ia terpana, tak percaya saat seorang teman menyebut sepatu Adidas model X Speedportal Leyenda yang dikenakan Lionel Messi diajang dan bola Piala Dunia 2022 dibrandol seharga EUR 280 atau sekitar Rp4,5 juta hingga Rp5 juta. Pasalnya, upah Isti dan kawan – kawannya yang bekerja PT. Parkland World Indonesia 1, Serang, hanya diupah Rp 4,3 juta dengan target produksi 3,200 pasang sepatu per hari di masa pandemi. Sebelum pandemi, 10 ribu buruh PT. PWI 1 bisa memproduksi 16,000 pasang sepatu per hari.
Tak sampai di situ, Isti tak habis pikir saat mengetahui ADIDAS bahkan rela mengeluarkan dana miliaran demi mengontrak seorang Lionel Messi dengan harga sebesar Rp 352,8 miliar per tahun, yang kemudian dinaikkan menjadi Rp 454 miliar pada 2022. Gelimang harta yang dinikmati seorang Lionel Messi, berkebalikan dengan nasib buruh produsen sepatu ADIDAS.
Bagai bumi dan langit, keduanya seolah tidak tinggal di planet yang sama bernama Bumi. Meski sama – sama menghadapi resiko terpapar pandemi global COVID 19, buruh produsen ADIDAS terpaksa mengorbankan upahnya atas nama pandemi. Isti menjelaskan, sejak pandemi, cuti tahunannya telah dipotong untuk mengganti pengurangan jam kerja. Selama pandemi, Isti dan kawan – kawannya bekerja selama empat hari (Senin – Kamis), sementara hari Jumat diliburkan, dan untuk mengganti hilangnya jam kerja di hari Jumat, cuti tahunannya dipotong delapan hari dan tidak bisa diuangkan.
Kini, meski pandemi COVID-19 berlalu dan sistem kerja kembali normal, cuti tahunan masih mengalami pemotongan. Bagaimana dengan seorang Lionel Messi, tentu saja ia tidak mengalami pemotongan upah atau pencurian upah, ADIDAS justru rela menaikkan nilai kontraknya di tahun 2022.
Alih- alih memperoleh kenaikan upah sebagaimana Messi, selama pandemi COVID-19 , kawan – kawan isti di satu pabrik, yang bekerja di bawah 1 tahun, sebanyak 3000 orang, mengalami PHK atas nama pandemi COVID-19 . PHK massal ini masih menjadi ancaman bagi buruh alas sepatu garment tekstil dengan dalih krisis global. Sebuah kenyataan pahit bagi buruh, yang selalu dijadikan tumbal setiap krisis datang sementara pemilik modal masih bisa leluasa menikmati keuntungan berlimpah dengan ragam kemudahan dan fasilitas dari negara (kebijakan pendukung seperti pengurangan upah, no work no pay).
Isti tidak sendirian, buruh PT. Panarub Industry misalnya, pada 2020 memotong upah buruh hingga 50% dan baru – baru ini memecat ribuan buruhnya dengan alasan penurunan order. Padahal, berdasarkan catatan rilis CCC Indonesia pada 20 November 2022, salah satu anak usaha Panarub Industry PT. Bintang Indokarya Gemilang, mengalami peningkatan jumlah produksi dan ekspornya meningkat tajam.
Pada 2021, Panarub Industri melakukan 817 transaksi perdagangan. Turun menjadi 781 transaksi pada 2022. Sedangkan PT Bintang Indokarya Gemilang melakukan 364 transaksi pada 2021 naik menjadi 394 transaksi. Disparitas upah buruh di berbagai daerah, memperbesar peluang perusahaan melakukan relokasi dan mem PHK buruh di pabrik sebelumnya.
Di belahan dunia lain, tepatnya di PT. Pou Chen, Myanmar, setidaknya sebulan lalu, ratusan buruh pembuat sepatu ADIDAS untuk World Cup Qatar, melakukan mogok tiga hari menuntut kenaikan upah menjadi 8,000 kyat ($3.78) per hari dan agar manajemen menghentikan intimidasi. Alih- alih memenuhi tuntutan mereka, pihak manajemen justru memecat 26 buruh yang merupakan anggota serikat dan terlibat pemogokan.
Sementara gemerlap World Cup Qatar terus menjadi pusat dunia, para buruh pembuat produk olahraga ADIDAS masih harus bergumul dengan kondisi kerja yang tak kunjung membaik. Winda, seorang buruh di Grobogan misalnya, menyampaikan bagaimana ia dan kawan – kawannya mengalami pemotongan upah hingga 50% selama pandemi COVID-19, dengan sistem no work no pay. Tanpa perlengkapan kesehatan memadai selama pandemi COVID-19, ribuan buruh yang memproduksi tas ADIDAS tersebut masih harus masuk kerja.
Winda dan kawan – kawannya masih berusia muda, rata – rata mereka bekerja selepas lulus SMU atau SMK. Dengan usia belia, setidaknya 18 tahun, mereka sudah bekerja di bawah resiko yang membahayakan kesehatan. Realita pekerja ini seolah membantah klaim ADIDAS sebagai brand yang mendukung kesehatan dan anak muda dalam setiap kemunculannya.
Merajut Perlawanan di Tengah Gempita World Cup Qatar
Situasi yang dialami buruh produsen ADIDAS, juga dialami oleh buruh alas kaki, garmen, tekstil untuk brand lainnya di Indonesia maupun di negara – negara lainnya. Berbagai aksi unjuk rasa dan kampanye yang digelar oleh SP/ SB dan organisasi sipil yang tergabung dalam CCC Indonesia misalnya.
Beberapa kali mereka melakukan aksi – aksi kampanye di dua kali Car Free Day, sementara buruh – buruh di tingkatan pabrik juga melakukan ragam advokasi dan aksi demi dikembalikannya upah yang dipotong. Perlawanan dan kampanye serupa juga terjadi di berbagai negara – negara di Asia lain, seperti Myanmar dan Bangladesh.
Sementara itu, dunia turut menyoroti World Cup Qatar yang sarat penindasan. Mulai dari Amnesti Internasional yang memberi kecaman, juga BWI (Building and Wood Workers) yang gencar mengkampanyekan buruknya kondisi kerja pekerja migran di Qatar selama proses persiapan Piala Dunia dan membuka Migrant Workers Centre (Pusat Pekerja Migran) sebagai tempat pengaduan bagi korban. Harapannya Migrant Workers Centre bisa menjadi ruang aman bagi pekerja migran yang takut bersuara.
Piala Dunia, memang merupakan ajang olah raga dunia yang berhasil mengumpulkan perhatian masyarakat dunia, sekaligus membuatnya menjadi penghasil pundi uang yang tiada habisnya. Di tengah riuhnya kegembiraan menikmati laga pertandingan bola dunia, penting untuk melipatgandakan suara – suara para pekerja yang terampas hidupnya, melalui gerakan bersama secara global. Hal itu supaya olah raga yang mengandung nilai – nilai sportivitas dan kebersamaan tidak kehilangan ruhnya dan lebih berwajah manusiawi.
Referensi
Chadwick Simon, 2022. The business of the FIFA World Cup. London: Routledge
Blake Heidi, 2015. The Ugly Game, The Qatari Plot to Buy World Cup. London: SIMON & SCHUSTER
https://www.bwint.org/id_ID/cms/the-world-cup-and-qatar-an-open-letter-2604
https://majalahsedane.org/tenaga-tak-dibayar-buruh-pembuat-pakaian-dan-sepatu-piala-dunia-2022/
https://tirto.id/sejarah-qatar-mengapa-mereka-berambisi-menggelar-piala-dunia-gyNV
[…] tulisan ini pernah dimuat di https://mahardhika.org/cerita-harian-pekerja-di-balik-gemerlap-world-cup-2022/ […]