“Perempuan, Hidup dan Kebebasan”
“Perempuan, Hidup dan Kebebasan”. Slogan tersebut berkumandang riuh di tengah ribuan orang yang berkumpul di makam Mahsa Amini, perempuan Kurdi yang tewas setelah ditangkap polisi moral akibat pemakaian jilbab yang tidak sesuai peraturan di Iran. Hari itu adalah peringatan 40 hari kematian Amini di penghujung bulan Oktober 2022, tepatnya 27 Oktober 2022. Sementara, keluarga Amini terus diintimidasi supaya tidak menggelar peringatan 40 hari kematiannya.
Kematian Amini memicu gelombang aksi protes di berbagai kota. Di sepanjang aksi – aksi protes, pengunjuk rasa meneriakkan slogan “Perempuan, Hidup dan Kebebasan” (Woman, Life, Freedom). Slogan ini mengejewantahkan amarah pengunjuk rasa kepada rejim yang sibuk merepresi perempuan dan abai mengeluarkan kebijakan yang lebih fundamental seperti perbaikan kesejahteraan rakyat, padahal satu dari tiga warga Iran hidup di bawah garis kemiskinan. Lebih jauh lagi, slogan tersebut berasal dari gerakan pembebasan perempuan Kurdish di Turki dan Syria yang mengalami penindasan berbasis etnik selama puluhan tahun.
Gelombang aksi protes ini bukan kali pertama, namun tewasnya Amini memanggil memori kolektif tentang ragam kekerasan bertubi yang secara terus menerus dilakukan oleh negara. Sejak pemerintahan Republik Islam berkuasa pada tahun 1979, tubuh perempuan menjadi sentral kebijakan yang konservatif.
Pengenaan hijab yang dipaksakan, diturunkannya usia pernikahan perempuan menjadi 13 tahun, pengekangan perempuan bekerja di ranah publik, hingga bentuk – bentuk pengekangan lainnya yang merendahkan martabat perempuan. Singkatnya, perempuan ditempatkan sebagai warga kelas dua yang tidak diakui perannya dalam masyarakat. Meski sejarah mencatat, perempuan Iran selalu menjadi bagian terdepan dalam setiap perjuangan rakyat Iran.
Dari berbagai foto dan video yang bertebaran di sosial media, kita bisa menyaksikan aksi persaudarian antar perempuan dan solidaritas berbagai kelompok masyarakat mulai dari kaum muda, guru dan buruh. Beberapa kelompok buruh di pusat perekonomian Iran, bahkan menyerukan pemogokan untuk mendukung gerakan “Perempuan, Hidup dan Kebebasan”, salah satunya adalah buruh Asalouye dan Abadan Petrokemikal.
Berbagai foto dan video yang tersebar juga mempertontonkan keberanian barisan kaum muda menghadapi brutalitas aparat keamanan. Mereka meneriakkan amarah sambil melepas hijab, mengayunkannya ke udara dan membakarnya. Bentuk protes lain yang juga marak adalah dengan memotong rambut di tengah massa aksi.
Pembakaran hijab di sini, kerap kali dinarasikan sebagai penghinaan terhadap agama. Namun dalam konteks Iran, pembakaran hijab merupakan simbol kemarahan terhadap penyalahgunaan agama sebagai alat merepresi perempuan. Selain itu, pembakaran hijab adalah simbol penolakan terhadap struktur sosial, politik dan hukum yang secara sistematis mereproduksi penindasan kapitalistik patriarkal dengan menggunakan kedok agama.
Hingga tulisan ini dibuat tidak ada catatan statik formal terkait korban yang berjatuhan dalam gelombang aksi massa di Iran sejak 16 September 2022, hari Mahsa Amini dibunuh. Namun, berdasarkan tulisan Elham Hoominfar di situs http://slingerscollective.net, diperkirakan setidaknya 200 orang tewas, 19 diantaranya adalah anak – anak. Brutalitas aparat keamanan Iran dipertontonkan pasca merebaknya ragam protes rakyat menyusul tewasnya Mahsa Amini.
Alhasil, gelombang perlawanan terus meluas sampai sekarang. Brutalitas rejim Iran bukan hal baru, setiap pergolakan rakyat selalu dijawab dengan pola serupa: kekerasan yang brutal.
Gerakan Perempuan Iran, Gerakan yang Tak Pernah Padam
Berbicara tentang hijab merupakan topik sentral dan sensitif bagi masyarakat Iran. Dari masa ke masa, perempuan Iran berhadapan dengan kekerasan berbasis gender dan praktek misogini yang terbilang panjang. Perempuan Iran tidak diam, rangkaian perlawanan terus menjalar meski diredam.
Dalam setiap gerak perubahan, perempuan Iran selalu di garis depan. Namun, sungguh ironi karena perempuan Iran menjadi lapisan pertama yang dipreteli hak – haknya. Revolusi 1979 yang mengantarkan Ayatollah Khomeini ke tampuk kekuasaan justru berbuah diskriminasi dan peminggiran kaum perempuan. Segera setelah berkuasa, Ayatollah Khomeini mendeklarasikan kewajiban beserta aturan pemakaian hijab, menekan perempuan supaya menutupi tubuh dan rambutnya.
Merespon kebijakan itu, gerakan perempuan Iran tidak diam, tepat pada hari perempuan, 8 Maret 1979, gerakan perempuan melakukan aksi massa, ribuan perempuan turun ke jalan melawan kebijakan politik yang meminggirkan perempuan. Saat itu slogan yang berkumandang adalah “Kami tidak melakukan revolusi untuk mundur ke belakang”; “Setara, Setara, Bukan Cadar, Bukan Hijab”. Demonstrasi ini kemudian dijawab dengan represifitas dan sayangnya mendapat dukungan minim dari kelompok sosial dan politik lainnya karena dianggap bisa memicu kontra revolusi. Singkat kata, bila mau jujur, sebenarnya tuntutan kaum perempuan Iran kala itu dinilai bukan prioritas.
Protes gerakan perempuan di penghujung revolusi 1979 tidak semata perkara hijab, namun lebih jauh lagi, tentang dipinggirkannya peran perempuan secara fundamental dalam seluruh aspek kehidupan. Para pemimpin Iran yang berkuasa kala itu berhasil meminggirkan perempuan, terlepas dari peran besar perempuan dalam sejarah pembebasan rakyat Iran.
Mulai dari dibatasinya hak perempuan dalam keluarga seperti hak bercerai dan pengasuhan anak. Dalam akta kelahiran misalnya, seorang anak harus mengikuti nama ayah dan nama ibu dihilangkan, seorang ibu kehilangan hak atas anak. Tak hanya itu, pernikahan anak dilegalkan dengan menurunkan usia pernikahan anak perempuan menjadi 13 tahun.
Kesempatan perempuan di lapangan pekerjaan, memilih tempat tinggal, kemampuan keluar rumah dan sebuah wilayah, semuanya harus dengan ijin suami. Sementara, poligami dilegalkan dan dipromosikan. Sebaliknya, perempuan yang dijumpai ‘dekat’ dengan lelaki selain suaminya, bisa dijatuhi hukuman mati.
Selama 40 dekade, kekerasan berbasis gender dilakukan negara melalui polisi moral yang secara reguler mengawasi ruang gerak perempuan, memastikan perempuan mengenakan hijab sesuai aturan dan melarang penggunaan kosmetik. Pedihnya, terdapat pasukan pengawas moral lainnya di setiap institusi pemerintah dan kampus baik swasta maupun negeri. Mereka tidak hanya mengatur busana perempuan, namun juga bagaimana lelaki dan perempuan harus bersikap sesuai peran gendernya.
Peminggiran kaum perempuan di Iran tidak hanya terjadi di masa Republik Islam Iran. Praktek peminggiran perempuan Iran merupakan hasil dari penindasan gender dan kebijakan misoginis yang berlangsung sejak lama. Sejak lama, segregasi gender telah diterapkan secara sistemik di semua area publik seperti sekolah, transportasi publik, universitas, tempat kerja dan tempat rekreasi. Bukan hal baru, bila perempuan bisa dipecat dari tempat kerja hanya karena caranya berpakaian, perilaku dan lifestyle nya. Perempuan bahkan dilarang mengambil jurusan tertentu di kampus dan hanya diperbolehkan bekerja di pekerjaan tertentu saja.
Ada sedikit kesempatan tersedia bagi perempuan untuk melanjutkan studi di beberapa jurusan di universitas yang membuat banyak perempuan Iran bisa mengakses perguruan tinggi sejak tahun 1980an. Meski demikian, tingginya latar belakang pendidikan tidak sejalan dengan akses di lapangan pekerjaan.
Pada tahun 1976 misalnya, angka literasi perempuan mencapai 35% sementara angkatan tenaga kerja perempuan hanya 12,9%. Pada 1986, hanya 8.2% angkatan kerja perempuan di Iran, meski angka literasi perempuan sudah mencapai 52.8%. Di tahun 2016, angka tenaga kerja perempuan meningkat menjadi 14,9%. Kini, angka literasi perempuan Iran mencapai 82.5% namun sekali lagi tidak bisa menjamin akses lapangan kerja yang lebih baik. Gambaran di atas hanya sedikit dari bentuk ketidakadilan gender yang terjadi di Iran yang menggerakkan perempuan Iran berlawan.
Apakah di masa sebelum revolusi 1979, nasib perempuan Iran lebih baik? jawabannya adalah tidak. Sejak awal, perempuan Iran sudah mengalami kekerasan berbasis gender dan diperlakukan sebagai warga negara kelas dua. Meski, perempuan terlibat dan mengambil banyak peran dalam perjuangan nasional untuk pemerintahan konstitusional selama kurun waktu 1905 – 1911.
Menurut Haidah Moghissi dalam bukunya berjudul Populism and Feminism in Iran, pandangan umum masyarakat Iran telah menempatkan peran gender perempuan dalam posisi marjinal. Salah satu contohnya adalah adanya pandangan bahwa bila perempuan berpendidikan sama saja melawan hukum Islam. Ada stigma yang melekat kuat pada perempuan dengan literasi tinggi, sehingga perempuan berpendidikan terpaksa menyembunyikan status pendidikannya supaya terhindar dari stigma.
Demikian halnya dengan pekerjaan di luar rumah atau di ranah publik, satu – satunya profesi yang diakui adalah prostitusi. Perempuan miskin dan janda dikelompokkan menjadi satu dengan profesi prostitut, dan diharuskan membayar pajak.
Perempuan Iran mengalami perlakuan diskriminasi yang berbeda berbasiskan kelasnya. Perlakuan pemisahan berbasiskan jenis kelamin di area publik dan privat lebih ketat terhadap perempuan kelas menengah ke atas. Mereka secara ketat dipersiapkan menjadi seorang ibu dan istri yang mengabdi di dalam rumah tangga. Sebaliknya, perempuan miskin dan buruh lebih punya kesempatan melawan.
Salah satunya adalah pemberontakan melawan kenaikan harga dan pajak di abad 19. Perempuan miskin dan perempuan dari kelas pekerja lebih punya kesempatan keluar rumah (publik) sehingga lebih besar kemungkinan terlibat dalam aksi protes sosial dan politik. Demikianlah, akses terhadap ruang publik bisa berpengaruh besar pada kemajuan dan partisipasi perempuan dalam gerak perubahan.
Salah satu tokoh perempuan Iran yang terkenal di abad 19 adalah Bibi Khanum. Dalam satu kesempatan, Bibi mengkritisi budaya patriarkal dalam sebuah pamflet berjudul “Moayeb -ul Raja” yang artinya “Pernyataan Bodoh”.
Dalam pamflet tersebut, Bibi mengkritisi pamflet sebelumya yang memuat tentang aturan bagi kaum perempuan dan hukuman bagi perempuan yang melanggar. Alih – alih mendorong perempuan maju di bidang pendidikan dan berkontribusi dalam kemajuan peradaban masyarakat, menurut Bibi, pamflet patriarkal itu justru mendorong perempuan untuk berjalan pelan, bersuara lembut dan tunduk. “Kami, kaum perempuan dipasung di dapur dan menjadi harem” Pungkas Bibi, lugas.
Kritik kerasnya itu membuat Bibi menjadi perempuan Iran pertama yang berani menggugat secara terbuka dominasi pandangan agama, dan keyakinan yang patriarkal. Perempuan lain yang tak kalah berani adalah Qurra-ul-Ain (1815 – 1851). Ia dikenal dengan aksinya melepas hijab saat berpidato di muka umum, mengkritik praktek poligami dan menuntut persamaan hak perempuan di Iran.
Gerak perempuan terus berlanjut hingga turut berpartisipasi dalam gerakan revolusi konstitusional (1905 – 1911). Keterlibatan perempuan dalam revolusi ini memunculkan harapan akan identitas politik perempuan yang baru, dimana perempuan memiliki perubahan posisi dalam masyarakat, menjadi lebih setara dan haknya diakui sebagai warga negara sebagaimana kaum lelaki.
Sayang, keberhasilan perjuangan konstitusional pemerintahan tidak sekaligus menyertakan agenda perempuan di dalamnya. Menyusul hasil ratifikasi konstitusi, kaum perempuan turun ke jalan mengenakan busana lelaki dan menuntut keterlibatan politik perempuan secara konstitusional. Pada tahun 1906, kaum perempuan turun ke jalan dan melepas hijab, menuntut pengakuan hak penuh sebagai warga negara.
Meski demikian, terdapat beberapa tokoh lelaki yang mendukung gerakan perempuan Iran. Beberapa diantaranya adalah Bahar, Mirzadeh Eshqi dan Iraj Mirza. Mereka berstatemen bahwa aksi lepas hijab yang dilakukan gerakan perempuan merupakan simbol emansipasi perempuan untuk lepas dari belenggu patriarki. Taqi Zadeh, salah satu anggota parlemen lelaki misalnya menyatakan aksi protes yang dilakukan perempuan Iran bukan untuk melawan parlemen, namun menuntut perlakuan yang sama dengan lelaki sebagai warga negara.
Revolusi konstitusional menstimulasi terbentuknya kesadaran gender di kalangan aktivis perempuan. Proses perjuangan nasional tersebut telah mentransformasi kesadaran mereka dalam meletakkan posisi mereka di dalam masyarakat Iran. Gerak kesadaran perempuan berubah dari kesadaran membebaskan negara menjadi kesadaran membebaskan diri mereka sebagai perempuan.
Di abad akhir abad 19, gerakan perempuan diawali dengan gerakan untuk roti, akibat naiknya harga tembakau. Aktivis perempuan yang terlibat di era ini diwarnai oleh perempuan kelas yang punya privilege (royal family), sebagaimana gerakan hak pilih perempuan di negeri barat.
Aktivitas politik dan intelektual feminisme Iran di masa ini dipengaruhi oleh gairah untuk modernisasi ekonomi, politik dan struktur sosial Iran. Basis modernisasi ini, tentu saja berupa sekularisasi norma dan nilai lama, serta sekularisasi insitusi sosial dan kehidupan politik. Meski intelektual Iran mengadopsi pencerahan gagasan barat, mereka menentang dominasi politik barat.
Bentuk perjuangan perempuan yang utama kala itu adalah melalui pendidikan dan agitasi dengan menerbitkan leaflet secara bawah tanah. Leaflet pertama yang diterbitkan berjudul Danesh (pengetahuan) dan Shekofeh (mekar) di tahun 1910 yang bicara tentang pentingnya pendidikan, sekolah bagi anak perempuan, daycare, hingga perjuangan kemerdekaan nasional.
Banyak juga aktivis perempuan yang mendirikan sekolah anak perempuan. Pada tahun 1910an aktivitas semacam itu dianggap berbahaya dan bisa dijatuhi hukuman penjara. Sediqeh Dowlatabadi misalnya, penerbit jurnal bulanan Zaban-e Zanan (Suara Perempuan) dipukuli dan dipenjara selama tiga bulan akibat mendirikan sekolah anak perempuan di Isfahan. Afaq Parsa, seorang pelopor hak perempuan dan penerbit majalah perempuan Jahan-e Zanan (Dunia Perempuan) pada tahun 1921 diasingkan ke Tehran, lalu ke Arak =, dari kota kudus Mashhad hingga akhirnya dinyatakan sebagai musuh Islam.
Para perempuan di atas adalah pejuang pembebasan perempuan melawan struktur sosial patriarkal yang dianggap subversif. Dari konteks sejarah ini, kita bisa memahami kebencian kelompok fundamentalisme terhadap feminisme di masa lalu dan berlanjut hingga sekarang.
Selain gerakan hak pilih perempuan di barat, revolusi bolshevik juga memberi pengaruh pada gerakan feminisme di Iran dan pembentukan negara modern di bawah Reza Khan di awal tahun 1920an. Proses radikalisasi yang terjadi memberikan ruang bagi perempuan untuk mendesakkan reformasi dan kebijakan lepas hijab, akses pendidikan dan peningkatan status perempuan dalam keluarga.
Di masa itu, terdapat dua dari tiga organisasi perempuan yaitu Liga Perempuan Patriotik, Perempuan Bangkit, dan Kabar Perempuan Sejahtera (the Patriotic Women’s League, Women’s Awakening, the Messenger of Women’s Prosperity). Dua organisasi terakhir berhaluan komunis dan berafiliasi dengan Partai Komunis Iran.
Dalam rentang 1910 – 1920, lebih dari 20 terbitan perempuan dipublikasikan dan mengkritisi posisi perempuan yang lemah di keluarga dan masyarakat. Dalam tuntutannya, mereka menuntut perubahan. Tahun 1920an, merupakan tahun gemilang gerakan perempuan, merepresentasikan kemajuan besar gerakan perempuan mengingat dua dekade sebelumnya perempuan masih dilarang keluar rumah dan dilarang berhubungan dengan pihak di luar keluarga.
Iklim politik yang menguntungkan (pengaruh revolusi Rusia) dan lemahnya pemerintah pusat Iran mendorong berkembangnya gerakan sosial dan dukungan yang memadai bagi demokratisasi Iran. Namun di sisi lain, gagasan revolusioner dan gerakan sosialis menjadi tantangan serius bagi kelas penguasa Iran dan kepentingan hegemonik imperialis Inggris.
Kudeta pada tahun 1921 yang dipimpin Sayyed Zia, seorang politisi yang didukung imperialis Inggris dan Reza Khan, seorang kolonel divisi Cossack, merupakan upaya mencegah disintegrasi bangsa dan counter attack terhadap pengaruh Bolshevik. Segera setelah kudeta, Reza Khan memposisikan dirinya sebagai Perdana Menteri dan seorang diktator penggerak modernisasi dengan gelar Reza Shah.
Naiknya Reza Shah di tampuk kekuasaan mengawali periode reformasi sosial ekonomi, pembangunan negara modern dan sekularisasi budaya yang kemudian berlanjut di pemerintahan anaknya Reza Pahlevi. Selama pemerintahan dua raja Shah ini, proses modernisasi telah membawa banyak pengaruh pada perempuan Iran. Di satu sisi, kebijakan modernisasi ini membuka akses pendidikan dan pekerjaan pada perempuan, di sisi lain menyingkirkan gerakan independen perempuan dalam memberikan kesadaran gender, membirokratiskan aktivitas gerakan perempuan untuk kesetaraan.
Kebijakan modernisasi dinasti Pahlevi membuahkan hasil yang kontradiktif bagi perempuan. Di satu sisi, kebijakan tersebut meningkatkan angka perempuan dalam mengakses pendidikan yang selama ini diperjuangkan gerakan perempuan. Di sisi lain, represi politik yang dilakukannya, membahayakan gerakan perempuan. Pada tahun 1930an semua organisasi perempuan direpresi, dan hampir semua pimpinannya ditahan. Pun, pelarangan pemakaian hijab di era Reza Pahlevi pada 1936, (perempuan dipaksa melepas hijab) menandakan obsesi serupa dengan kelompok fundamentalis yang mewajibkan perempuan berhijab, Keduanya terobsesi mengatur tubuh dan cara perempuan berbusana.
Pada tahun 1928, Reza Pahlevi memperkenalkan hukum pidana modern yang mengganti peran hakim ulama (religius) dengan pengacara modern. Hukum modern memutuskan usia pernikahan anak perempuan 15 tahun dan membolehkan perempuan mengajukan perceraian. Namun, tidak ada upaya dari rejim Reza Pahlevi terkait pendidikan gender untuk merubah posisi subordinat perempuan yang mengakar kuat dalam keluarga Iran. Fakta bahwa Shah sendiri melakukan praktek poligami (beristri tiga) menunjukkan komitmen yang rendah terhadap perjuangan kesetaraan perempuan.
Kemudian, di bawah kekuasaan Muhammad Reza Shah, antara tahun 1941 – 1953 terjadi ketidakstabilan sosial politik dan berujung pada kudeta terhadap perdana menteri Mossadegh yang diback up oleh CIA. Kebijakan Mossadegh menasionalisasi aset minyak menyulut kemarahan kerajaan Inggris dan dinasti Shah yang kemudian mendorong terjadinya kudeta. Selain krisis politik, di akhir tahun 1950an, Iran mengalami krisis ekonomi yang menjadikan kebijakan ekonomi kapitalistik sebagai obatnya.
Seiring dengan itu, pemerintah menelurkan reformasi sosial yang mengatur hak perempuan dalam keluarga. Sentralitas nilai sekuler dan islami dalam budaya Iran memotret kemurnian seksual, ketertundukan dan penyangkalan diri perempuan sebagai sosok feminim yang memastikan dominasi lelaki dan subordinasi perempuan. Proses reformasi sosial itu memunculkan perdebatan dimana gerakan perempuan menilai reformasi sosial yang dijalankan pemerintah tidak menyediakan syarat kemajuan perempuan, yaitu independensi ekonomi perempuan dari ekonomi.
Reformasi sosial lainnya melingkupi hak bercerai, hak asuh anak, dan poligami. Dalam prosesnya, gerakan perempuan banyak mencurahkan energi mengawal reformasi sosial ini. Namun, draft reformasi sosial yang disusun kelompok perempuan ditolak Majlis. Draft tersebut mengajukan pembatalan beberapa pasal yang mengkriminalkan perempuan.
Akhirnya, pada tahun 1967, Draft Perlindungan Keluarga disahkan, salah satu pasal diantaranya mengesahkan hak pengajuan cerai yang setara antara suami dan istri. Demikian halnya dengan hak asuh anak yang diputuskan oleh pengadilan, praktek poligami diperketat dengan menyertakan ijin istri pertama dan pengadilan. Namun, UU Perlindungan Keluarga memilih diam dengan adanya praktek perkawinan sementara untuk tujuan kesenangan.
Di sisi lain, suami masih punya kekuasaan besar mengatur pekerjaan yang pantas atau tidak pantas bagi perempuan, termasuk mengontrol ruang gerak perempuan bila hendak keluar rumah. Bahkan, lelaki dalam keluarga punya hak membunuh istri atau anggota keluarga perempuan yang dianggap berzinah. Terlepas dari masih terbatasnya ruang kesetaraan perempuan dalam UU Perlindungan Keluarga, UU ini memunculkan pertentangan kuat di kalangan ulama, termasuk Ayatollah Khomeini.
Solidaritas Global untuk Perempuan Iran
Kematian Mahsa Amini telah memanggil memori perlawanan perempuan Iran dari masa ke masa, mengingatkan pada martir yang tewas dalam kancah perjuangan melawan lapisan kekerasan berbasis kebencian pada perempuan.
Perlawanan ini sekaligus menjadi puncak kemarahan terhadap kekerasan berbasis gender dan kebijakan misoginis yang berlangsung selama puluhan tahun. Pun, akan semakin sanggup memantik revolusi bila berlanjut dan meluas secara konsisten dan terorganisir. Di sisi lain, sebagai salah satu negeri produsen minyak dunia, pantaslah gerakan Iran mewaspadai intervensi dari luar yang punya kepentingan ekonomi politik terhadap akses minyak.
Karenanya, gerak perlawanan Iran saat ini tidak bisa berjalan sendirian. Dibutuhkan persaudarian dan solidaritas global dari ragam kelompok lintas negara. Hingga kini, gelombang solidaritas mengalir melalui ragam ekspresi, baik dengan aksi massa, sampai cukur rambut. Solidaritas global yang mengalir dari penjuru negeri harapannya sanggup mereproduksi energi perlawanan setiap lelah menyapa.
Panjang Umur Perlawanan!
Referensi
https://id.crimethinc.com/2022/09/28/revolt-in-iran-the-feminist-resurrection-and-the-beginning-of-the-end-for-the-regime
The main losers of 1979, the creators of the new revolution in Iran
https://www.jadaliyya.com/Details/44479
https://kurdistanhumanrights.org/en/iran-military-security-forces-kill-three-protesters-in-mahabad/
https://www.europe-solidaire.org/spip.php?article64245
https://tirto.id/perempuan-iran-dalam-dua-rezim-tak-sama-tapi-serupa-gwSn
https://tirto.id/revolusi-konstitusional-ketika-perempuan-iran-melawan-monarki-gwSh
https://tirto.id/kisah-protes-perempuan-iran-di-masa-lalu-karena-roti-tembakau-gwR1
https://tirto.id/perempuan-iran-warga-kelas-dua-direpresi-tapi-terus-melawan-gwRF
Moghissi, Haideh. 1994. Populism and Feminism in Iran Women’s Struggle in a Male – Defined Revolutionary Movement. London: Macmillan Press LTD
[…] Tulisan ini sebelumnya telah diterbitkan di https://mahardhika.org/gelombang-perlawanan-perempuan-iran-tentang-mereka-yang-menolak-redam/ […]