Artikel ini disadur dari Universal Periodic Review oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Hak Kesehatan Reproduksi dan Seksual 2017.
Beberapa bulan terakhir kita dikabarkan dengan deretan negara yang melegalisasi aborsi aman dari Polandia dan Argentina. Usaha gerakan perempuan untuk menghentikan kriminalisasi aborsi serta menjamin aborsi aman membuahkan hasil dengan dukungan ratusan ribu hingga jutaan penduduknya.
Namun bagaimana dengan Indonesia? Dimana posisi Indonesia terhadap aborsi itu sendiri? Serta apa saja yang sebenarnya menjamin hak perempuan atas aborsi aman?
Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) perempuan dan anak perempuan telah diakui dan dijamin oleh hak asasi manusia oleh pemerintah Indonesia. Hal ini tercantum dalam konstitusi negara Undang Undang Dasar 1945 Pasal 28H ayat 1 yang mengatakan: Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Konstitusi ini kemudian diturunkan pada undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 45 yang berbunyi: Hak wanita dalam Undang-undang ini adalah hak asasi manusia; serta padal 49 ayat 3: Hak Khusus yang melekat pada diri wanita dikarenakn fungsi reproduksinya, dijamin dan dilindungi oleh hukum.
Perangkat hukum yang disediakan oleh negara juga sesuai dan sejalan dengan Deklarasi Hak Asasi Manusia Universal (DUHAM) dan International Conference on Population and Development (ICPD) Cairo 1994 Plan of Action dan The Beijing Platform 1995.
Namun sayangnya HKSR yang sesungguhnya dijamin oleh perangkat hukum Indonesia terus dibatasi oleh legislasi dan produk hukum yang bertabrakan dan menciderai hak-hak perempuan untuk mendapatkan akses kesehatan yang bebas dari berbagai macam bentuk diskriminasi dan stigma.
Perempuan yang telah menikah, tak bisa mengakses kontrasepsi tanpa izin dari suaminya. Sedangkan untuk perempuan yang tak menikah, akses terhadap kontrasepsi tetap dianggap illegal di bawah norma-norma agama. Pemberi layanan kesehatan juga hanya boleh membagikan kontrasepsi kepada pasangan heteroseksual yang telah menikah. Peraturan ini dituliskan dalam Undang Undang Kesehatan Nomor 36 tahun 2009 serta UU Nomor 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga yang menjelaskan bahwa hanya perempuan yang sudah menikah yang boleh mengakses kontrasepsi sehingga pelayanan kesehatan reproduksi dibatasi karena hanya dapat diberikan kepada orang yang sudah menikah.
UU Kesehatan Nomor 36 tahung 2009, pasal 72 menyatakan bahwa setiap orang berhak memperoleh informasi, pendidikan dan konseling tentang kesehatan seksual dan reproduksi; untuk memiliki kehidupan reproduksi dan seksual yang sehat dan aman; untuk menentukan kehidupan reproduksinya; untuk menentukan sendiri kapan dan seberapa sering mereka ingin bereproduksi; menjadi sehat secara medis; bebas dari diskriminasi, paksaan dan / atau kekerasan dari pasangan sah menurut norma agama. Namun, dimasukkannya ‘norma agama’ dalam UU ini digunakan sebagai alasan untuk menolak akses perempuan dan anak perempuan ke layanan kesehatan dan membenarkan pelanggaran hak perempuan atas kesehatan dasar.
Ada beberapa kontradiksi antara Peraturan Pemerintah Nomor 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi pada pasal 11, 22, 23 dan 24 yang menyatakan bahwa layanan ramah remaja diberikan untuk mencegah dan melindungi remaja dari risiko yang berkaitan dengan kesehatan seksual dan reproduksi mereka. Pasal 26 menyatakan bahwa setiap perempuan berhak mengakses kesehatan seksual dan reproduksinya tanpa diskriminasi, rasa takut, malu dan bersalah. Namun, pasal 22 dan 23 menyatakan bahwa kontrasepsi diberikan hanya kepada perempuan yang sudah menikah atas persetujuan dan izin suaminya.
Hal ini menunjukkan bahwa perempuan yang tak menikah mendapatkan diskriminasi untuk mendapatkan informasi dan layanan kesehatan reproduksi seksualnya. Kontradiksi dan kurangnya sinkronisitas antara pasal-pasal yang berbeda dari peraturan yang sama menjadi hambatan untuk mengakui hak seksual dan reproduksi perempuan sebagai hak asasi manusia tanpa memandang status perkawinan mereka.
Kerangka hukum dan peraturan yang ada, merupakan hasil dari kampanye politik yang gencar mengadu norma agama dan moral dengan hak asasi manusia untuk mengatur akses ke kontrasepsi diperkuat oleh. Akibatnya, Negara mengambil posisi oposisi terhadap akses kontrasepsi, perempuan dan anak perempuan di seluruh Indonesia menghadapi masalah yang sangat serius karena hambatan dalam mengakses hak mereka atas kesehatan dasar.
Pada 2015, pemerintah Indonesia menyerahkan rancangan amandemen KUHP kepada Komisi III DPR yang merekomendasikan kriminalisasi penjualan kondom di supermarket dan minimarket. Amandemen yang diusulkan ini mendapat tentangan dari Organisasi Masyarakat Sipil dan saat ini ada petisi online untuk mencegah amandemen ini disahkan di Change.org.
Pada 2013, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) meluncurkan program nasional untuk mempromosikan penggunaan kondom sebagai strategi pencegahan infeksi menular seksual dan HIV yang ditujukan pada populasi berisiko tinggi. Namun inisiatif ini ditentang oleh Wakil Ketua DPR RI. Ia mengatakan bahwa kampanye nasional tentang kontrasepsi bukanlah masalah yang mendesak. Ia juga menegaskan, kampanye ini akan melegitimasi seks pranikah di kalangan remaja, yang merupakan pelanggaran norma agama.
Menanggapi tekanan politik tersebut, Kemenkes merevisi posisinya dan menyatakan bahwa program ini tidak akan menyediakan kondom bagi kaum muda, meski sebelumnya mereka telah mengidentifikasi kaum muda sebagai kelompok berisiko tinggi. Sebaliknya, Kemenkes mendorong para pemimpin agama, tokoh masyarakat sipil, dan penyedia pendidikan untuk melindungi kaum muda dengan memperkuat nilai-nilai agama mereka.
Kerangka legislatif dan peraturan yang berlaku di Indonesia yang mengatur tentang HKSR perempuan merupakan pelanggaran langsung terhadap kewajiban Indonesia di bawah berbagai perjanjian hak asasi manusia internasional yang telah ditandatangani dan diratifikasi. Hak atas kesetaraan gender adalah prinsip dasar hak asasi manusia. Menolak dan menghambat akses perempuan untuk mendapatkan kontrasepsi dan aborsi merupakan salah satu bentuk diskriminasi gender.
Dari uraian di atas, kita melihat bahwa adanya kontradiksi dan diskriminasi terhadap perempuan untuk mengakses layanan aborsi. Hal ini bahkan tidak mengindahkan nilai-nilai konstitusi yang menjamin hak dasar kesehatan perempuan.