Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Kebiri kembali ramai dibicarakan. Ia dianggap sebagai hukuman yang setimpal dari kekerasan seksual yang dilakukan terhadap anak. Namun apakah kebiri kimia ini benar-benar memberikan efek jera?
Adalah Dr. Ahmad Sofian S.H., M.A., seorang dosen hukum di Binus University dan konsultan hukum untuk ECPAT Indonesia yang memperjuangkan dan mengadvokasi hak-hak anak dalam melawan kekerasan seksual terhadap anak. Dalam sebuah webinar yang diadakan oleh Muslimah Reformis Foundation, Kajian Islam Salam dan DPP Api Kartini, ia memaparkan mengapa kebiri kimia tak mampu memberikan rasa pemenuhan dan pemulihan bagi korban.
Namun sebelumnya, kita harus memahami kenapa seseorang melakukan tindak kekerasan seksual kepada anak atau memaksakan anak melakukan hubungan seksual.
Ryan Cauley dalam tulisannya yang berjudul “Is Chemical Castration a Progressive or Primitive Punishment?” mengutip pandangan para kriminolog. Pemicu terjadinya kekerasan seksual adalah karena faktor relasi kuasa dan kekerasan (power and violence) dan bukan faktor hasrat seksual.
Faktor relasi kuasa sendiri inilah yang menjadi banyak penyebab kekerasan seksual baik terhadap perempuan, anak hingga kelompok minoritas seksualnya. Keinginan untuk menunjukkan kuasanya atas tubuh orang lain menyebabkan kekerasan itu terjadi. Adanya relasi kuasa ini dibentuk dari budaya dimana seseorang dibesarkan serta ide-ide yang ditanamkan pada dia sejak anak-anak hingga ia dewasa. Oleh karena itu yang dibutuhkan pelaku kekerasan seksual adalah terapi bukan pengobatan.
Terapi psikologi lebih tepat untuk diberikan kepada pelaku kekerasan seksual karena yang dihadapi pelaku adalah masalah psikis, bukan masalah medis. Psikisnya dibentuk oleh budaya-budaya dimana ia dibesarkan sehingga ia memerlukan sebuah upaya untuk unlearn atau membongkar pemahaman yang sebelumnya ia miliki.
Terapi ini juga dianggap lebih efektif dan akan mengurangi ketergantungan obat dan menghilangkan efek negatif dari kebiri kimiawi.
Sedangkan kebiri kimiawi sendiri merupakan pengobatan berupa suntikan kimia kebiri. Ahmad menjelaskan bahwa untuk melakukan kebiri kimiawi dibutuhkan prosedur yang sangat panjang dan memakan biaya. Kesehatan fisik dan psikis harus diperiksa sebelum kebiri kimia dilakukan. Dan pemeriksaan ini hanya sekedar untuk memeriksa saja bukan untuk memberikan terapi psikis.
Penghukuman melalui kebiri kimia sendiri akan menghabiskan banyak dana dan menggunakan pajak rakyat. Dana yang seharusnya dipakai untuk pemulihan korban malah digunakan untuk memberikan penghukuman terhadap pelaku. Belum lagi dengan efek samping dari kebiri kimiawi yang dapat dialami tubuh pelaku. Efek sampingnya yaitu ketagihan, sakit kepala, obesitas hingga menimbulkan diabetes.
Pemberian hukuman kebiri sendiri lebih fokus pada apa yang dilakukan pelaku bukan apa yang menyebabkan pelaku melakukan kekerasan seksual sehingga akar permasalahannya tidak tertangani. Sudah menjadi tanggung jawab perangkat hukum negara yaitu pengadilan untuk menemukan penyebab dari seseorang melakukan sebuah tindakan kekerasan seksual. Norma hukum yang dirumuskan oleh hukum Indonesia masih berkutat pada akibat. Delik materiil hanya fokus di akibat dan tak melihat sebab.
Menggunakan logika demikian apakah setiap pencuri harus dipotong tangannya agar tidak melakukan pencurian? Tentu saja tidak.
Selain itu kita musti memahami bahwa adanya kekerasan seksual yang marak terjadi serta merta bukan karena hasrat seksual namun karena negara abai dalam memberikan pendidikan seksual sejak dini serta memastikan ruang yang aman dan bebas dari kekerasan. Negara melakukan pembiaran dan menguatkan rezim gender yang berlaku di masyarakat. Dengan memperlakukan anak dan perempuan sebagai objek, negara melanggengkan budaya pemerkosaan itu sendiri, sehingga menciptakan budaya yang permisif terhadap kekerasan.
Melalui perpu kebiri, negara membenarkan kekerasan itu sendiri dan mempertahankan siklus kekerasan bukan memutus rantai kekerasan.
Ahmad mengutip Jocelyn B. Lamm dari Yale University yang mengatakan bahwa kriminalisasi tidak memberikan efek jera sama sekali kepada pelaku tindak pidana ini karena itu diperlukan pola-pola penuntutan yang dapat memberikan rasa terlindungi dan rasa pemuliaan kepada korban.
Ahmad juga mengutip perkataan Anne O’Driscoll dari Victoria University. Ia mengatakan bahwa korban-korban kekerasan seksual tidak setuju dengan pidana yang seberat-beratnya pada pelaku. Namun yang diinginkan korban adalah bagaimana luka fisik, luka mental dan luka seksual yang dialami korban dapat menjadi perhatian.
Korban kekerasan seksual lebih memilih jika mereka diperkenankan untuk bekerja dan uang hasil kerjanya dipergunakan untuk membayar sesuatu yang hilang dari diri korban. Anne mencontohkan anak-anak dan perempuan yang menjadi korban eksploitasi seksual selama bertahun-tahun. Korban kekerasan seksual tenaganya diperas dan dipaksa untuk melayani tamu. Ketika polisi berhasil membongkar sindikasi dan menangkap pelaku, korban hanya dikembalikan ke keluarganya dan tidak mendapatkan apa-apa serta dibiarkan begitu saja. Dimanakah hasil rampasan dari pelaku? Dan bagaimana tanggung jawab pelaku kepada korban.
Korban harus dipulihkan dan dimuliakan hak-haknya. Namun yang ada negara malah abai dengan korban dan hanya fokus menjerat pelaku. Jika pelaku tak mampu membayar, maka Negara yang bertanggung jawab dalam bentuk kompensasi untuk mengganti dan memulihkan anak-anak dan perempuan. Karena kekerasan seksual terjadi karena Negara telah gagal melindungi anak-anak dan perempuan dari kekerasan seksual. Negara gagal untuk menciptakan ruang aman serta bebas dari kekerasan seksual.
Dalam memutus rantai kekerasan, kita harus memutus kekerasan itu dari akarnya serta menuntut tanggung jawab dari negara yang selama ini melakukan pembiaran dan pelanggengan terhadap budaya kekerasan itu sendiri. Membuat hukuman berat seperti perpu kebiri hingga hukuman mati tidak hanya menimbulkan efek jera, malah pelaku akan semakin pintar untuk melakukan tindakan kekerasan seksual.