Namaku Lilis, aku pernah menjadi Pekerja Rumah Tangga dari tahun 1996 hingga tahun 2000an. Aku akan menceritakan pengalamanku ketika bekerja sebagai PRT.
Aku bekerja sebagai baby sitter (pengasuh anak) sekaligus mengurus rumah tangga di rumah majikan wilayah Cijantung, Jakarta Timur. Rumah majikan ku luas dan memiliki dua lantai. Dalam rumah ini dihuni oleh satu keluarga besar yang terdiri dari dua orang majikan, tiga orang anak dan dua orang adik ipar dari majikan.
Aktifitas rutin yang aku lakukan dimulai dengan membersihkan seluruh ruangan dari waktu subuh hingga pukul 6 pagi. Dilanjutkan dengan membersihkan mobil di garasi depan rumah dan menyiapkan segala keperluan anak-anak majikan untuk sekolah.
Pada waktu mencuci mobil tersebut banyak orang berlalu lalang di depan rumah dan aku sering menerima pelecehan secara verbal. Aku mengingat salah satu perkataan orang-orang seperti ini “neng jalan yuk sama abang? Daripada nyuci mobil mending juga sama abang” dan masih banyak kalimat-kalimat lain yang membuat ku merasa jengah dan terganggu.
Aku bekerja dari pagi hingga malam hari dan pekerjaan melelahkan tersebut tidak sebanding dengan hasil kerja yang aku dapatkan. Majikan ku begitu pelit bahkan untuk urusan makanan.
Bekerja sebagai PRT tentu saja tenaga sangat diperlukan dan tenaga itu diperoleh dari asupan makanan. Setiap hari untuk memperoleh sarapan aku harus bekerja terlebih dahulu. Selain itu, aku harus menunggu hingga semua majikan dan penghuni rumah selesai makan baru aku mendapat giliran dan itu berlaku juga untuk makan siang dan malam.
Jatah makan ku pun ditentukan oleh majikan dan aku tidak dapat menambah walau masih terasa lapar. Terkadang majikan ku juga memberi nasi sisa sore hari untuk sarapan pagi ku. Kondisi seperti itu aku alami setiap hari.
Tak jarang aku terbangun di pagi buta karena rasa lapar yang tak tertahankan. Aku pun sering mencuri roti di meja makan. Aku berjalan pelan-pelan agar tidak diketahui penghuni rumah, tentu saja itu untuk menghindari amarah dari majikan.
Sungguh miris dan sangat sedih. Di mana tenaga ku sebagai PRT dipergunakan namun tak mendapatkan perlakuan yang layak dari majikan.
Di rumah sebesar itu pun aku tidak diberikan kamar sendiri untuk tidur. Setiap malam aku harus menggelar kasur kecil dan membawa selimut di ruang tengah. Perasaan takut, cemas seringkali aku rasakan dan membuat tidurku tidak nyenyak.
Hal tersebut dikarenakan terdapat adik laki-laki dari majikan ku di rumah. Aku tidak akan tidur apabila semua majikan ku belum tidur. Suatu hari aku berkata kepada majikan jika ingin tidur di kamar dan akhirnya aku diberikan kamar bekas gudang.
Kamar tersebut sangat kecil bahkan hanya cukup untuk satu kasur kecil. Sebenarnya aku tidak merasa betah namun aku bertahan demi membantu perekonomian orang tua di kampung.
Tak berhenti sampai di situ, perlakuan menyakitkan dari majikan terus berlanjut. Banyaknya beban kerja dan asupan gizi yang kurang membuat tubuhku lemah. Aku pun jatuh sakit dan harus berobat.
Pada saat aku sakit, aku kira segala biaya pengobatan akan ditanggung oleh majikan. Sebaliknya, semua biaya pengobatan ku malah dipotong dari upah ku yang tidak seberapa.
Cerita tidak mengenakkan lainnya adalah pada saat aku mencuci pakaian bersama majikan perempuan. Aku disuruh untuk mencuci dengan air bekas cucian dari majikan ku.
Aku bertahan selama 4 tahun bekerja sebagai PRT di rumah ini dan memutuskan pindah kerja di daerah Cakung, Bekasi.
Majikan baru ku bisa dibilang cukup baik. Sekeluarga berisi 6 orang terdiri dari majikan laki-laki dan perempuan, tiga anak majikan dan satu menantu.
Majikan laki-laki hobinya bermain golf sedangkan majikan perempuan senang berjudi dan mengundang teman-temannya ketika tidak ada orang di rumah. Setiap hari aku bekerja melayani mereka untuk mempersiapkan makanan dan minuman.
Yang paling menyebalkan adalah pada saat majikan perempuan dan teman-temannya berjudi mereka akan minum-minum hingga mabuk. Pernah suatu hari aku disuruh untuk bergabung minum bersama mereka namun aku menolak.
Hal tersebut membuat mereka tidak senang dan aku dimarahi. Parahnya, kejadian itu tidak hanya sekali namun berulang, mereka mabuk, berjudi dan marah.
Pada majikan ini, aku diberikan kamar kecil seperti gudang dan ada anjing yang sering keluar masuk ke kamar. Dengan kondisi seperti itu, aku merasa tidak nyaman dan tidak dapat melaksanakan ibadah.
Banyaknya perlakuan yang tidak menyenangkan membuatku tidak betah. Aku pun memutuskan untuk kabur dari rumah majikan tersebut.
Tak berselang lama aku berpindah majikan yang baru berharap mendapatkan tempat kerja yang layak dan majikan yang lebih baik. Bertempat di daerah Pasar Induk Kramat Jati, majikan baruku seorang yang sangat kaya, rumahnya luas dan bagus. Namun ternyata hanya aku yang bekerja sebagai PRT di rumah sebesar ini.
Pekerjaan ku pun sangat berat, aku harus membersihkan seluruh isi rumah. Aku juga yang berbelanja ke pasar dan kemudian memasak untuk kebutuhan makan majikan setiap harinya.
Tidak sampai di situ, setelah semua pekerjaan beres aku tidak dapat beristirahat sebab aku juga dipekerjakan membantu di toko milik majikan.
Aku bekerja dari pukul 04.00 subuh dan dapat tidur pada pukul 11.30 malam setelah semua majikan tidur. Waktu istirahatku sungguh sangat sedikit, kurang lebih hanya 4-5 jam istirahat setiap harinya. Bahkan aku juga di upah sangat kecil, padahal banyak pekerjaan yang aku lakukan dan melelahkan setiap harinya.
Kejadian dan kondisi seperti ini ternyata tidak hanya aku yang mengalami. Beberapa temanku yang menjadi PRT juga mengalami hal yang serupa bahkan lebih parah.
Terkadang aku berpikir kenapa PRT seperti kami diperlakukan seperti budak yang tidak berharga, diberikan makanan sisa, tidur ditempat yang tidak layak dan dihina. Apakah karena kami diberi upah sehingga dianggap layak diperlakukan sesuka hati tanpa rasa iba? Bahkan di hina dan diperkenalkan dengan sebutan “ini babu kami”.
Padahal upah yang kami terima tidak cuma-cuma. Sebaliknya, tenaga, waktu dan keahlian yang kami keluarkan adalah bentuk kerja yang kami lakukan.
Yang menyakitkan adalah perlakuan dari majikan yang sering menyalahkan atas kesalahan yang tidak kami lakukan. Ketika anak majikan sakit, terjatuh atau lecet karena sesuatu yang disalahkan adalah PRT.
Kami dianggap tidak becus mengurus anak mereka. “Percuma saya memberikanmu gaji kalau kamu tidak becus bekerja” , kalimat-kalimat tersebut sudah seperti makanan yang tiap hari kami terima. Padahal, demi menjaga anak-anak para majikan kami rela meninggalkan anak kami di rumah!
Silih berganti majikan ternyata tidak membawa banyak harapan baik bagi ku. Terkadang terpikir oleh ku untuk beralih pekerjaan lain, namun apa daya keahlian dan pengalaman yang aku miliki adalah bekerja sebagai PRT.
Tahun berganti namun gambaran kisah seperti Lilis masih kerap ditemui hingga hari ini. Upah rendah, minimnya perlindungan, mendapat kekerasan, hingga jam kerja yang tak ada batasnya.
Meskipun demikian, semoga perjuangan kerja layak dan perlindungan sebagai PRT ada perubahan sehingga tidak ada lagi cerita buruk antara majikan dan PRT. Sebab PRT juga manusia yang layak memperoleh perlindungan, penghargaan dan kesejahteraan sebagai manusia pekerja. Tak beda dengan pekerja lainnya, PRT juga layak untuk mendapatkan upah dan perlakuan yang setara.
Penulis: Lilis
Editor: Nindya Utami