Riung Pagawe: Kesehatan Reproduksi Pada Pekerja Perempuan

Membahas kesehatan reproduksi (kespro) tidak hanya seputar organ dalam dan luar reproduksi pada perempuan. Lebih jauh, meliputi pembahasan mengenai seksualitas, kontrasepsi, kehamilan, menstruasi (haid) serta abortus. Permasalahan kespro memiliki pengaruh timbal balik terhadap perempuan dalam aktivitas kesehariannya. Pada perempuan pekerja, tentu ini berkaitan dengan segala bentuk hak-hak reproduksi yang patut diterima selama bekerja sehingga kespro mereka terjamin.

Pada 3 Juli 2022, Perempuan Mahardika bekerjasama dengan perangkat desa berhasil melaksanakan acara bertema “Riung Pagawe: Kesehatan Reproduksi Pekerja Perempuan” di Cicurug, Kabupaten Sukabumi. Acara ini dilakukan di perkampungan buruh yaitu Sekolah Dasar wilayah Desa Kutajaya, Sukabumi dengan dihadiri buruh perempuan dari lima pabrik garmen berbeda, yang berlokasi di sekitar Desa Cicurug. Tema ini dimaksudkan untuk mendiskusikan tentang mengapa memenuhi hak reproduksi perempuan itu penting dan harus diperjuangkan.

Riung Pagawe sendiri dalam bahasa Sunda artinya Kumpul Pekerja. Kegiatan ini diinisiasi oleh teh Lilis yang merupakan anggota Perempuan Mahardhika di Sukabumi dan bekerja di salah satu pabrik garmen di wilayah Cicurug, Sukabumi. Sebelumnya, Perempuan Mahardika bersama buruh setempat telah beberapa kali mengadakan diskusi hunian di hari libur atau ketika pulang kerja untuk membicarakan masalah-masalah yang ditemukan oleh buruh perempuan di dalam kesehariannya.

Dari diskusi itulah muncul persoalan mengenai kesulitan akses terhadap hak kesehatan reproduksi, seperti kesulitan mengganti pembalut dengan leluasa dan ketersediaan toilet bersih serta layak untuk membersihkan area organ reproduksi.

Acara ini dibuka oleh teh Lilis diikuti dengan sambutan dari Vivi Widyawati dari Perempuan Mahardhika dengan menyampaikan latar belakang diselenggarakannya acara ini. Organisasi Perempuan Mahardhika berupaya untuk memperjuangkan hak-hak perempuan, termasuk hak kesehatan reproduksi perempuan. Melalui kegiatan ini, diharapkan dapat membangun kesadaran para pekerja perempuan untuk lebih memahami tentang kesehatan reproduksinya serta mengetahui soal hak-hak yang dimilikinya sebagai pekerja perempuan yang berkaitan dengan hak reproduksi, seperti hak atas cuti haid, cuti melahirkan, hak untuk menyusui, dan lainnya. Dari sinilah diharapkan dapat tercipta pekerja perempuan yang merdeka dan terjamin terhadap hak-hak reproduksinya.

Penyampaian materi kespro ini dibawakan oleh Teza Farida, Dokter dari Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) dan didampingi oleh Ajeng Anggriani dari Perempuan Mahardhika sebagai moderator. Teza menyadari bahwa pekerja perempuan terbebani dengan tanggung jawab yang tidak tunggal sehingga waktu dan tenaganya terkuras habis, sebagai pekerja di tempat kerja dan di rumah. Hal ini berdampak pada kurangnya waktu pekerja perempuan untuk istirahat, berkumpul dengan keluarga, bahkan untuk menyusui bayi. Di tempat kerja pun, tidak semua memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan yang kemudian berpengaruh pada kespro buruh perempuan.

Permasalahan yang sering muncul pada pekerja perempuan yaitu terganggunya siklus haid, prevalensi anemia tinggi, abortus spontan lebih tinggi, resiko abortus akibat pajanan pestisida, tingginya prevalensi HIV di daerah “mobile worker” dan berkurangnya pengasuhan bayi dan ASI pada ibu pekerja. Dengan begitu, penting untuk memperhatikan kespro secara menyeluruh. Teza menekankan bahwa berbicara tentang reproduksi tidak hanya soal keturunan, namun juga untuk kesehatan tubuh, kehamilan, persalinan, kontrasepsi dan kesehatan seksual. Sebab, persoalan kespro seringkali muncul karena kondisi buruk di tempat kerja. Padahal, ketika kespro terganggu maka aktivitas kerja pun juga akan terkena dampaknya.

Teza menjelaskan, secara medis, reproduksi perempuan terdiri dari organ bagian dalam dan organ bagian luar. Persoalan kespro lebih sering terjadi pada bagian dalam organ reproduksi perempuan, seperti kanker servik, kista, nyeri haid, infeksi saluran kencing, dan lainnya. Berbagai resiko kespro tersebut tidak lepas dari faktor okupasi dan non okupasi. Faktor okupasi terdiri dari usia, genetik, penyakit kronis, olahraga, perilaku merokok, penyalahgunaan obat-obatan, alkohol dan lainnya. Sedangkan faktor non okupasi terjadi karena resiko lingkungan kerja (bahaya kimia, ergonomi, fisik, psikososial) dan beban kerja berlebih yang ditanggung buruh perempuan.

“Kita tahu bahwa buruh perempuan garmen yang bekerja di pabrik ini berkaitan langsung dengan segala proses produksi selama jam kerjanya tanpa jeda, kecuali pada saat jam istirahat. Inilah faktor okupasi yang sering memicu masalah kespro,” ujar Teza.

Ia juga memberikan contoh-contoh kondisi buruk yang dialami buruh perempuan sehingga rentan mengalami masalah kespro, misalnya bekerja dengan mesin jahit yang memberikan efek bising atau getaran dalam jangka waktu lama. Buruh perempuan harus berdiri atau duduk lama (lebih dari 4 jam) dalam menyelesaikan proses produksinya tanpa jeda karena beban target yang besar sehingga membuat buruh kesulitan mengakses toilet untuk mengganti pembalut ketika sedang haid atau sekedar untuk buang air kecil. Belum lagi, debu dari kain atau bahan produksi lainnya yang mungkin saja terhidup atau melekat di tangan atau pakaian apabila tidak tersedianya Alat Pelindung Diri (APD). Teza menegaskan, “Situasi kerja buruk tersebutlah yang dapat menjadi faktor resiko terjadinya siklus haid yang tidak teratur, infeksi saluran kencing, lelah dan stress pada buruh perempuan.”

Gambaran ini juga pernah diteliti langsung oleh Perempuan Mahardhika pada 2021 dengan judul Studi Pengalaman KDRT Buruh Perempuan: Rantai Kekerasan yang Sulit Diputus. Studi ini menemukan bahwa buruh tekstil perempuan mengalami tekanan yang hebat. Selain rentan akan resiko kecelakaan kerja dan maraknya pelecehan seksual, buruh perempuan juga dihadapi dengan target besar yang harus selesai tanpa memperdulikan jam kerja. Ini artinya, apabila buruh belum menyelesaikan targetnya pada saat jam kerja selesai, target tersebut malah menjadi hutang yang harus dibayar dengan lembur tanpa upah.

Dampak buruk dari situasi kerja ini juga akan menimpa buruh perempuan yang sedang hamil, Teza memperingatkan, resiko yang mungkin terjadi adalah kehamilan prematur atau keguguran. Untuk itu, penting untuk memperhatikan kespro dengan menggunakan hak-hak kerja yang ada, seperti mengambil cuti haid, cuti melahirkan, serta penyediaan layanan dan fasilitas kespro di tempat kerja.

Upaya pelayanan dan fasilitas kespro, menurut Teza dapat diberlakukan beberapa tahap, yaitu mulai dari masa sebelum kehamilan, masa kehamilan, masa bersalin dan masa nifas.

Pertama, pada masa sebelum kehamilan, seperti merawat organ reproduksi, komunikasi informasi dan edukasi terkait kesehatan seksual dan reproduksi remaja. Pada masa ini, salah satunya adalah buruh perempuan dapat memanfaatkan cuti haid. Sebab, pada saat awal haid, tubuh membutuhkan istirahat lebih banyak karena nyeri yang dirasakan.

Kedua, saat masa kehamilan, buruh perempuan lebih baik melakukan pemeriksaan secara rutin. Selain itu, mulai mengkomunikasikan keluarga berencana bersama pasangan dan mulai membagi peran dalam pekerjaan domestik. Kemudian mengambil cuti melahirkan untuk mempersiapkan proses persalinan.

Ketiga, pada masa bersalin, Teza menjelaskan bahwa penting untuk memperhatikan kesehatan dan pola makan ibu. Disamping itu, perlu bagi pasangan untuk mendukung ibu baik secara fisik dan psikis. Kemudian membagi peran ayah dalam mengasuh anak serta imunisasi, sebab pengasuhan anak tidak hanya tanggung jawab ibu.

Terakhir adalah masa nifas, di mana buruh perempuan membicarakan mengenai kontrasepsi yang akan digunakan dengan pasangan. Sebab, kontrasepsi tidak hanya bagi perempuan namun juga bagi laki-laki. Selanjutnya tetap mempertahankan pembagian pekerjaan domestik dan mengasuh anak dengan pasangan atau keluarga agar ibu tidak kelelahan dalam masa pemulihan.

Teza mendorong agar perusahaan membuat kebijakan yang berkaitan dengan: cuti haid, cuti melahirkan dan tidak melakukan PHK buruh yang melahirkan, tidak ada stigma dan pemecatan buruh perempuan yang terinfeksi HIV, memberikan kesempatan untuk mengakses informasi kespro dan lain-lain. Maka dari itu, Teza menekankan buruh perempuan diharapkan dapat memahami hak-hak reproduksi yang dimiliki sehingga dapat ikut memperjuangkan haknya dalam bekerja. Dengan terpenuhinya hak-hak reproduksi buruh perempuan maka terjamin kesehatan reproduksinya.

Sebagai penutup, Teza juga memaparkan mengenai cara merawat organ reproduksi perempuan. Dimulai dengan membersihkan bagian luar vagina dengan air bersih, menghindari penggunaan sabun pembersih vagina dan membasuh dari arah depan ke belakang. Selain itu, menggunakan celana dalam berbahan katun dan mengganti sehari minimal 2x sehari. Kemudian sering mengganti pembalut ketika menstruasi dan menggunakan pantyliner hanya ketika hanya keputihan. Meskipun pada prakteknya sulit dilakukan ketika berada di tempat kerja seperti pabrik. Sebab, buruh perempuan dihadapkan pada jam kerja yang panjang dengan target yang tinggi serta sulitnya akses untuk ke toilet dan ketersediaan air bersih.

Melihat antusias dan respon dari para peserta, Riung Pagawe akan dijadikan sebuah kegiatan reguler Perempuan Mahardhika di wilayah Jawa Barat.

 

Nindya Utami

Seorang psikolog klinis yang sedang bergiat mendalami isu perempuan dan perburuhan

Comments

wave
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Press ESC to close