KTP bagi Transgender: Jalan Baru Menghapus Diskriminasi

“Dulu, ketika ada teman transgender atau transpuan yang meninggal yang tidak memiliki saudara,tidak punya identitas, tidak bisa mengakses ke dinas sosial. Kami di Perkumpulan Suara Kita akan patungan biaya dan berusaha mencarikan tempat yang layak untuk dimakamkan” ungkap Susan.

 

Kasus di atas merupakan salah satu dari banyaknya persoalan yang dihadapi oleh kelompok LGBTI (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender dan Interseks) di Indonesia karena tidak memiliki dokumen penting seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP). Tidak diterima di lingkungan tempat tinggal, dikucilkan bahkan dimiskinkan oleh sistem kerap dialami kelompok LGBTI.

Sudah setahun lebih perjalanan pembuatan KTP Elektronik atau E-KTP dan Kartu Keluarga (KK) pada kelompok transgender. Hak dasar kepada transgender ini hasil dari advokasi dari Perkumpulan Suara Kita yang aktif memperjuangkan kesetaraan dan keadilan bagi kelompok LGBTI sebagai warga negara Indonesia. Hartoyo sebagai Dewan Pengurus Perkumpulan Suara Kita menjelaskan bahwa banyak teman-teman transgender yang tidak memiliki dokumen kependudukan seperti E-KTP, KK dan lainnya yang kemudian membuat mereka kehilangan segala akses di negara sendiri.

Perjuangan atas pembuatan KTP dan beberapa dokumen lainnya bagi transgender sebetulnya telah digencarkan sejak 2020. Suara Kita aktif melakukan lobi dengan banyak pihak, seperti Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil), Dinas Sosial (Dinsos),dan  instansi terkait lainnya.

Susan sebagai Ketua Divisi Kemitraan Suara Kita menjelaskan bahwa setelah perjalanan panjang melakukan lobi-lobi tersebut kemudian baru muncul afirmatif actionnya dari pemerintah. “Pemerintah kemudian mengeluarkan surat edaran untuk memfasilitasi pembuatan E-KTP dan dokumen terkait bagi transgender. Dan hebatnya pembuatan ini diberlakukan di seluruh Indonesia” terangnya saat di wawancara.

Keputusan Direktorat Jenderal (Dirjen) Dukcapil Kemendagri mengeluarkan surat edaran tersebut mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2013 juncto UU 23/2006 tentang Administrasi dan Kependudukan. Rapat koordinasi Dirjen Dukcapil Zudan Arif Fakrullah pada 23 April 2021 melalui zoom meeting bersama Perkumpulan Suara Kita menjelaskan bahwa tidak ada diskriminasi perolehan dokumen bagi semua masyarakat tanpa terkecuali transgender.

Dengan begitu, tidak ada alasan instansi Dukcapil wilayah untuk tidak melayani kelompok transgender dalam memperoleh E-KTP sebab mereka memiliki hak yang sama untuk mengakses fasilitas negara.

Dengan memiliki KTP maka transgender akan mendapatkan efek domino yang positif mengenai hak-haknya. Dari kemudahan untuk mengurus Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan maupun ketenagakerjaan, bantuan sosial, pendidikan, pelayanan kesehatan dan sebagainya.

Suara Kita sendiri terus melakukan perjuangan atas hak-hak LGBTI secara massif. Di wilayah DKI Jakarta sendiri Suara Kita membentuk Vocal Poin untuk membantu pengurusan E-KTP dibawah tanggungjawab Septi. “Vocal Poin ini bertujuan untuk membantu pengurusan E –KTP, BPJS yang berkaitan dengan segala macam jaminan sosial khusus transgender DKI Jakarta” terang Septi. Dengan begitu teman-teman transgender dapat dengan mudah melakukan pengurusan dokumen penting karena melalui satu pintu khusus, Vocal Poin.

Dalam pelaksanaannya teman-teman transgender masih ada yang mengalami kendala, seperti tidak memiliki biaya untuk berangkat ke Dukcapil atau dari wilayah lain terhambat KTPnya, maka dari pihak Suara Kita membantu mengkoordinasikan. dengan adanya call center mempermudah Suara kita untuk membantu teman-teman yang kesulitan. Suara Kita berupaya untuk memastikan bahwa semua transgender dapat mengurus dokumen penting tanpa terkecuali.

Sejauh ini, pembuatan KTP bagi kelompok transgender cukup massif di seluruh Indonesia. Susan menginformasikan bahwa dari awal pembuatan di tahun lalu hingga hari ini kurang lebih mencapai seribu lebih yang mengakses. Lebih lanjut, Susan menerangkan hal ini juga dipengaruhi oleh kesadaran akan kelompok transgender bahwa dengan memiliki KTP akan membantu mereka untuk mengakses fasilitas lainnya.

Apabila terdapat teman LGBTI yang sakit dan tidak  memiliki keluarga serta tidak memiliki biaya maka akan didaftarkan ke JKK/JKN. Septi mengutarakan bahwa Suara Kita juga memiliki program menanggung lansia yang tidak memiliki keluarga dan berusia 50-65 tahun. Semua biaya tersebut ditanggung oleh Suara Kita.

Beratnya beban yang ditanggung kelompok transgender adalah pada awal masa pandemi yang itu sangat berdampak pada kelompok transgender. Ketidakpunyaan identitas membuat mereka tidak dapat mengakses bantuan dari pemerintah dan tidak sedikit pula pihak yang memang menolak memberikan bantuan karena mereka adalah transgender.

Padahal, mereka sangat membutuhkan bantuan tersebut karena hilangnya pekerjaan dan tidak mendapat pemasukan. Maka pada waktu itu, bantuan yang masuk melalui Suara Kita disalurkan melalui Vocal Poin dan disebar ke teman-teman, yang itu tidak membutuhkan KTP.

Selain program pembuatan KTP pada kelompok transgender, Suara Kita juga menangani kasus-kasus kekerasan yang dialami oleh kelompok LGBTI. Kasus berasal dari tempat kerja, lingkungan sekolah dan lingkungan sekitar, namun yang paling banyak adalah datang dari keluarga. “Banyak teman-teman diusir dari rumah bahkan dipukuli karena mereka seorang gay/lesbian, atau mengidap hiv aids” ujar Susan.

Penolakan atas identitas dan pilihan hidup kelompok LGBTI masih sangat kuat. Hal tersebut banyak membuat kelompok LGBTI menyembunyikan identitas mereka, sebab dampak lain menyertai seperti hilangnya akses dan persekusi terhadap mereka.

Untuk membantu kelompok LGBTI, Suara Kita miliki gerakan yang bernama Sahabat Kita. Gerakan Sahabat Kita merupakan kumpulan orang-orang LGBTI dan non LGBTI yang memiliki latar belakang yang berbeda untuk membantu persoalan yang dihadapi teman-teman.

Terdapat pengacara dari Lembaga Badan Hukum (LBH), psikolog di puskesmas maupun praktek pribadi, dosen, dan umum yang memang bersedia membantu. Problem yang dialami teman-temen LGBTI akan ditangani bersama dengan Sahabat Kita dan apabila memerlukan bantuan lebih maka dapat menghubungi rekan lain yang lebih berkompeten dan bersedia membantu.

Suara Kita banyak bergerak dari bawah (grassfoot) dan itu bersifat mengurus teman-teman. Hal tersebut dilakukan dengan kegiatan penggalangan dana sendiri melalui jual barang-barang prelove,road funding, Srikendes dan lainnya. Dari proses inilah penggalangan dana dilakukan untuk membantu teman-teman LGBTI yang membutuhkan.

 

Masih Rentan di Diskriminasi

Apresiasi positif tentu diberikan atas langkah pemerintah dengan memberikan akses pengadaan E-KTP kepada kelompok transgender. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah apakah diskriminasi begitu saja hilang dari masyarakat secara luas? Jawabannya tidak.

Hal ini terbukti dengan banyaknya kritikan atas pengadaan E-KTP pada kelompok transgender. Mereka dianggap tidak memiliki hak untuk memperoleh fasilitas negara. Selain itu, negara hanya mengakui dua jenis kelamin yang menunjukkan bahwa negara masih membatasi hak identitas pada kelompok transgender.

Padahal apabila mengacu pada peraturan UU semua warga negara memiliki hak yang sama untuk memperoleh fasilitas negara tanpa diskriminasi, tanpa terkecuali kelompok transgender.

Masyarakat hingga saat inipun masih banyak yang belum sepenuhnya memiliki pemahaman SOGIESC (Sexual Orientation Gender Identity Expression dan Sexual Charachteristic). Apakah masyarakat yang “minim pemahaman” tersebut dapat dipastikan tidak mendiskriminasi kelompok transgender yang memiliki KTP berjenis kelamin laki-laki dengan ekspresi gender Perempuan dan sebaliknya? Ada kemungkinan akan berlanjutnya perundungan, pelecehan bahkan kekerasan atas ekspresi gender yang ditunjukkan oleh teman-teman transgender.

Penerapan UU Hak Asasi Manusia di negara ini masih jauh dari keadilan bagi kelompok LGBTI. Hingga saat ini diskriminasi dan stigma selalu dialami oleh kelompok LGBTI yang berdampak pada putusnya segala akses yang berhak mereka dapatkan.

Diskriminasi terhadap kelompok transgender pun menjadi hal yang dilegalkan sehingga mereka termarjinalkan dalam negeri sendiri. Itulah yang menyebabkan banyak dari mereka menyembunyikan orientasi seksual dan identitas gender agar tidak mendapatkan diskriminasi yang berujung kekerasan.

Pada 2019 Arus Pelangi[1] melaporkan hasil penelitian yang mereka lakukan tentang berbagai diskriminasi yang menimpa kelompok LGBTI. Mereka seringkali mengalami kekerasan, pelecehan, penangkapan, pengusiran, minimnya akses kesehatan, pendidikan, dan banyak lagi. Diskriminasi tersebut tidak hanya datang dari masyarakat lingkungan sekitar, namun juga Aparat Penegak Hukum APH), pihak sekolah, bahkan keluarga sendiri.

Kelompok LGBTI ini dianggap menyimpang dan tidak layak berada di negaranya sendiri. Persekusi kerapkali dilayangkan kepada mereka sebagai bentuk penindasan dan penghilangan hak hidup mereka yang setara dan bermartabat. Selain itu, banyaknya Peraturan Daerah (Perda) yang dibuat oleh kepala daerah dalam rangka menghilangkan dan mengkriminalisasi hak LGBTI sebagai warga negara.

Inilah gambaran bahwa negara masih tidak menjamin hak hidup kelompok LGBTI. Upaya yang dilakukan masih bersifat “Setengah Hati” untuk memberikan hak kesejahteraan, perlindungan dan keadilan bagi kelompok LGBTI Tidak ada kemerdekaan apabila masih terjadi penindasan dan peminggiran terhadap warga negaranya tanpa terkecuali kelompok LGBTI.

Berbagai upaya advokasi dan perlindungan dilakukan organisasi peduli kelompok rentan ini. Meskipun masih membutuhkan upaya yang lebih besar untuk memperoleh hak LGBTI sebagai warga negara Indonesia, Susan mengungkapkan bahwa dengan adanya KTP bagi transgender telah membuka jalan bagi teman-teman untuk dapat mengakses hak dasar mereka. Hal ini juga berdampak baik dengan terhubungnya Suara kita ke lembaga/organisasi lain yang peduli dengan kesejahteraan dan keadilan kelompok rentan. Maka, ia berharap pemerintah dan organisasi ini dapat mewujudkan kesetaraan dan keadilan dalam berbagai bentuk nyata lainnya.

 

 

 

 

Referensi:

[1] Arus Pelangi.2019. Catatan Kelam: 12 Tahun Persekusi LGBTI Di Indonesia.

 

Nindya Utami

Seorang psikolog klinis yang sedang bergiat mendalami isu perempuan dan perburuhan

Comments

wave
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Press ESC to close