Melawan kekerasan terhadap perempuan, diskriminasi, dan segala bentuk ketidakadilan yang menimpa perempuan dibutuhkan dasar pijakan yang kuat. Berbasis dari bawah, perempuan harus memiliki kesadaran dan pemahaman tentang segala persoalan dan ketidaksetaraan yang ditimpakan kepada perempuan sejak dulu. Membangun kemampuan berpikir kritis dan upaya dalam mencari solusi dari ketimpangan tersebut.
Berdasar hal itu, Perempuan Mahardhika berupaya mengajak semua perempuan belajar dan bergerak bersama untuk memahami segala problematik ketimpangan tersebut. Sebanyak 26 orang buruh perempuan dari 7 pabrik yang berbeda di wilayah Sukabumi, Pelatihan Dasar Buruh Perempuan Anggota Perempuan Mahardhika dilaksanakan di sebuah Villa wilayah Sukabumi.
Persoalan anak tidak menjadi penghambat teman-teman untuk mengikuti kegiatan. Mereka dipersilahkan membawa anak-anaknya sebab Perempuan Mahardhika menyiapkan seorang pengasuh anak (babysitter). Dengan begitu, teman-teman tetap bisa fokus mengikuti kegiatan tanpa kekhawatiran soal pengasuhan anak. Kegiatan ini dilaksanakan pada hari Sabtu dan Minggu (27-28 Agustus 2022) yang merupakan hari libur bagi teman-teman buruh perempuan sehingga mereka memiliki kesempatan untuk berpartisipasi.
Persoalan yang sering ditemui pada perempuan adalah terbatasnya ruang gerak dalam terlibat dalam organisasi. Mulai dari pekerjaan domestic yang dibebankan kepada mereka sedangkan mereka juga bekerja di luar rumah. persoalan lainnya berupa penghilangan kesempatan dalam pengambilan keputusan atas hidupnya hingga ragam bentuk kekerasan yang dapat mereka alami. Di fasilitasi oleh Vivi Widyawati, teman-teman di ajak membedah bersama tentang segala persoalan yang menimpa perempuan dan kenapa hal tersebut terjadi kepada perempuan.
Masyarakat kini masih terjebak dengan budaya patriarki yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak setara. Perempuan seringkali tidak memiliki kesempatan sebebas yang dilakukan laki-laki. Izin dari suami kerap menjadi penghambat perempuan untuk dapat berkarya dan mandiri. Pengasuhan dan pekerjaan dosmestik pun kerap dilimpahkan sebagai tanggung jawab perempuan saja. “Jadi sebelum ke sini beberes dulu, nyuci, masak, bersihkan rumah dan beresin urusan anak kalau ditinggal” ujar bebarapa teman buruh. Pelarangan pun diiringi dengan penilaian dari masyarakat bahwa perempuan tidak boleh egois atau semaunya. “Laki-laki mah kalau mau pergi tinggal pergi aja gak pakai mikir pekerjaan di rumah, kalau perempuan kan gak bisa” terang yang lainnya.
Penggambaran perempuan yang menurut dan lemah lembut pun terus digaungkan. Perempuan dianggap pembangkang apabila tidak sesuai dengan norma yang berlaku. Sebaliknya laki-laki digambarkan sebagai seorang yang maskulin dan berkuasa. Laki-laki diberikan peluang dan keuntungan tanpa standar apapun. Vivi memberikan contoh sederhana bahwa laki-laki akan dengan mudah untuk bangun siang tanpa memikirkan beban apapun. Sedangkan perempuan tidak diberi kesempatan untuk melakukan tersebut. Perempuan dibebankan dengan kerja-kerja domestik bahkan stigma negatif dari lingkungan. Ketidakadilan itu dilekatkan kepada perempuan secara turun menurun. Biasa gender ini yang kemudian menempatkan perempuan pada posisi yang lemah. Seiring dengan hilangnya hak-hak perempuan itu sendiri.
Ketidakmampuan dalam membela hak-hak nya sebagai perempuan berkorelasi dengan berbagai bentuk kekerasan. Kekerasan muncul disebabkan relasi kuasa yang timpang antara perempuan dan laki-laki. Hingga saat ini di masyarakat, perilaku kekerasan lebih familiar dalam bentuk kekerasan secara fisik seperti dalam KDRT ataupun kekerasan seksual dibandingkan kekerasan lainnya. Pembahasan kali ini membahas kekerasan secara umum (seksual dan fisik), kekerasan ekonomi, hingga kekerasan emosional.
Pembahasan dan diskusi tentang ragam bentuk kekerasan ini memunculkan banyak contoh dari keseharian teman-teman buruh. Baik peristiwa yang dialami sendiri atau sekedar melihat/mendengar kejadian yang menimpa oranglain. Pada kekerasan seksual seperti ketika salah satu pasangan (bisa istri atau suami) menolak untuk berhubungan seksual dan kemudian yang ditolak memberikan reaksi marah atau malah memaksa. Cerita lain dari beberapa dari mereka bahwa sering mendapatkan pelecehan di tempat kerja seperti dicolek, dirangkul dan dipegang-pegang bagian tubuh lainnya tanpa persetujuan. Seringkali perilaku ini menjadi hal biasa atau dinormalisasikan oleh kebanyakan masyarakat. Ketidakmampuan melawan secara langsung karena rasa takut berdampak pada tersudutnya perempuan. Perempuan selaku korban seringkali dianggap terlalu sensitif atau jual mahal.
Pada kekerasan ekonomi muncul persoalan hilangnya kuasa atas penghasilan sendiri. Pengontrolan terhadap untuk apa dan berapa banyak uang itu digunakan. Selain itu, uang dipegang oleh orang lain (bisa suami, orang tua) sehingga harus meminta uang yang pada dasarnya adalah uang milik sendiri. Hal tersebut menjadi normalisasi sebab perempuan dianggap tidak memiliki kemampuan untuk mengontrol keuangan (dianggap boros). Bahkan muncul pemikiran bahwa hal tersebut wajar dianggap sebagai bentuk pengabdian terhadap suami/orang tua. Kasus lainnya adalah banyak buruh terjerat pada pinjaman online (pinjol) yang kemudian membuat mereka sulit keluar dari situasi tersebut.
Pada dasarnya, kekerasan tidak berdiri sendiri. Kekerasan berkaitan antara satu dengan lainnya. pada kekerasan emosional, hampir semua buruh mengakui sering mengalaminya. Bentakan/teriakan dari supervisor/leader apabila target tidak tercapai atau dianggap lambat. Dipermalukan di depan teman-teman kerja sehingga muncul perasaan sedih dan bahkan meninggalkan trauma. Salah satu buruh menceritakan pengalaman traumatisnya ketika di tempat kerja. “Saya ingat banget itu. Saya lagi fokus kerja di meja saya, tiba-tiba chief nya datang gebrak meja, sampai saya kaget banget. Saya dikata-katain kalau keteteran, abis itu di suruh meeting sama HRD. Pas meeting saya juga disalah-salahkan, ditunjuk-tunjuk, dipelototin, dimarah-marah dibilang keteteran kerjaan, padahal gak keteteran”. Persoalan kekerasan emosional juga terjadi dalam ranah rumah tangga. Misalnya pelarangan dari suami untuk keluar rumah dan bergaul dengan teman lain tanpa seizinnya karena dianggap egois atau menelantarkan anak suami. Bahkan perempuan bisa saja dianggap bukan istri baik-baik apabila tetap pergi.
Berbagai persoalan yang muncul dari pengalaman pribadi buruh perempuan membangun kesadaran mereka bahwa problem yang selama ini dialami adalah bentuk dari kontrol dan ketidakadilan. Dengan begitu, Vivi mengajak semua buruh perempuan untuk mencari solusi atau bagaimana memutus rantai kekerasan atau ketidakadilan yang terjadi pada perempuan dengan bermain peran. Dengan menggunakan salah satu contoh persoalan yang dialami, semua buruh peremuan akan membahas dan mendiskusikan solusi apa yang dapat dilakukan dari persoalan yang terjadi. Pada saat apa persoalan tersebut dapat dirubah atau diputus agar kekerasan tidak terjadi, bagaimana mereka melakukannya.
Berbagai macam solusi dan kemungkinan diupayakan dari setiap adegan bermain peran. Tidak mudah bagi teman-teman untuk menemukan cara agar memutus mata rantai kekerasan. Namun demikian, salah satu hal yang dapat dilakukan adalah dengan bertindak secara sadar dan bersama-sama. Kesadaran dengan segala kemungkinan dalam rangka perubahan yang lebih baik.
Hal penting lain yang ditekankan adalah, segala bentuk perilaku kekerasan tidak benar dan tidak layak dilakukan kepada siapapun terutama terhadap perempuan. Sebab, perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki untuk hidup secara adil dan merdeka. Perempuan memiliki hak untuk terbebas dari segala bentuk kekerasan.