Selasa, 6 Desember 2022 pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi UU KUHP. Pengesahan ini menjadi penanda pemerintah dengan sengaja mengabaikan aspirasi rakyat demi kepentingan politik. Pemerintah menutup telinga terhadap kritikan muatan pasal-pasal bermasalah yang secara gamblang ditolak karena dapat dengan mudah mengkriminalisasi masyarakat.
Nekatnya pemerintah dan DPR mengesahkan RKUHP mempertegas bahwa asas demokrasi telah hilang bagi publik. Rakyat berusaha dibungkam dengan segala aturan yang tidak berpihak dan mengancam kebebasan berekspresi. Ruang gerak masyarakat terutama perempuan dan kelompok rentan dikontrol dan dicampuradukkan sedemikian rupa.
Citra Referendum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menyesali keputusan pemerintah dan DPR bertindak semena-mena dengan mengesahkan RKUHP secara sepihak tanpa ada dialog dan pembahasan dengan publik. “Demokrasi di negara ini bukan lagi berubah, tapi sudah mati” ungkapnya pada tribunnews.com. Bagaimana tidak, menurutnya pembahasan draft RKUHP tidak transparan, terkesan tergesa-gesa, konservatif bahkan mengarah pada kolonialisasi hukum Belanda. Bersama masyarakat sipil, ia menyatakan ketegasan sikap menolak kehadiran UU KUHP tersebut.
Sebelumnya, perdebatan naskah RKUHP berisi pasal-pasal bermasalah sudah sejak 2019 dan mendapat penolakan keras dari masyarakat sipil yang kemudian berhasil ditunda pembahasannya. Namun November 2022 lalu, pemerintah kembali menggelar pembahasan RKUHP tingkat 1 dengan mengklaim telah melakukan dialog kepada masyarakat di 14 kota terhadap isi pasal-pasal bermasalah. Yang sesungguhnya pemerintah lakukan adalah hanya sosialisasi naskah RKUHP tanpa memberikan ruang diskusi kepada publik.
Pembahasan yang terburu-buru untuk mengesahkan RKUHP pada rapat paripurna di saat besarnya aksi protes mencerminkan pemerintah bersikap otoriter terhadap rakyat. Alih-alih memberikan hak berpendapat dan asas demokrasi setiap warga negara untuk memperoleh transparansi dari kebijakan yang dibuat, sebaliknya semua masyarakat terutama perempuan dan kelompok rentan dengan leluasa dalam jerat pidana dan ditindas dengan kebijakan tersebut.
Disahkannya RKUHP ditengah momen memperingati Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dan Hak Asasi Manusia (HAM) menunjukkan pemerintah tidak serius dalam menghapus dan melindungi perempuan dari berbagai bentuk kekerasan. Muatan pasal-pasal bermasalah tersebut malah cenderung dapat meningkatkan kekerasan dan kriminalisasi terhadap perempuan dan kelompok rentan.
Adapun pasal bermasalah tersebut meliputi pasal penghinaan terhadap presiden dan lembaga negara, pasal mengenai pawai, unjuk rasa dan berdemonstrasi, pasal ajaran paham lain bertentangan dengan ideologi pancasila, pasal living law, pasal perzinaan, pasal kesusilaan dan pasal-pasal karet lainnya. Hadirnya pasal-pasal tersebut secara jelas mencabut hak kebebasan sebagai warga negara bahkan hak privasi perempuan sebab pemerintah berusaha ikut campur mengontrol tubuh perempuan.
Pada pasal 240 tentang penghinaan terhadap presiden dan lembaga negara menjadi pasal pembungkaman bagi rakyat. Sebab dalam banyak kebijakan ataupun penyalahgunaan jabatan dari pemerintah seringkali memberikan kerugian dan ketidakadilan bagi rakyat. Mengkritisi kebijakan yang dibuat oleh pemerintah merupakan bentuk pengawasan masyarakat atas kebijakan yang memang diperuntukkan bagi publik.
Dian Septi, ketua Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI) dalam bicaralah buruh mengutarakan bahwa pasal penghinaan ini akan menjadi sebuah pembatasan dari kontrol rakyat terhadap presiden maupun jajaran di pemerintahan. “Presiden maupun pejabat pemerintah yang mengemban amanat rakyat memang harus dikontrol atau diawasi oleh rakyat, yaitu kita sendiri”. Adanya pasal ini akan sangat membatasi ruang gerak masyarakat terhadap pemerintah.
Pasal lain adalah pasal 256 mengenai pawai,unjuk rasa, dan berdemonstrasi tanpa pemberitahuan dan mengganggu ketertiban umum. Pada kasus buruh dan perempuan, mengkritisi pemerintah salah satunya adalah dengan melakukan aksi ataupun unjuk rasa. Dengan menyuarakan tuntutan dalam bentuk unjuk rasa adalah cara merebut kembali keadilan dari ragam peraturan pemerintah yang tidak berpihak dan berdampak buruk pada situasi buruh.
Lebih lanjut, apabila yang dimaksud adalah pemberitahuan berupa izin, tentu saja masyarakat akan dihalangi untuk berunjuk rasa dan dianggap menganggu ketertiban umum. Adanya pasal ini, buruh, perempuan maupun pembela HAM dapat dikriminalisasi dan dihadang hanya karena berupaya memperjuangkan apa yang menjadi haknya dan mematikan kebebasan warga negara untuk berpendapat.
Pembungkaman terhadap publik tidak hanya melalui gerakan aksi massa, namun juga melalui gerakan pengetahuan. Pasal 188 mengenai larangan menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme atau pahamlainnya diluar ideologi pancasila pun muncul sebagai bentuk pembodohan terhadap masyarakat.
“Padahal yang disebut tidak sesuai dengan ideologi pancasila juga tidak konkrit seperti apa. Dengan begitu, penafsiran mempelajari ilmu pengetahuan dengan teori atau tokoh sejarah lain dapat menjadi bahan untuk mengkriminalisasi masyarakat” terang Dian Septi. Jika ditarik kebelakang, perjuangan dalam mendapatkan kemerdekaan, kesejahteraan, membela kaum lemah dan menata pemerintahan yang adil dan bermartabat berasal dari berbagai informasi dan pengetahuan perjuangan sejarah dari tokoh-tokoh belahan dunia.
Bagi perempuan, tentu ini menjadi kemunduran dan memperkuat penundukkan atas hak kebebasan dan hidup perempuan. Sebab perjuangan perempuan untuk memperoleh kesetaraan dan bebas dari kekerasan tentu tidak lepas dari perjalanan dalam mempelajari teori-teori dari paham yang beragam.
Perjuangan perempuan untuk menghapus kekerasan dan mendapatkan perlindungan secara hukum ternyata belum didukung sepenuhnya oleh pemerintah. Pasal 411 perzinahan menjadi ruang untuk memperkusi dan menyalahkan korban yang lagi-lagi adalah perempuan.
Dalam hubungan pacaran apabila hubungan seks dilakukan dengan persetujuan maka tidak bisa dikatakan sebagai perzinahan. Sebaliknya, apabila dilakukan tanpa persetujuan dan terdapat unsur pemaksaan, manipulasi dan relasi kuasa maka dapat disebut kekerasan seksual seperti dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Sayangnya, dalam budaya masyarakat yang masih memiliki pemahaman perempuan sebagai objek dan disalahkan dalam setiap peristiwa kekerasan yang dialami, maka situasi ini menempatkan perempuan selalu menjadi korban penindasan. Dengan adanya pasal perzinahan inipun menjadi pasal yang sangat merugikan bagi perempuan dan menyudutkan kelompok yang memiliki gender dan identitas tertentu.
Termasuk pasal 406 kesusilaan di muka umum. Ketidakjelasan terhadap frasa ‘aktifitas seksual’ membuat penafsiran berbeda setiap orang yang kemudian dapat meningkatkan tindakan persekusi terhadap pasangan dalam ikatan pernikahan maupun tidak, terutama perempuan dan kelompok rentan.
Dian pun berpendapat bahwa “apa gunanya bagi pemerintah mengatur aktifitas seksual warga negaranya? Ini menggambarkan karakter pemerintah yang tidak dapat mengatur kebijakan namun menciptakan konflik antar masyarakat atas nama seksualitas”.
Pasal merugikan lainnya adalah pasal 2 tentang hidup di masyarakat/living law. Pasal ini dapat dengan mudah mempidanakan masyarakat adat, perempuan dan kelompok rentan. Ini disebabkan karena masyarakat memiliki norma yang berbeda-beda, dengan menyerahkan pada penafsiran masyarakat setempat, pemerintah maupun aparat penegak hukum, bisa saja semua yang dilakukan menjadi sebuah pidana hanya dengan dasar suka atau tidak.
Sebagai contoh, apabila teman pria menginap di rumah teman perempuan karena baru datang dari luar kota, dapat dianggap melanggar aturan dan perempuan lebih banyak menerima sanksi. Diperkuat dengan kultur masyarakat patriarki yang memperdalam tindakan diskriminatif, stereotip dan stigma negatif terhadap perempuan dan kelompok rentan.
Pemberian pemahaman terkait pencegahan kehamilan termasuk kontrasepsi menjadi pasal baru yang merugikan perempuan. Padahal memberikan informasi dan pengetahuan terkait alat kontrasepsi menjadi hal penting dalam kesehatan reproduksi bagi perempuan terutama anak-anak. Upaya preventif ini dapat mencegah pernikahan diri dan kehamilan yang tidak diinginkan.
Adanya edukasi inipun dapat membangun kesehatan reproduksi dan kesehatan mental menjadi lebih baik, terutama generasi muda. Hadirnya pasal ini juga melegalkan aborsi sebagai tindakan kriminal, sedangkan yang menjadi korban adalah perempuan. negara tidak memiliki hak untuk mengontrol dan mengatur tubuh perempuan.
Terdapat banyak lagi pasal-pasal bermasalah yang termuat dalam UU KUHP terbaru. Perempuan dan kelompok minoritas ditempatkan pada posisi paling rentan dari kebijakan yang dibuat negara. Hak atas perlindungan, keadilan dan kebebasan dirampas dari negara dan dengan sengaja menyingkirkan dan menyengsarakan rakyat yang mengkritik.
Tagar semua bisa kena pun menjadi nyata apabila aturan tersebut dibiarkan berlaku begitu saja. Selama tiga tahun ke depan masa sosialisasi yang dilakukan pemerintah, upaya penolakan terhadap UU KUHP dapat terus digaungkan. Tolak keberadaan UU KUHP menjadi sebuah perjuangan perlawanan dalam merebut kembali keadilan, HAM sebagai warga negara, dan melepas jerat penindasan serta peminggiran terutama bagi perempuan dan kelompok rentan.
Sebab, kegigihan menghapus segala bentuk kekerasan menjadi pudar jika kriminalisasi perempuan menjadi wajar.