Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Adalah Kunci dan Harga Mati

“Cowok itu kayak kucing dan cewek itu ikan asin. Kucing mana sih yang nolak kalau dikasih ikan asin cuma-cuma?”

“Ya perkosa aja,” cuit Moohd_Ilham di Twitter menjawab followernya yang bertanya kalau pasangannya tak mau memberi “jatah”.

Dua pernyataan ini sama sekali tak mengagetkan. Pendengar atau penerimanya setuju karena dianggap benar. Apalagi dibawakan dengan bercanda. Masyarakat pada umumnya menganggap  lumrah karena tindak kekerasan dan pelecehan seksual yang dialami perempuan, sumber permasalahanya ada pada perempuan. Bisa jadi karena pakaian “minim bahan”, pulang larut malam, sendirian di tempat sepi, atau aktivitas lainnya yang bikin isi celana laki-laki berontak seketika.

Tak banyak yang menyadari bahwa anggapan kucing-ikan asin, komparasi permen yang terbuka-tertutup, atau analogi pisang goreng-lapis legit ala Felix Siauw telah menempatkan perempuan sebagai objek semata. Tujuan memuliakan perempuan rasa-rasanya tak akan pernah tercapai jika ia hanya dinilai dari pakaian, tanpa mengingat haknya sebagai manusia merdeka yang punya otoritas atas tubuhnya sendiri. Dan ketika ekosistem semacam ini terus bertahan, jangan heran angka kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan terus meningkat setiap tahun.

Merujuk data dari Komisi Nasional Perempuan 2001-2011, setiap hari setidaknya terjadi kekerasan seksual terhadap 35 perempuan. Artinya, dalam setiap dua jam terjadi pelecehan dan kekerasan seksual terhadap 3 perempuan. Hingga akhir tahun 2017, sebanyak 65 kasus kekerasan terhadap perempuan di dunia maya dilaporkan ke Unit Pengaduan untuk Rujukan (UPR) Komnas Perempuan. Data lainnya dari Komnas Perempuan tahun 2017 menunjukkan angka kekerasan dan pelecehan seksual sebanyak 348.446 kasus. Meningkat dari tahun 2016, dengan 259.150 kasus.

Survei lainnya tentang pengalaman hidup perempuan nasional yang dilakukan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) bekerja sama dengan BPS pada 2016 menunjukkan ada 1017 perempuan dan anak dari 9000 responden mengalami pelecehan dan kekerasan seksual. Angka-angka ini belum termasuk kasus yang tidak dilaporkan atau pelecehan yang tidak dianggap pelecehan. Kesimpulannya jelas, Indonesia darurat kekerasan seksual.

Berkaitan dengan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS), teori sosiologis yurispudensi mengatakan bahwa aturan harus dibuat berdasarkan kebutuhan sosial yang berkembang di masyarakat berupa peristiwa-peristiwa sosial, ketika pranata sosial terganggu, tingkat kriminalitas yang tinggi, dan gangguan terhadap harkat dan martabat bangsa.

Lantas, apakah kekerasan seksual termasuk peristiwa sosial yang dimaksud teori tersebut untuk dibuatkan aturan? Tentu saja iya. Namun kenyataannya tidak sesederhana itu. Para anggota DPR masih berbeda persepsi memandang RUU ini meski jelas-jelas korban terus berjatuhan secara fakta maupun data. Belum lagi penolakan dari orang-orang yang kontra RUU PKS, yang menganggap pasal ini akan melegalkan perzinahan, kalau istri dicolek suaminya dan tidak suka bisa digolongkan pelecehan seksual, tidak islami, propaganda feminisme barat, dan anggapan salah kaprah lain yang muaranya ingin menegaskan bahwa jika RUU ini disahkan, maka kehancuran moral akan datang.

Dua tahun sudah RUU PKS mengendap di meja wakil rakyat. Terhitung sejak 2015, tak ada perkembangan berarti selain janji-janji akan dibahas kembali pasca kasus Baiq Nuril merebak. Saat ini saja, RUU PKS baru sampai di tahap rapat dengar pendapat Komisi VIII. Amit-amit akan tambah empat lima  tahun lagi karena masa transisi DPR yang akan berganti komposisi pasca pemilu legislatif April 2019 mendatang.

Proses pembahasan yang dilakukan selama empat tahun dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) terancam harus diulang kembali dari nol jika RUU tidak disahkan hingga pergantian masa jabatan anggota DPR RI. Rasa-rasanya situasi ini berbanding terbalik dengan RUU Permusikan, yang keberadaannya ditentang tetapi justru DPR sebegitu ngebet ingin mensahkan.

Urgensi Pengesahan RUU PKS

Kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan makin hari makin menjadi-jadi. Alih-alih di tempat tertutup, pelaku sudah makin berani melakukannya di ruang publik, termasuk di lingkungan institusi pendidikan yang katanya sarang orang-orang terpelajar yang paham norma kepatutan.

Ruang aman bagi orang muda, terutama perempuan, semestinya terpenuhi dengan sama-sama memahami bahwa relasi kuasa dan patriarkisme harus dipatahkan. Kekerasan dan pelecehan seksual adalah kriminal. Korban yang bicara tidak seharusnya mendapatkan intimidasi dari siapa pun termasuk aparat kepolisian.

Agni menjadi contoh nyata. Kasusnya diselesaikan secara damai. Pelaku dibebaskan dari jerat hukum dan dibiarkan meraih gelar sarjana. Seberapa banyak yang marah atas keputusan ini?

Kekerasan seksual yang dilakukan oleh atasan kepada bawahan, pimpinan kampus, ayah kandung, paman, kakek, pacar atau orang asing di kendaraan umum, harusnya tak membuat kita sebagai orang muda menutup mata.  Kita harus sadar, bahwa siapa pun bisa menjadi korban dan pelaku. Dan yang bisa memutus ini tiada lain ialah perangkat aturan dan perlawanan.

Seperti diketahui, selama ini dasar hukum yang digunakan untuk kasus kekerasan seksual adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang mana hanya berpijak pada perlindungan nilai kesusilaan. Ada banyak bentuk kekerasan seksual yang tak terakomodir jika acuannya hanya KUHP. RUU PKS perlu disahkan agar ada payung hukum yang lebih jelas dan tegas yang meregulasi perlindungan organ, fungsi dan kesehatan reproduksi serta mental tubuh manusia, terutama perempuan dan anak.

RUU PKS hadir sebagai penyempurna dengan mengatur sembilan jenis bentuk kekerasan seksual, antara lain perkosaan, pemaksaan pelacuran, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, pemaksaan perkawinan, perbudakan, penyiksaan, pelecehan, dan eksploitasi seksual. Berlaku di berbagai lini relasi, baik keluarga, perkawinan, pacaran, maupun ruang publik.

RUU PKS kian penting lantaran minimnya pengetahuan dan ketidakpahaman korban akan proses hukum yang harus dijalani, apa yang harus dilakukan ketika mengalami kekerasan dan pelecehan seksual, ke mana harus mengadu dan sebagainya. Tak bisa dimungkiri banyak korban kekerasan seksual yang merasa apa yang dialaminya adalah aib yang mesti ditutup rapat-rapat. Tidak ada pilihan lain selain  pasrah ketika dinikahkan dengan laki-laki bejat yang telah memperkosanya.

Dalam kondisi masyarakat Indonesia yang patriarkis, di mana perempuan secara budaya dianggap manusia kelas dua yang lemah, makhluk yang paling banyak diatur perbuatannya, obrolan mengenai seks dianggap tabu, pelecehan seksual dianggap aib, bahkan cenderung dibiarkan ketika terjadi di level rumah tangga. Payung hukum spesifik untuk perkara ini jelas sangat diperlukan agar perempuan mendapatkan hak perlindungan dan kesetaraan.

Namun, jika RUU tak juga disahkan, kepada apa nasib korban kekerasan seksual bisa dijaminkan? Apa yang bisa diharapkan dari “Sekolah Ibu” yang digagas salah seorang pejabat publik? Siapa yang menjamin sekolah itu kelak bicara tentang konsep kesetaraan dan perjuangan hak kaum ibu dan perempuan? Kita harus khawatir jika sekolah ini hanya akan mengajarkan bagaimana melayani suami dan keluarga, menjaga emosi, dan anjuran mengalah saja sama suami. Ujung-ujungnya, praktik kekerasan dalam rumah tangga dibiarkan agar perceraian tidak terjadi—sesuai landasan awal gagasan “Sekolah Ibu”.

Atau kita akan berharap pada gerakan Indonesia Tanpa Pacaran, yang saban hari menghina jomblo dan menganjurkan untuk cepat menikah agar terhindar dari zina.  DIisadari atau tidak, telah abai akan kesiapan organ reproduksi dan mental maupun finansial? Atau justru kita harus idem saja pada pandangan misoginis berkedok agama yang menawarkan poligami sebagai katarsis perlindungan perempuan?

Ataukah kita memilih diam dan menunggu diri sendiri, kerabat, dan teman yang jadi korban baru mau turut bersuara untuk mendesak pengesahan RUU PKS sementara pasal karet bernama UU ITE bisa dengan mudah menjerat korban yang berani bicara seperti Baiq Nuril?

Pada akhirnya, kesusilaan seringkali dijadikan rujukan oleh penganut paham patriarki yang kemudian memosisikan korban sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas kasus kekerasan seksual. Mari terus berkampanye anti kekerasan seksual dan mengedukasi kaum perempuan untuk bangkit  melawan kekerasan dan pelecehan seksual. Tak ada langkah lain yang harus dilakukan selain mendesak pengesahan RUU PKS, karena UU PKS adalah kunci dan harga mati.

Penulis : Amelia Rizky Yunianty*

sumber gambar: doc.net

*Peneulis adalah mahasiwa tingkat akhir Pembangunan Sosial, Universitas Mulawarman

 

 

Perempuan Mahardhika

Comments

wave
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Press ESC to close