Selasa, 9 Agustus 2022 Mahkamah Agung (MA) memutuskan bebas Syafri Harto, mantan dekan di Universitas Riau yang merupakan tersangka kasus pelecehan seksual terhadap seorang mahasiswinya berinisial L. Putusan tersebut menuai kekecewaan publik, terutama dari korban dan keluarga korban, serta organisasi-organisasi pendukung gerakan anti pelecehan dan kekerasan perempuan.
Pertimbangan MA memutus bebas Syafri karena keterangan korban tidak bisa menjadi bukti yang kuat untuk mendakwa pelaku. MA dianggap tidak berkomitmen dalam penanganan kasus pelecehan seksual karena tidak sepenuhnya berpihak pada korban. Padahal dalam Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) tertulis jelas, bahwa pengakuan korban dan ditambah satu keterangan bukti sudah dapat mendakwa pelaku. UU TPKS secara tegas menempatkan pengakuan korban adalah sumber utama yang kuat.
Sayangnya, dalam kasus pelecehan yang diputus MA tersebut, keterangan korban dan ditambah dengan keterangan dari saksi ahli dianggap tidak cukup untuk membuktikan tindak pidana pelecehan seksual pelaku. Bukti yang kuat menurut MA jika terdapat saksi yang melihat atau mengetahui kejadian tersebut.
Nampaknya, hakim MA tidak mempertimbangkan atau bahkan kurang memahami, bahwa dalam kasus kekerasan dan pelecehan seksual terdapat relasi kuasa yang tidak setara antara pelaku dan korban. Sehingga menempatkan korban dalam posisi yang lemah. Dengan mengharapkan saksi pada saat kejadian, tentu saja itu merupakan hal mustahil jika relasi kuasa pelaku begitu besar.
Kejadian pelecehan dan kekerasan seksual yang terjadi seringkali tidak terdapat saksi mata kecuali korban dan pelaku. Korban terperangkap dalam situasi yang membuatnya tidak berdaya sehingga pelaku memanfaatkan situasi tersebut. Ketakberdayaan tersebut dimungkinkan karena relasi kuasa yang tak seimbang. Ancaman dari pelaku kerap membuat korban tak dapat melawan sehingga banyak kejadian kekerasan seksual yang tidak dilaporkan korban karena korban berada di bawah ancaman pelaku.
Selain itu, budaya masyarakat yang lebih menyalahkan korban daripada pelaku atas peristiwa yang menimpanya juga kerap terjadi. Pelaku yang biasanya orang terdekat atau yang memiliki pengaruh secara sosial terkadang membuat orang di sekitar tidak mempercayai apa yang dituduhkan oleh korban. Situasi ini membuat korban malah semakin terpojokkan.
Untuk menepis tuduhan, biasanya penilaian kepribadian korban menjadi cara untuk menyalahkan korban. Sebagaimana kasus L, pengacara dari Syafri mencari celah agar korban dikesankan sebagai “bukan perempuan baik” di hadapan hakim dengan menyatakan korban L tidak berjilbab dan merokok pada foto-foto di akun Instagram korban L. Budaya patriarki yang sudah mengakar membuat perempuan terjebak dalam penilaian baik dan buruk, benar dan salah. Penilaian-penilaian semacam ini membuat perempuan dalam posisi yang semakin lemah dan menafikkan relasi kuasa yang tak seimbang antara korban dan pelaku.
Keberanian korban untuk speak up atas kejadian yang menimpanya terkadang membutuhkan waktu yang cukup lama. Hal ini membuat korban kerap dianggap memiliki motif tertentu karena mengungkap peristiwa lampau. Padahal tidak mudah bagi korban untuk mengungkap peristiwa yang traumatis, terlebih korban masih berada dalam lingkungan yang sama dengan pelaku.
Di tengah situasi tekanan psikologis, korban kerap berjuang sendiri menghadapi persoalan tersebut. Proses meyakinkan diri dan menemukan orang yang dipercaya dan mendukung korban juga menjadi hal yang sulit. Bahkan, sering ditemukan korban diminta untuk berdamai dengan pelaku dan tidak menyebarkan peristiwa tersebut tanpa ada tindakan apapun dari pelaku atau orang-orang terdekatnya. Padahal, berdamai atau memaklumi tindakan pelaku justru malah menjauhkan korban dari keadilan dan bahkan dapat dikategorikan sebagai tindakan melindungi pelaku kekerasan seksual.
Dari sinilah kita mengetahui bahwa masih banyak pihak yang tidak memahami posisi korban sehingga meninggalkan trauma psikologis yang lebih mendalam. Pengumpulan bukti-bukti seperti saksi juga menjadi pemberat bagi korban untuk melapor meskipun kejadian itu benar adanya. Penolakan pengaduan ini tidak hanya menambah beban bagi korban namun juga memperlambat proses penyelesaian kasus, sehingga berdampak pada mengaburkan bukti-bukti yang ada saat itu.
Dari peristiwa kekerasan seksual hingga proses pengungkapan dan pengaduan merupakan jalan panjang bagi korban untuk memperoleh keadilan. Itulah sebabnya pengawasan dan pendampingan psikologis sangat dibutuhkan bagi korban dan memastikan korban tidak mendapatkan tekanan tambahan baik dari lingkungan maupun dari pelaku. Perspektif keberpihakan kepada korban sangat penting dalam pendampingan korban agar tidak menimbulkan diskriminasi maupun perundungan yang ditujukan terhadap korban. Dukungan menyeluruh baik dari para ahli maupun orang terdekat merupakan kunci bagi korban dalam mencari keadilan.
Penulis
Nindya Utami
Bergiat di Perempuan Mahardhika yang sedang mendalami isu perburuhan dan perempuan