Diterbitkannya Undang-udang Cipta Kerja (UUCK) dengan dalih untuk memudahkan terciptanya lapangan kerja membuat masyarakat dari berbagai lapisan menyesalkan keputusan pemerintah yang memotori UUCK dan DPR yang terburu-buru menginginkan aturan ini untuk disahkan. Tentunya masalah pengangguran di tengah pandemi tidak bisa diselesaikan dalam beberapa kali rapat saja. Seharusnya UUCK menjadi lebih sulit karena hendak membabat perundang-undangan yang sebelumnya sudah ada dan memangkasnya. Apalagi implementasi dari UU Ketenagakerjaan saja sudah tidak sempurna dan tidak sesuai dengan realita yang ada.
Bivitri Susanti, dosen STHI Jentera dalam diskusi WeLead: Ada Apa Dengan UUCK menjelaskan bahwa masalah-masalah ketenagakerjaan tidak bisa diselesaikan dengan satu undang-undang yang hanya digarap di dalam kurang dari setahun yaitu 9 bulan. Ia juga menawarkan cara membaca undang-undang melalui instrumen politik hukum. Melalui politik hukum kita dapat mengetahui tujuan sebenarnya mengapa suatu undang-undang dibuat. Cara ini dilakukan menggunakan analisis aktor dan situasi, untuk mengetahui siapa yang diuntungkan.
Membaca pasal-pasal UUCK dengan hanya melihat satu pasal saja dapat membuat kita terkecoh dan terdisinformasi. Oleh karena itu perlu melihat situasi politik dan realita yang ada ketika UUCK ini dibuat. “Membaca politik hukum yaitu mencoba memaknai. Goalnya undang-undang ini apa sih? Bangsa kita mau dibawa kemana oleh undang-undang ini?”
Untuk bisa membaca politik hukum, kita tidak hanya perlu membaca teksnya saja namun perlu membaca konteksnya. Kita perlu melihat siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan? Konteks nasional seperti apakah yang tengah terjadi.
Kita juga harus bisa memahami apa itu metode Ominbus yang digunakan dalam membuat undang-undang. Omnibus sendiri berarti sebuah medium yang dapat memuat beberapa hal yang sebelumnya terpisah. Dalam hukum, artinya Omnibus berusaha memangkas banyak peraturan dan kemudian menjadikannya dalam satu terbitan.
Bivitri menjelaskan bahwa Metode ini sangat membingungkan dan cenderung menyederhanakan masalah yang ada serta bisa menyesatkan karena menyembunyikan hal-hal penting. UUCK yang berisikan 800an halaman ini merupakan pemangkasan dari 79 undang-undang kemudian dijadikan satu.
Bivitri sendiri juga menambahkan bahwa pembuatan undang-undang sendiri tidaklah etis. Ia tidak melibatkan pihak-pihak yang memiliki kepentingan. Selain serikat buruh, ada masyarakat adat, masyarakat pesisir dan kelompok disablitas yang tidak diikutsertakan dalam pembahasan ini. Oleh karena itu dalam membuat UU, membutuhkan waktu yang lama karena banyaknya pemangku kepentingan yang akan terdampak dari praktik UU tersebut.
Peminggiran partisipasi masyarakat dalam UUCK melanggar hak asasi manusia dan membuat kelompok rentan rentan menjadi tertindas. Dengan meniadakan izin berdasarkan azas resiko maka masyarakat akan menjadi rentan untuk dimiskinkan. Pada akhirnya perempuan miskinlah yang akan dikorbankan melalui pernikahan anak.
Studi berjudul Sistem dan Praktik Omnibus Law di Bebagai Negara dan Analisis RUU Cipta Kerja dari Perspektif Good Legislation Making yang dilakukan oleh IOJI (Ocean Justice Initiative) sebagai respon terhadap Omnibus Law dalam pembuatan undang-undang melihat bagaimana metode ini sangat tidak disukai oleh masyarakat di berbagai negara Amerika Serikat, Selandia Baru dan Jerman. Hal ini dikarenakan banyak isiannya yang berpencar dan tidak koheren dengan tujuan utamanya.
Awalnya Omnibus Law ini dibuat untuk mengatasi permasalahan tumpang tindih peraturan dan rumitnya perizinan. Ia dibuat dengan judul Kemudahan Berusaha. Namun karena istilah Kemudahan Berusaha menjadi tidak strategis, judulnya diubah menjadi UU Cipta Kerja. Oleh karena itu banyak aturan yang sebenarnya tidak berkaitan dengan pekerjaan namun kepada aturan main agar efisien.
Dari tabel di atas kita bisa melihat undang-undang dan pasal-pasal mana saja yang disederhanakan.
Metode Omnibus Law sebagai jalan pintas tidak akan menyelesaikan masalah pengangguran di tengah pandemi. Sedangkan akar masalah dari kesulitan perizinan dan aturan yang tumpang tindih di Indonesia ada pada korupsi (13.8%) dan birokrasi pemerintah yang tidak efisien (11.1%) (berdasarkan studi Global Competitiveness Report 2017-2018). Adanya tumpang tindih peraturan dan sulitnya birokrasi kerumitan perizinan merupakan gejala dari permasalahan yang ada. Sudah ada banyak analisa yang ditawarkan untuk merujuk kepada akar pemasalahan ketenagakerjaan namun sayangnya tidak ditanggapi.
Metode omnibus law ini tidak menyelesaikan masalah yang ada dan hanya menghilangkan gejala sosial. Maka dalam hal ini jalan pintas yang dianggap paling mudah untuk dilakukan adalah memangkas birokrasi dan memberi fasilitas untuk pelaku usaha.
Diterbitkannya UU melalu metode omnibus ini hanyalah cara instan yang hanya akan menguntungkan elit/oligarki yang memiliki kredibilitas resmi yaitu negara dan orang yang ada pada kabinet.
Lantas apakah langkah konstitusional yang tersedia?
Terdapat beberapa langkah seperti Peraturan Pemerintah (Eksekutif), Mahkamah Konstitusi (Yudikatif) dan Membuat UU baru yang membatalkan (Legislatig). Namun tentu saja ketiga opsi ini sulit dilaksanakan. Pasalnya pemerintahlah yang mempromotori Undang-undang ini, MK pun dipilih oleh presiden dan kita tidak bisa selalu bergantung pada MK, sedangkan untuk membuat UU yang baru proses legislasi nya panjang dan berbelit. Jika tidak ada kemauan politik maka akan sulit untuk tembus. Walaupun demikian semua opsi konstitusional harus diupayakan.
Pada dasarnya UUCK ini tidak memiliki legitimasi karena prosesnya melanggar demokrasi dan isinya melanggar negara hukum. Dalam hukum negara, UUCK ini menjadi tidak sah dan tidak otomatis batal, tetapi menjadi alasan untuk meminta pembatalan.
Maka cara lain yang bisa dilakukan di luar hukum negara adalah: civil disobedience atau ketidakpatutan sipil / pembangkangan sipil. “Konsep ini bisa dilakukan bila suatu undang-undang sangat rendah legitimasinya. Syaratnya dua, ia melanggar HAM dan tanpa kekerasan. Kita hanya membangkang.”
UUCK akan banyak menimbulkan masalah yang sudah ada yaitu pada tata Kelola pemerintah dan korupsi. Terlebih ia bisa memberi pembenaran terhadap praktik-praktik eksploitatif yang sudah ada. Di luar opsi konstitusional yang ada, masyarakat sipil harus terus membicarakan kerusakan demokrasi dan negara hukum yang semakin parah.