Labirin Gelap Korban Kekerasan Seksual dalam Mengupayakan Keadilan

Selasa (22 Oktober 2019) Kolektif Rosa mengadakan Diskusi Mingguan di teras Fakultas Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Pembahasan yang diangkat dalam diskusi tersebut adalah tentang Miskonsepsi terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Adapun metode yang dilakukan dalam kegiatan diskusi yaitu dengan analisis teks/naskah, sehingga dengan metode tersebut memudahkan masing-masing peserta untuk terlibat aktif mengeksplor pemikirannya.

Teks atau naskah yang dipilih sebagai bahan diskusi ini merupakan ulasan panjang yang ditulis oleh Komnas Perempuan yang memuat tentang tanggapan terhadap makalah Prof. Dr. Euis Sunarti yang mewakili komunitas AILA. Ulasan dari Komnas Perempuan ini berjudul “Miskonsepsi terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, Prespektif Gender dan Feminisme”.

Dari kesepuluh ulasan Komnas Perempuan, Kolektif Rosa melakukan kajian lebih dalam terhadap tiga point di antaranya. Point pertama yang diulas adalah tanggapan terhadap  pernyataan, “semangat yang diusung dalam RUU P-KS terkesan diskriminatif karena lebih dominan melindungi perempuan dari kekerasan seksual, padahal salah satu asas pengaturannya adalah nondiskiriminasi.”

Menanggapi pernyataan itu, Komnas Perempuan menguraikan empat faktor yang membuat perempuan korban perkosaan terhambat dalam mengakses keadilan dan pemulihan. Empat faktor yang dimaksud adalah faktor personal, sosial budaya, hukum dan politik. Lebih lanjut tulis Komnas Perempuan, keempat faktor tersebut saling terkait dalam menentukan tingkat kepercayaan korban untuk mengadu atau melaporkan kasusnya agar mendapatkan keadilan dan mendapatkan pemulihan diri.

Lebih rinci Komnas Perempuan menjabarkan jika di wilayah personal, perempuan korban perkosaan akan mengalami beberapa hal dalam dirinya, yaitu: kehilangan ingatan pada peristiwa yang dialaminya, kehilangan kemampuan bahasa, gangguan kejiwaan, rasa takut yang teramat dan keinginan untuk melupakan dengan tidak membicarakan peristiwa yang melukainya itu.

Memperdalam pemahaman akan teks tersebut, Mutiara Ika Pratiwi, fasilitator diskusi menambahkan, “Perkosaan atau kekerasan seksual, walaupun terjadi dalam waktu singkat sesungguhnya akan berdampak, ketika disangkal, justru korban akan semakin mengingatnya. Sepanjang tahun, sepanjang hidupnya dia akan mengalami trauma tersebut. Dan saat ini kita hidup di tengah-tengah masyarakat yang masih menyangkal perkosaan, menormalisasinya. Sehingga ketika mempermasalahkan perkosaan atau kekerasan seksual lainnya dianggap hal yang berlebihan.”

Mutiara juga mengatakan, “Untuk itulah kita harus bisa melihat masalah kekerasan seksual sebagai masalah struktural, bahwa wilayah personal adalah juga politik. Dikukuhkan oleh faktor sosial-budaya, hukum dan politik. Di ranah sosial budaya salah satu upayanya kita harus berani  menunjukkan fakta, bahwa kekerasan seksual tidak terjadi karena atau disebabkan oleh korban itu sendiri, tetapi karena ada intervensi secara sosial dan budaya. Budaya menyalahkan korban ini masih banyak sekali terjadi. Bahkan, korban dikucilkan dari lingkungannya. Masyarakat menganggap seksualitas perempuan sebagai hal yang tabu dan aib, keadaan sosial-budaya yang seperti ini membuat korban semakin bungkam.”

Senada dengan Mutiara, Kalfa (Aktivis Kolektif Rosa) menyatakan jika dirinya memang sering mendengar bagaimana korban kekerasan seksual justru disalahkan atau dihakimi sehingga korban mengalami berkali-kali kekerasan (reviktimisasi). “Ketika meminta perlindungan atau mencoba konsultasi, korban justru disalahkan dengan dilontarkan pernyataan: salah sendiri keluar malam hari, salah sendiri memakai baju terbuka.”

Sementara pada ranah hukum, menurut ulasan Komnas Perempuan, “Berbagai jenis kekerasan seksual belum dikenali oleh hukum Indonesia, bahkan belum ada pengakuan secara utuh tentang tindak kekerasan seksual. Selain itu, para penegak hukum masih mengadopsi cara pandang masyarakat bahwa perkosaan adalah soal serangan terhadap moral (asusila) bukan permasalahan pelanggaran hukum, sehingga sering terjadi pengabaian terhadap korban yang melapor. Ditambah lagi tidak adanya perlindungan saksi dan korban, sehingga korban seringkali khawatir pelaku akan balas dendam. Akibatnya korban kehilangan kepercayaan pada proses hukum yang adil, bisa dipercaya dan melindunginya.”

Kemudian di wilayah politik, sejarah Indonesia mencatat tentang pelibatan aparatur negara sebagai pelaku kekerasan seksual. Peristiwa sejarah tersebut diantaranya adalah Konflik Mei 1998, Konflik Aceh, Jugun Lanfu, Tragedi 1965, Timor Leste dan sebagainya.

“Dalam kasus 1965 misalnya, tuduhan yang dilontarkan kepada perempuan-perempuan Gerwani dengan cerita melenceng tentang tarian bunga harum yang mengundang hasrat para jendral di Lubang Buaya sampai sekarang apa sudah direhabilitasi nama-namanya? Bahkan sampai sekarang bukti sejarah itu masih ada dan dikunjungi oleh anak-anak sekolah,” tambah Mutiara.

 

Definisi Pesetujuan dalam Kekerasan Seksual

Permasalahan terhadap definisi “persetujuan” juga masih menjadi polemik dalam kasus kekerasan seksual.  Menurut Komnas Perempuan, ada atau tidaknya persetujuan (concent) sebetulnya berbeda dengan konteks berdasarkan suka sama suka. Komnas Perempuan melihat suka sama suka dapat disebabkan karena perempuan tidak bisa menolak, tidak bisa berkata tidak atau karena mengalami ketakutan dan intimidasi akibat terjerat relasi kuasa.

Suka sama suka tidak mampu untuk menggambarkan sebuah persetujuan yang autentik. Kalimat itu tidak bisa dijadikan indikator persetujuan. Bahasa suka sama suka sampai sekarang dijadikan sebagai bahasa populer sebuah persetujuan.  Untuk itulah dalam hal istilah, kita juga harus bergerak lebih maju lagi, tidak sesederhana suka sama suka saja,” kata Mutiara.

Rab (Aktivis Kolektif Rosa) menambahkan,  “Pengancaman secara seksual seringkali dikemas dengan nuansa romantik, padahal sebenarnya disitu ada relasi yang memuat intimidasi atau romantic intimidation, kekerasan atas nama cinta.”

Sependapat dengan Rab, Kalfa mengatakan,  “Perempuan sebenarnya terintimidasi akibat kekerasan seksual,  tetapi malah mengidealisasikan sebagai hal yang  tidak apa-apa karena itu bentuk perhatian, itu bentuk cinta. Iya, memang benar imajinasi patriarki menormalisasi akan hal tersebut. Bahkan, ketika kekerasan telah terjadi, perempuan masih saja sering menyalahkan dirinya. Seperti tidak bisa menjaga diri, tidak bisa menjadi kekasih yang baik, dan banyak lagi penyalahan-penyalahan yang dituduhkan terhadap dirinya sendiri.”

Menanggapi hal itu Mutiara menyatakan, “Pemikiran perempuan tersebut dapat terjadi karena pencerabutan kuasa atas tubuh dan pemikirannya secara terstruktur. Sebagai perempuan muda, indikator kecantikan atau rasa percaya diri berkiblat pada orang lain, bukan pada dirinya. Hal itulah yang membuat kita perempuan muda rentan dieksploitasi.

Selain itu menurut Mutiara,  sebenarnya terjadinya kekerasan seksual juga ada pengkondisian situasi  terlebih dahulu. Misal kekerasan seksual yang terjadi dalam relasi pacaran biasanya juga diiringi dengan bagaimana pelaku mengisolasi korban dari lingkaran pertemanan. Sehingga korban tidak memiliki support system. Korban akan menjadi lebih sulit melapor atau mengutarakan kekerasan yang dialaminya.

“Memang banyak sekali lapisnya, semakin privat semakin sulit, karena dalam keprivatan itulah relasi kuasa semakin ditopang. Relasi kuasa yang timpang akan menjadi sumber lingkaran kekerasan, termasuk dalam relasi pacaran,” jelas Mutiara.

 

Prespektif dalam Menganalisa Kekerasan Seksual

Prespektif mainstream yang sering digunakan untuk menganalisa peristiwa kekerasan seksual juga masih sangat timpang dan tidak mempunyai sensitivitas gender. Bahkan, dikatakan jika prespektif gender berlandaskan pada teori konflik seksual. “Teori tersebut tidak relevan karena seharusnya yang diguanakan adalah teori fungsional seperti keluarga.”

Menanggapi hal itu, Komnas Perempuan menguraikan, “prespektif gender bukan berangkat dari teori konflik seksual. Tidak ada teori konflik seksual dalam gender, yang ada adalah ketimpangan, ketidaksetaraan, dan ketidakadilan. Konflik dimaknai sebagai perseteruan yang sejajar, sementara ketimpangan adalah ketidakberdayaan salah satu pihak.”

Lebih lanjut Komnas Perempuan dalam ulasannya mengemukakan, “Prespektif gender adalah sebuah analisis yang berangkat dari epistimologi pengetahuan atas pengalaman perempuan. Dalam tradisi ilmu pengetahuan sekalipun,  perempuan masih sering tidak dilibatkan sebagai yang mengetahui, tidak diikutsertakan serta tidak diakui sebagai agen pengetahuan tentang diri mereka sendiri. Perempuan sering dijadikan sebagai objek, sementara suara pengalaman perempuan sendiri dalam ilmu pengetahuan tidak didengar. Suara pengetahuan adalah suara yang ditulis oleh laki-laki sebagai gender yang dominan.”

Mengeksplor pernyataan tersebut, Mutiara berpendapat, “Teori fungsionalisme keluarga mengandung sebuah ideologi, bahwa dalam keluarga memang harus ada yang menjalankan fungsi sebagai pemimpin dan yang dipimpin. Peran perempuan utamanya untuk menjalankan fungsi reproduksi dan pemeliharaan. Jika fungsi itu tidak dijalankan, maka bahtera sebuah keluarga tidak akan jalan. Padahal, teori fungsional ini dilahirkan oleh pengetahuan yang patriarkis. Tradisi pengetahuan yang tidak ramah terhadap perempuan menyebabkan keilmuan feminisme sering terpinggirkan. Lalu, dimana lagi kita mau memproduksi pengetahuan, jika di institusi pendidikan saja feminisme sudah banyak distigmatisasi?”

Merespon itu, Ayu (Aktivis Kolektif Rosa) memaparkan bahwa tuduhan sebagai perempuan pemarah dan judes seringkali dilontarkan oleh para mahasiswa ketika mendapati kawannya yang sedang mendiskusikan tentang wacana feminisme. “Sehingga stigmatisasi tersebut membuat orang belum apa-apa sudah merasa takut terhadap feminisme itu sendiri.”

“Padahal,  sebenarnya kacamata gender adalah sebuah jembatan untuk melihat dunia dengan lebih dalam. Ketika kita berkenalan dengan kacamata gender, adanya kekerasan-kekerasan ini bisa kita lihat sebagai upaya terstruktur dan memiliki alasan kenapa dilanggengkan. Semakin  sensitivitas terasah, semakin mudah pula seseorang untuk mengurai akar permasalahan yang ada. Perjuangan penghapusan kekerasan seksual memang bukan hal yang mudah. Tapi, setidaknya sekarang orang sudah tahu tentang ada dan nyatanya kekerasan seksual. Hal ini harus kita akui sebagai suatu kemajuan pergerakan perempuan. Berbagai kesulitan itu terus dikikis sedikit demi sedikit,” pungkas Mutiara.

 

#Kolektif Rosa adalah komunitas perempuan muda kampus yang anggotanya berasal dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Saat ini berjejaring dengan Perempuan Mahardhika dalam program Kepemimpinan Perempuan Muda Kampus (We Lead).

 

 

 

 

Sumber : Makalah berjudul  “Miskonsepsi terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, Prespektif Gender dan Feminisme” ditulis oleh Mariana Amiruddin, Magister Humaniora Women Studies, Universitas Indonesia
(Komisioner Komnas Perempuan)

Credit Picture : https://www.dailydot.com/irl/sexual-assault-definition

penulis: Afin

Perempuan Mahardhika

Comments

wave
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Press ESC to close