Menulis narasi feminis memang bukanlah hal yang mudah yang bisa dipelajari dalam sekejap. Perempuan yang menuliskan pemikirannya harus memahami bagaimana penindasan sistemik berdampak pada kehidupannya. Selama lokakarya Menyusun Narasi Feminis yang diadakan oleh Perempuan Mahardhika pada tanggal 28 Agustus 2020, Okky Madasari selaku pemateri, menekankan bahwa penting membangun kesadaran kritis dari pengalaman personal.
Lokakarya ini diselenggarakan untuk menguatkan wacana feminis di antara perempuan muda kampus. Situasi kampus yang semakin intoleran hari ini membuat perempuan mengalami berbagai bentuk pembungkaman ekspresi serta kekerasan seksual. Hal ini menimbulkan keresahan tersendiri bagi perempuan. Keresahan perempuan bisa menjadi sebuah cerita serta refleksi atas apa yang di alami perempuan.
Peserta lokakarya ini merupakan perempuan muda yang aktif mengelola kolektif perempuan kampus. Mereka memiliki latar belakang sebagai aktifis di kampus mereka dan memperjuangkan hak-hak perempuan serta partisipasi perempuan di ruang-ruang pendidikan. Tujuan dari lokakarya ini agar perempuan dapat menuliskan pengalaman mereka dan melihat bagaimana permasalahan yang mereka alami merupakan permasalahan struktural yang lebih besar.
Menurut Okky, “Sudut pandang feminis merupakan kemampuan untuk melihat dan memaknai realitas dan setiap persoalan dengan menempatkan keadilan dan kesetaraan antara setiap manusia, baik itu laki-laki, perempuan, dan transgender.”
Okky menjelaskan bahwa narasi feminis dapat dibangun dari pengalaman yang sangat personal. Disinilah tantangannya, penulis harus bisa memahami dan menguasai masalah personal yang dia alami. Penulis perempuan merupakan individu yang ahli dibidangnya. Oleh karena itu harus dirinya sendiri yang menulis tentang permasalahannya, bukan orang lain.
Perempuan harus menguasai pengalamannya agar bisa menuturkan apa yang ia alami. Inilah yang dimaksud dengan metode tutur. “Melalui tutur, pengalaman-pengalam perempuan yang dihilangkan dan tidak diakui, sering dianggap tidak penting atau relevan, kemudian terangkat ke publik, mampu menjadi sarana penguatan dan inspirasi bagi sesama perempuan untuk berdaya.” Perempuan menjadi subjek dan narrator atas apa yang ia alami.
Tentunya menuturkan saja seperti menulis curhatan selayaknya buku harian tidak cukup untuk membangun narasi feminis. Narasi feminis membutuhkan argumentasi yang kuat menggunakan fakta dan data agar lebih relevan. Penyajian data dan fakta dapat menguatkan sebuah argumentasi dan membuat gagasan yang akan dibawa penulis lebih valid.
Selain argumentasi, dibutuhkan sebuah imajinasi atau gagasan baru sebagai tawaran atas realita yang ada. Ini adalah perwujudan dari perjuangan perempuan untuk mencapai keadilan dan kesetaraan dalam hidupnya.
Dalam narasi feminis, kita harus bisa memahami adanya dimensi kekuasaan. Dimensi ini membuat adanya penyebab di luar seorang individu yang mengakibatkan satu kondisi tertentu dalam seorang individu. Penulis harus bisa melihat apa kejadian kecil yang terjadi pada dirinya dari suatu penyebab besar yang mempengaruhi kehidupan perempuan secara politis dan sosial.
Dari mana kita bisa membangun narasi feminis?
Menurut Okky, untuk menghadirkan sudut pandang feminis terdapat 4 hal dasar yang harus kita punya yaitu pertanyaan, kegelisahan, pengalaman dan kemarahan. Pertanyaan pribadi yang kita miliki mencerminkan kesadaran personal kita. Tulisan feminis adalah tulisan yang bisa menghadirkan emosi dari kesadaran personal kita.
Selain itu, Okky Madasari juga sangat menekankan kespesifikkan ketika menulis menggunakan perspektif feminis. Ia menyarankan agar tidak terlalu banyak menggunakan jargon dan istilah-istilah yang terlalu umum seperti toxic masculinity, fragility, toxic relationship dan lainnya. Okky menilai penting untuk menjelaskan bagaimana secara lebih detail dan menyelam lebih jauh untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi.
Selama berinteraksi dengan peserta, Okky sangat lugas dan tajam memberikan kritik dan masukan. Ia juga memberi saran agar perempuan menulis tentang pengalaman yang lebih dekat dengan dirinya dan profesinya. Tentunya perempuan juga harus bisa menakar kemampuannya untuk bisa mengangkat dan menulis sebuah isu. Ia sangat tidak menyarankan jika perempuan menulis sesuatu yang jauh dari dirinya.
Interaksi Okky dan peserta lokakarya yang berjumlah 20 orang, menjadi proses pembelajaran agar peserta dapat memahami bagaimana membangun narasi feminis. Okky memberi masukan agar peserta lebih dapat menggali. Proses ini mengajak peserta untuk berpikir jauh lebih kritis tentang pengalamannya. Ia terus menanyakan kenapa dan bagaimana.
Kekritisan inilah yang ingin dibangun dari pengalaman para peserta, karena seringkali perempuan tidak punya kuasa untuk menarasikan kehidupannya. Seringkali kuasa untuk menarasikan perempuan selalu menggambarkan perempuan sebagai objek konsumsi. “Kita sering melihat literatur tentang perempuan yang merusak dan membenamkan perempuan itu sendiri, seperti ketika perempuan digambarkan sebagai objek untuk dikonsumsi,” tutur Okky.