Media masih salah fokus atas kasus prostitusi online yang melibatkan artis ternama, VA. Mereka mengekspolitasinya dalam pemberitan-pemberitaan yang dirilis. Turut berkontribusi membentuk stigma negatif pada masyarakat sehingga publik hanya menyasar satu titik VA dan AS.
Dalam praktiknya, postitusi bukan hanya melibatkan pekerja seks tetapi juga pembeli jasa dan muncikarinya. Ada satu lingkaran yang tidak bisa terputus begitu saja. Sayangnya, media dan kepolisian lebih menggaris bawahi perempuan, apalagi bila sosok tersebut adalah artis, public figure atau influencer memiliki daya tarik yang kuat di masyarakat. Tak bisa dipungkiri banyak masyarakat yang senang dengan pemberitaan semacam itu. Sementara penyewa dan muncikari hanya figuran semata.
Sisi lain polisi yang mestinya mengayomi dan melindungi masyarakatnya justru membeberkan identitas perempuan, yang jelas tak mengindahkan HAM. Disebut melanggar HAM sebab masih dalam tahap penyelidikan, akan lebih baik jika disebut saksi atau sekedar inisial. Mereka menyebut R, lalu muncul nama Rian salah satu pengusaha tambang tanpa membubuhi nama depan atau nama lengkap. Sebegitu banyak nama orang di Indonesia dengan sapaan Rian.
Dari segi hukum, pekerja seks tidak dapat dipidana kecuali ada pihak yang tidak terima dari pembeli jasa dan melaporkan pada aparat. Pasal-pasal yang ada justru menjerat muncikari, Berdasarkan hukum yang ada ketentuan bagi muncikari/germo/penyedia PSK yang dimaksud ada pada Pasal 296 juncto Pasal 506 KUHP.
Pasal 296 berbunyi: “Barang siapa yang mata pencahariannya atau kebiasaannya yaitu dengan sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah.”
Sementara Pasal 506 berbunyi: “barang siapa sebagai muncikari (souteneur) mengambil keuntungan dari pelacuran perempuan, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun.”
Berdasarkan hukum pidana hanya berlaku untuk muncikari. Pekerja seks tidak terjerat hukum apapun kecuali moralitas dan dalih agama. Dari situ, apa lantas kita berhak menghakimi sebagai manusia yang penuh dosa tanpa berkaca bahwa diri sendiri juga memiliki dosa yang menggunung.
Media yang Latah
Dari sisi media dengan pemberitaan yang terus menyudutkan VA dan AS, selama masih memposisikan perempuan sebagai objek seksual maka pemberitaan akan selalu menyudutkan perempuan. Imbas dari pemberitaan itu frasa “80 juta” menjadi bahan candaan yang mengarah pada seksis. Ini sama sekali tidak lucu. Perendahan terhadap perempuan.
Media mengeksploitasi sedemikiann rupa agar menambah rating, belum lagi pemilihan diksi dari media, yang kerap mengguanakan ‘penangkapan’ ‘ditangkap’ menggambarkan tendensi bahwa VA adalah pelaku yang mesti segera dibekuk. Belum lagi soal objektivikasi perempuan dengan menjabarkan tubuh perempuan agar nampak erotis.
Melansir dari Vice.com Peneliti Institute Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati, menyebut istilah “penangkapan” atau “menangkap” yang ditujukan kepada pekerja seks dalam kasus ini bersifat tendensius. “Kalau pakai istilah “ditangkap”, padahal kalau konteksnya sendiri “penangkapan” itu buat pidana sementara saat itu tidak ada pidana yang menjerat pekerja seks.
Media kerap merayakan pemberitaan yang bagi mereka renyah tapi menyudutkan perempuan. Lemahnya edukasi soal gender dan pemahaman hukum atau memang tuntutan media yang mengutamakan rating sehingga terus-menerus mengglorifikasi bad news dan melulu korbanya perempuan. Masih banyak sekalai media yang belum ramah perempuan, lagi-lagi menempatkan perempuan sebagai objek, penulisan yang tidak berimbang, menyorotinya sampai pada ranah privat atau kehidupan pribadi.
Seksualitas: Imbas Struktur Sosial
Tapi mereka lupa penyewa jasanya yang notabenya adalah laki-laki. Seolah perempuan yang salah kaprah karena melakoni pekerjaan yang dianggap ‘amoral’ di mata masyarakat. Ratna Sapari dan Brigitte Holzner dalam bukunya Perempuan, Kerja dan Perubahan Sosial memaparkan bahwa apakah kita turut mengiyakan apabila laki-laki mempunyai dorongan seksual yang besar dan bersifat agresif? Apakah ini disebabkan laki- laki secara inheren memang memiliki sifat demikian atau karena masyarakat membenarkan dan mendukung stereotype semacam itu?
Secara umum tak ada sanksi sosial bagi laki-laki yang berperan dalam perilaku seksual dan sebaliknya ada sanksi sosial yang sangat kental ketika perempuan menunjukkan nafsu seksualnya secara terang-terangan.
Jeffrey Week seorang sosiolog Inggris yang kemudian dikutip oleh Ratna dan Brigitte mengutarakan mengungkapkan pendekatan yang menggunakan seksualitas sebagai gejala bilogis merupakan suatu kekuatan yang berada di luar kendali individu yang tidak hanya mempengaruhi kehidupan pribadi tetapi juga hubungan sosial. Seks bukanlah suatu gejala yang mandiri, yang tak dibentuk dan dipengaruhi oleh kondisi sosial, ekonomi, politik.
Sebab berehubungan erat kaitanya dengan struktur sosial bagaimana, bilamana atau dengan siapa hubungan seks itu diperbolehkan dan bagaimana seksualitas laki-laki dan perempuan didefiniskan berubah-ubah sesuai dengan perkembangan ideologi masyaarakat yang ada.
Moralitas kalangan tertentu menjadi tolak ukur yang kebenaranya digeneralisir untuk menghakimi yang dianggap salah, tanpa melihat dari sudut pandang yang lain. Padahal masih banyak perspektif lain yang harusnya dimunculkan. Moralitas siapa yang diterapkan,apakah yang hanya berlandaskan patriarkal hingga lagi-lagi mendeskritkan perempuan? Atau apakah setiap individu sekarang menjelma menjadi polisi moral, berlomba-lomba menjadi siapa yang paling benar bukan apa yang benar?
Penulis :Anisa Dewi Anggriaeni