Sinka (nama samaran) merupakan buruh perempuan yang bekerja di salah satu pabrik garmen di Sukabumi. Ia menceritakan kalau target kerja di pabriknya setiap hari berubah dan semakin tidak menentu. Hari ini saja mereka mendapatkan target kerja menyelesaikan lebih dari 130pcs perhari.
Dampaknya membuat para buruh tidak bisa ke toilet bahkan untuk minum saja tidak sempat. Apabila target tidak tercapai maka buruh satu line (sekitar 20-30 orang) akan dipanggil ke ruang kantor dan diomelin karena dianggap bekerja tidak serius.
Pengamatan Sinka, hampir semua buruh masuk lebih awal yaitu 30 menit sebelum bel masuk kerja. Terkadang juga ditemui buruh yang tidak rehat dan makan siang atau memangkas jam istirahatnya menjadi 30 menit agar bisa mencapai target. Menurutnya, memang tidak ada yang menyuruh para buruh untuk terus bekerja tetapi ketika dipanggil ke ruang kantor selalu terdapat kalimat penegasan dari atasan. “Selalu diulang-ulang omongannya supaya mikir sendiri yang merasa keteteran. Jadikan sama aja menyuruh kerja terus secara tidak langsung” ungkap Sinka.
Tidak sedikit pula buruh yang mengalami sakit akibat jam kerja panjang di pabrik, seperti sakit pinggang, asam lambung, anyang-anyangan, sakit kepala hingga nyeri dada. Apabila sakit dan tidak masuk bekerja, maka buruh akan dimarahi. Akhirnya, seringkali buruh tetap masuk kerja meskipun sedang sakit.
Sinka mengungkapkan bagi yang sudah menikah dan memiliki anak, mereka akan bangun lebih awal sekitar pukul 4 subuh. Hal tersebut dilakukan agar pekerjaan di rumah beres sebelum mereka berangkat kerja di pabrik, seperti memasak, mengantar anak sekolah atau ke penitipan.
Sinka sempat merasa heran dengan pabrik tempat ia bekerja. Menurutnya, saat ini sedang terjadi pengurangan banyak buruh, mereka diputus kontrak kerja. Alasan pengusaha bahwa orderan sedikit, namun buruh yang di pabrik tetap diberikan banyak target kerja setiap harinya.
Sejak Agustus lalu pun, mereka yang di bagian sewing sudah tidak pernah di minta untuk lembur lagi karena sedikit orderan. Namun hingga hari ini, meskipun tidak ada lembur mereka masih terus menghadapi target kerja yang tidak masuk akal.
***
Pengalaman Sinka di atas menunjukkan bahwa sistem kerja buruh perempuan jauh dari kerja layak dan tidak memperdulikan kesehatan pekerja. Mereka bekerja lebih dari 8 jam dengan mengorbankan tenaga, pikiran dan kesehatan demi memenuhi tuntutan target yang diberikan dari perusahaan. Para buruh dipaksa untuk menggunakan waktu di luar jam kerja mereka untuk menyelesaikan target yang tinggi setiap harinya.
Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa pengusaha berusaha mengeruk keuntungan dari menguras tenaga buruh perempuan melalui jam kerja yang tak berbayar. Iya, jam kerja tak berbayar!
Dari cerita di atas, jam kerja tak berbayar ini diperoleh dari 30 menit bahkan lebih dari waktu sebelum jam masuk kerja di mulai. Perolehan lain adalah dari jam istirahat buruh yang seharusnya 1 jam menjadi 30 menit, bahkan ada yang tidak istirahat demi mencapai target. Selain itu, jam kerja tak berbayar ini juga diraup dari jam pulang kerja buruh yang melebihi 30-60 menit dari yang ditetapkan.
Penekanan terhadap buruh perempuan tidak hanya sampai di situ, status kerja kontrak yang sangat pendek pun menjadi persoalan. Bayangkan saja, status kerja kontrak di pabrik lebih banyak sekitar 6 bulan, ada yang 3 bulan bahkan 1 bulan. Dengan status kerja kontrak yang sangat pendek, tentu saja para buruh berupaya bekerja sebaik mungkin untuk mencapai target dengan harapan dapat diperpanjang status kerja. Meskipun pada kenyataannya, putus kontrak dapat terjadi kapan saja semau pengusaha.
Jika dulu terdapat jam lembur, maka buruh perempuan akan mendapatkan bayaran atas jam kerja lebih yang mereka lakukan. Namun, jam lembur ditiadakan dan mulai banyak pengurangan buruh dengan alasan sedikit orderan.
Mungkin orderan yang mulai sedikit benar adanya, namun menggunakan tenaga buruh untuk memperoleh keuntungan menjadi siasat pengusaha. Jam kerja tak berbayar ini menjadi salah satu taktik yang diterapkan untuk menekan kerja buruh perempuan.
Buruh ditekan dengan omelan apabila target tidak tercapai, padahal target yang diberikan selalu berubah setiap harinya. Dengan begitu, buruh berupaya mencapai target dengan menggunakan jam kerja tak berbayar untuk menghindari omelan dan ancaman putus kontrak. Jam kerja tak berbayar ini barangkali tidak banyak dipahami oleh buruh, sebab cara berpikir buruh telah dimanipulasi oleh atasan.
Sebagai contoh dari cerita Sinka, setiap target tidak tercapai maka buruh satu line akan dipanggil ke kantor untuk diomeli dan mengatakan bahwa “yang merasa keteteran mikir sendiri agar target tercapai”. Penekanan pada kalimat tersebut menjerumuskan para buruh untuk “merasa bertanggung jawab” atas target yang tidak tercapai. Padahal, diketahui bahwa target selalu berubah dan semakin tinggi setiap harinya.
Dengan begitu, hasil manipulasi pikiran tersebut berdampak pada buruh menggunakan waktu kerja tak berbayar dengan mengorbankan secara lebih waktu, tenaga dan pikiran mereka. Sistem kerja seperti di atas pun kemudian menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan buruh perempuan.
Beban kerja menjadi bertambah akibat banyak waktu dihabiskan untuk bekerja di pabrik tanpa terlepas dari mengurus pekerjaan domestik hingga merawat anak pada saat di rumah. Seperti yang banyak diketahui bahwa beban kerja domestik masih banyak dibebankan kepada perempuan, meskipun mereka juga bekerja di luar rumah.
Lebih dari itu, buruh perempuan harus kehilangan waktunya untuk berkumpul bersama keluarga dan untuk merawat diri. Bekerja dengan sedikit jeda pun memicu timbulnya penyakit pada buruh perempuan, seperti asam lambung, sakit pinggang, hingga anyang-anyangan.
Cerita Sinka di atas memberikan gambaran sebagian kecil dari buruknya kondisi kesehatan yang dialami oleh buruh perempuan. Mereka menahan sakit agar dapat mencapai target dan terhindar dari amarah atasan meskipun situasi kerja tidak layak bagi buruh perempuan. Selain itu, besarnya beban kerja yang ditanggung oleh buruh perempuan dapat memicu tekanan psikologis, seperti kelelahan, pusing, mudah marah/tersinggung hingga stress. Situasi ini pula dapat memicu ketegangan di dalam lingkungan keluarga dan pertemanan buruh.
Sistem kerja eksploitasi di atas banyak digunakan oleh pengusaha sebagai taktik untuk tetap mendapat keuntungan meskipun memiliki tenaga kerja yang sedikit. Pemanfaatan tenaga buruh yang sedikit ini sebagai dalih pengusaha untuk menghindari pembayaran upah kerja layak pada buruh.
Padahal, banyak sedikitnya jumlah pekerja buruh di pabrik tidak menurunkan keuntungan, alias pengusaha tetap meraup keuntungan dengan memanipulasi upah rendah, target tinggi, status kerja kontrak dan jam kerja tak berbayar. Disamping itu, pengusaha juga mengabaikan kesehatan buruh dengan tetap memaksa buruh bekerja ketika sedang sakit.
Jika mengacu pada peraturan yang ada, buruh perempuan memiliki hak untuk mendapatkan kerja layak dan jaminan kesehatan dari pengusaha terlepas mereka berstatus kontrak atau tetap. Hak cuti ketika mengalami sakit dan menstruasi, hingga hak maternitas seperti melahirkan dan menyusui. Selain itu, hak untuk mendapatkan situasi kerja yang aman dan nyaman sebagai upaya mengurangi beban fisik dan psikis buruh juga perlu dilakukan.
Dengan adanya jaminan kesehatan dan sosial yang dapat dengan mudah diakses oleh buruh, maka kondisi fisik dan psikis buruh pun dapat terjaga. Sebab, kondisi mental buruh tentu mempengaruhi produktifitas dan kesejahteraan buruh itu sendiri. Namun sayangnya, meskipun telah memahami tentang hak-hak kerja layak bagi buruh, pengusaha tetap tidak menghiraukan dan menghindari tanggung jawab akan hal tersebut.
Situasi kerja di atas merupakan sedikit gambaran persoalan yang ada pada buruh perempuan. Tidak menutup kemungkinan banyak buruh perempuan yang memiliki cerita yang sama bahkan lebih buruk dari pengalaman Sinka. Dari cerita ini pula, kita diperlihatkan bahwa pengusaha tidak hanya mengabaikan kesehatan buruh, namun juga menindas dan tidak memberikan perlindungan kepada buruh. Pengusaha selalu berupaya mencari cara untuk terus mengeksploitasi dan mengeruk keuntungan dari kerja keras buruh perempuan.
Ketentuan jam kerja 8 jam selain hasil perjuangan gerakan buruh juga memiliki dasar. Bahwa dalam sehari selain 8 jam sebagai waktu untuk bekerja, orang butuh 8 jam untuk beristirahat dan 8 jam bersosialisasi di masyarakat. Dengan demikian, jika pabrik mempekerjakan buruh melebihi 8 jam kerja, maka pabrik merampas hak buruh untuk beristirahat dan bersosialisasi.