Masalah Kekerasan dan Pelecehan Berbasis Gender
Pada 1998, International Labour Organization (ILO) untuk pertama kalinya merilis laporan survei mengenai kekerasan dan pelecehan di tempat kerja. Laporan tersebut menunjukkan beberapa negara seperti Prancis, Argentina, Rumania, Kanada dan Inggris, sebagai negara dengan tingkat kekerasan dan pelecehan seksual tertinggi di tempat kerja. Survei yang dilakukan di 32 negara tersebut menandakan kasus kekerasan dan pelecehan seksual di tempat kerja menjadi persoalan serius yang terjadi di banyak negara.
Studi lain tentang kekerasan dan pelecehan perempuan di tempat kerja, juga pernah dirilis oleh Equal Employment Opportunity Commission (EEOC) pada 2016. Dalam laporannya, EEOC menemukan satu dari empat pekerja perempuan di Amerika Serikat (AS) pernah mengalami pelecehan seksual di tempat kerja. Pada 2015, EEOC juga melaporkan hampir sepertiga dari 90.000 keluhan yang diterima adalah keluhan pelecehan seksual di tempat kerja. Menurut lembaga tersebut, jumlah itu terlalu rendah untuk mencerminkan kenyataan. Mereka memperkirakan bahwa 75 persen dari semua kasus pelecehan di tempat kerja tidak dilaporkan .
Kasus pelecehan seksual tidak hanya menimpa pekerja perempuan. Pekerja laki-laki pun mengalami hal yang sama. Survei yang dilakukan Washington Post pada 2011 menunjukkan, satu dari sepuluh pekerja laki-laki di AS pernah dilecehan di tempat kerja . Keterbatasan perlindungan sosial dan kebijakan hukum mempersulit banyak negara untuk mencegah dan mengatasi kekerasan dan pelecehan berbasis gender di dunia kerja. Sementara kasus kekerasan berbasis gender di dunia kerja terus meningkat seiring dengan perkembangan rezim kerja fleksibel di berbagai negara.
Sejak 2015, berbagai kampanye anti kekerasan dan pelecehan berbasis gender di tempat kerja telah banyak disuarakan oleh berbagai serikat pekerja dan organisasi perempuan di tingkat internasional. Gerakan ini berhasil memberikan kredibilitas, visibilitas dan urgensi terhadap isu kekerasan berbasis gender di dunia kerja . Dasar itulah yang menjadi langkah tegas Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) melalui organisasi perburuhannya mengadopsi dua instrumen yang mengakui hak-hak pekerja agar bebas dari kekerasan dan pelecehan di dunia kerja. Adalah Konvensi ILO No 190 (KILO 190) dan Rekomendasi No 206 (R260) tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja yang dideklarasikan di Jenewa, Swiss, pada 21 Juni 2019. Konvensi ini merupakan Instrumen upaya untuk mengakhiri kekerasan dan pelecehan di tempat kerja. Sifatnya yang mengikat secara hukum memberi kepastian perlindungan semua pekerja dari segala bentuk kekerasan dan pelecehan di tempat kerja. Konvensi ini menegaskan bahwa kekerasan berbasis gender tidak akan ditolelir di dunia kerja karena melanggar hak asasi manusia, mengancam kesetaraan gender dan tidak sesuai dengan pekerjaan yang layak.
Konvensi ILO 190 dan Rekomendasi 206
Sebelum Konvensi ILO 190 dideklarasikan, definisi mengenai kekerasan dan pelecehan di dunia kerja beragam. Dalam KILO 190 definisi tersebut menjadi tunggal dan lebih komprehensif. Bahwa yang dimaksud dengan kekerasan dan pelecehan di dunia kerja adalah serangkaian perilaku dan praktik yang tidak ditolelir karena memiliki atau berpotensi menimbulkan bahaya secara fisik, psikologis, seksual, sosial dan ekonomi. Termasuk di dalamnya kekerasan dan pelecehan berbasis gender. Sementara yang dimaksud dengan kekerasan dan pelecehan berbasis gender ditujukan kepada orang karena jenis kelamin atau gender, atau mempengaruhi orang-orang dari jenis kelamin tertentu atau gender tertentu secara tidak proporsional, dan termasuk pelecehan seksual .
Dalam banyak kasus, kekerasan dan pelecehan lebih banyak dialami oleh perempuan. Status kewarganegaraan, orientasi seksual, identitas gender, usia, ras, etnis, agama, serta disabilitas, membuat perempuan lebih rentan terhadap kekerasan dan pelecehan seksual di dunia kerja. Oleh karenanya, dalam rekomendasinya, konvensi ini menetapkan standar minimum yang setara untuk semua pekerja. Tanpa terkecuali.
Kekerasan dalam rumah tangga yang sebagian besar dialami perempuan dijelaskan sangat berpengaruh pada kinerja, kesehatan dan keselamatan perempuan. Oleh karenanya ruang lingkup terjadinya kekerasan dan pelecehan dalam KILO 190, lebih luas. Bahwa kekerasan dan pelecehan dapat terjadi di dalam maupun di luar tempat kerja. Mulai dari rumah, selama perjalanan pergi dan pulang kerja, hingga di tempat kerja, serta ruang-ruang publik yang berkaitan dengan pekerjaan. Bahkan melampaui ruang fisik yang mencakup teknologi informasi dan komunikasi pada media daring .
Muncul pertanyaan, apakah KILO 190 hanya melindungi pekerja tetap? Tidak. KILO 190 berusaha melindungi seluruh pekerja tanpa memandang status hubungan kerjanya. Baik Pekerja magang, relawan, dalam pelatihan, pencari dan pelamar kerja, pekerja yang di PHK bahkan individu pemberi kerja. Lebih jauh, KILO 190 mencakup seluruh sektor pekerjaan. Baik sektor formal maupun informal, sektor publik maupun swasta dan di perkotaan maupun pedesaan .
Negara yang telah meratifikasi KILO 190
Sejak dideklarasikan hingga sekarang, tiga belas negara telah meratifikasi KILO 190 dan R206. Tujuh diantaranya telah memberlakukan KILO 190. Sisanya, masih menunggu hingga satu tahun setelah ratifikasi diajukan. Diantara tujuh negara tersebut, Uruguay yang terletak di benua Amerika Selatan, adalah negara pertama yang meratifikasi dan memberlakukan KILO 190, pada 12 Juni 2020.
Menurut Ana Aguilera, Anggota Sekretariat Gender, Kesetaraan dan Keragaman dari pusat serikat pekerja Uruguay, ratifikasi KILO 190 diuntungkan karena memiliki beberapa undang-undang yang berkaitan dengan KILO 190. Yaitu undang-undang No. 18561 tentang pencegahan dan hukuman pelecehan seksual di tempat kerja dan hubungan siswa-guru yang diundangkan pada 2009, dan UU No. 19580 tentang kekerasan berbasis gender, pada 2017. Kedua undang-undang tersebut merupakan hasil perjuangan bertahun-tahun beberapa serikat pekerja di Uruguay yang tergabung dalam PIT-CNT menuntut dan mendorong pemerintah dan parlemen untuk menyikapi persoalan kekerasan dan pelecehan seksual yang semakin meningkat di Uruguay. Selain itu, Uruguay adalah salah satu negara pertama dikawasan Amerika Latin yang mengakui kesetaraan gender melalui UU No. 10.783 yang terbit pada tahun 1946 . Kuatnya gerakan kampanye tentang kekerasan dan pelecehan di tempat kerja ini menjadi jalan bagaimana suara korban didengar.
Fiji yang terletak di selatan Samudera Pasifik, merupakan negara kedua setelah Uruguay yang memberlakukan KILO 190 dan R206. Pemberlakuannya berselang dua minggu setelah Uruguay, pada 25 Juni 2020. Sejak pertengahan 1980-an berbagai gerakan perempuan dan serikat pekerja di negara tersebut mulai mengkampanyekan isu penolakan terhadap kekerasan terhadap perempuan berbasis gender. Salah satunya adalah Fiji Women’s Rights Movement (FWRM), organisasi non-pemerintah yang mempromosikan feminisme, demokras, supremasi hukum, good governance dan hak asasi manusia. Dalam risetnya pada 2016, FWRM menemukan satu dari lima perempuan Fiji pernah dilecehkan secara seksual di tempat kerjanya . Berangkat dari temuan tersebut, FWRM melakukan kampanye dan membangun aliansi dengan serikat pekerja dan organisasi masyarakat sipil Fiji untuk membangun solidaritas serta melakukan advokasi berbasis data. Mereka mendesak pemerintah untuk meratifikasi KILO 190 untuk mengakhiri kekerasan dan pelecehan di tempat kerja.
Negara Uruguay dan Fiji menunjukkan bahwa pembangunan aliansi gerakan perempuan, serikat pekerja dan masyarakat sipil memberikan pengaruh kuat terhadap penyadaran isu kekerasan dan pelecehan ke semua lapisan masyarakat. Hasil temuan penelitian tentang kasus kekerasan di tempat kerja dijadikan landasan untuk membangun argumen yang kuat upaya mendesak pemerintah melakukan ratifikasi KILO 190. Sebagai tanggungjawab negara dalam memberikan ruang aman kepada pekerja. Terutama pekerja perempuan yang rentan terhadap diskriminasi di dunia kerja. Tentu saja penelitiannya menghadirkan suara-suara korban. Pada akhirnya Kekuatan Kolektif dan solidaritas menjadi kunci untuk mendorong perubahan mengakhiri kekerasan dan pelecehan berbasis gender di dunia kerja.
Bagaimana Dengan Indonesia?
Kasus kekerasan dan pelecehan di dunia kerja, juga banyak ditemukan di Indonesia. Pada 2017, Perempuan Mahardika melakukan penelitian tentang kekerasan dan pelecehan seksual yang dialami buruh perempuan di pabrik garmen Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung. Hasilnya, dari 773 responden, terdapat 437 buruh perempuan mengatakan pernah mengalami pelecehan seksual di tempat kerja. Dari 437 buruh perempuan tersebut, 358 diantaranya pernah mengalami pelecehan verbal (non fisik), dan 331 mengalami pelecehan seksual fisik. Sementara buruh perempuan yang mengalami kedua bentuk pelecehan (verbal dan fisik) sebanyak 252 orang. Dari pengakuan para buruh perempuan, pelaku pelecehan adalah orang-orang yang berada di lingkungan pabrik seperti mekanik, operator, pengawas dan petugas keamanan dan juru parkir hingga bos dan HRD. Pelaku lainnya seperti tukang ojek, staf gudang, buruh di perusahaan lain dan warga sekitar.
Studi lain dilakukan oleh LIPS, SPN, dan WRC yang dilaksanakan pada 2021 saat pandemi covid-19. Studi yang membandingkan tingkat kekerasan di wilayah industri lama dan baru ini dilakukan di dua belas pabrik yang tersebar di Sembilan kota dan kabupaten di lima propinsi. Dari 141 total responden, 86 persen memberikan keterangan mengenai pengalaman dan kesaksian terhadap kekerasan berbasis gender. Sebanyak 52 persen mengalami atau menyaksikan kekerasan fisik seperti ditendang, dijambak, dilempar, dan ditunjuk dengan jari. Kemudian 32 persen jenis kekerasan lainya berupa disentuh, dipeluk, diintip, ditepuk pantat dan lain sebagainya. Sebanyak 112 responden menyaksikan atau mengalami jenis kekerasan lisan. Jenis kekerasan lisan sebanyak 78 persen dalam bentuk diteriaki, dipanggil kasar, dihinakan hingga diancam. Dan sebanyak 9 persen mengalami atau menyaksikan kekerasan lisan dalam bentuk diajak kencan, dirayu, dikirim pesan bernada seksual melalui media sosial atau telepon. Sisanya menjawab kekerasan lainnya, dalam bentuk penghukuman: hukuman fisik seperti berbaris dan dijemur, penambahan target produksi atau jam kerja, menahan cuti melahirkan dan haid serta pemotongan upah.
Definisi kekerasan berbasis gender dalam KILO 190 tidak hanya soal kekerasan fisik dan psikoklogi, kekerasan lainnya berkaitan dengan ekonomi. Fakta kasus kekerasan secara ekonomi di representasikan oleh riset terbaru yang dilakukan oleh AJI dan PR2Media pada 2022. Riset yang melibatkan 405 jurnalis perempuan di 34 provinsi di Indonesia ini menemukan sebanyak 16,8 persen pernah mengalami diskriminasi gender dalam hal remunerasi yang mencakup upah pokok, bonus, dan tunjangan. Meskipun Indonesia telah meratifikasi Konvensi ILO tentang kesetaraan upah, pada praktiknya masih terjadi. Oleh karnanya KILO 190 menegaskan bahwa kasus diskriminasi upah tersebut sebagai kekerasan berbasis gender. Penelitian ini juga menemukan sebanyak 11,6 persen jurnalis perempuan tidak diberikan hak cuti melahirkan dan 67 persen tidak mendapatkan cuti haid . Kasus semacam ini banyak terjadi meskipun UU ketenagakerjaan telah mengaturnya. Dengan mengatakan pelanggaran-pelanggaran semacam ini sebagai kekerasan berbasis gender, KILO 190 menjadi legitimasi kuat untuk menegakkan aturan-aturan ketenagakerjaan di Indonesia untuk melindungi pekerja dari segala macam bentuk kekerasan berbasis gender. Termasuk yang berdampak pada ekonomi.
Situasi ekonomi dan KDRT juga memicu naiknya angka perceraian selama pandemi. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan pada 2021, kasus perceraian mencapai 447.743 kasus, meningkat 53,50 persen dibandingkan tahun 2020, sebanyak 291.677 kasus. Berdasarkan provinsi, kasus perceraian tertinggi pada 2021 berada di Jawa Barat, yakni sebanyak 98.088 kasus. Diikuti oleh Jawa Timur dan Jawa Tengah, masing-masing sebanyak 88.235 kasus dan 75.509 kasus . Ketiga wilayah tersebut merupakan wilayah terbesar Industri yang dihidupkan oleh keringat jutaan buruh. Artinya, kemungkinan terbesar perceraian dialami oleh keluarga buruh yang di-PHK atau mengalami pemotongan upah selama pandemi. Sejalan dengan hal tersebut, Komnas Perempuan mencatat, selama pandemi, peningkatan kasus KDRT cukup menarik perhatian. Dari 8.234 kasus yang didata Komnas Perempuan, sebanyak 6.480 kasus atau sekitar 78 persennya adalah KDRT . Padahal, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Pasal 15 menegaskan selain individu, perusahaan juga memiliki kewajiban untuk mencegah dan memberikan perlindungan serta pertolongan terhadap korban KDRT.
Pada dasarnya, Indonesia memiliki beberapa hukum nasional dan standar hukum internasional yang diakui dalam penanganan persoalan kekerasan dan pelecehan berkaitan dengan ketenagakerjaan. Misalnya, Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor SE.03/MEN/IV/2011 tentang Pedoman Pencegahan Pelecehan Seksual di Tempat Kerja. Sayangnya edaran ini hanya bersifat himbauan, sebatas panduan bagi pekerja, pemberi kerja, dan instansi yang bertanggung jawab pada bidang ketenagakerjaan. Pelaksanaannya juga tidak bersifat mengikat secara hukum, sehingga tidak ada ketentuan apapun apabila perusahaan tidak memberlakukan sesuai dengan pedoman tersebut.
Sejalan dengan hasil studi LIPS, SPN, dan WRC, dari 12 pabrik yang diteliti, hanya 7 pabrik yang memiliki PKB (Perjanjian Kerja Bersama), 5 pabrik menggunakan PP (Peraturan Perusahaan). Dari seluruh PKB, 5 pabrik tidak memiliki aturan khusus pelarangan kekerasan dan pelecehan di tempat kerja. Hanya 2 pabrik yang memiliki klausul tentang kekerasan dan pelecehan berbasis gender, namun ketentuannya masih merujuk pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang memaknai kekerasan berbasis gender hanya sebagai tindakan asusila yang melanggar norma agama dan kebiasaan, seperti perselingkuhan. Penelitian ini pun memperlihatkan bahwa peraturan pencegahan kekerasan berbasis gender memunculkan kembali ‘pasal kesalahan berat’ dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan No 13 tahun 2003. Padahal pasal tersebut merupakan pasal yang telah dicabut kekuatan hukumnya oleh Mahkamah Konstitusi pada 2005 atas permintaan serikat buruh tingkat nasional. Kekerasan berbasis gender mesti dimaknai sebagai relasi yang tidak setara yang digunakan untuk meneguhkan kekuasaan dan pelipatgandaan keuntungan dalam proses produksi. Sebagaimana temuan-temuan kasus kekerasan kerap dialami oleh buruh pada level terendah seperti operator dan perempuan, dan kasus kekerasan pun banyak terjadi ketika buruh dituntut memenuhi target produksi.
Tidak mudah bagi korban kekerasan dan pelecehan seksual untuk melaporkan kejadian yang menimpa dirinya, mengingat banyak resiko yang ditanggung. Secara psikologis muncul perasaan takut dan khawatir, rasa malu, merasa tidak aman dan nyaman ketika dihadapkan dengan situasi kerja dan pelaku ditempat kerja yang sama. Belum lagi sebagian masyarakat masih menormalisasi kejadian tersebut sehingga sering dianggap hal biasa dan bukan persoalan serius (bercanda), bahkan terkadang perempuan dianggap melebih-lebihkan persoalan. Selain itu, korban mengalami kesulitan mendapatkan informasi dan akses layanan agar persoalan dapat ditangani. Resiko lain ketika korban melakukan perlawanan, misal dengan melapor, privasi dan kerahasiaan korban sulit terjaga. Akibatnya, korban mengalami perundungan, ancaman, intimidasi, dan hilangnya pekerjaan.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) Pasal 11 Ayat (1) menghapus diskriminasi terhadap perempuan di lapangan pekerjaan guna menjamin hak-hak yang sama atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan. Lagi-lagi, posisi perempuan dalam ruang lingkup pekerjaan tetap mengalami kesenjangan yang berdampak pada ketidaksetaraan gender. Studi Perempuan Mahardika menunjukkan bahwa pelecehan seksual banyak dilakukan oleh mekanik sebesar 45,53% yang merupakan pekerja bagian lain dan ternyata sebesar 40,96% dilakukan oleh sesama pekerja operator (laki-laki) . Hasil riset AJI dan PR2Media juga menunjukkan bahwa pengurangan jumlah pekerja menjadikan perempuan sebagai target utama ‘dirumahkan”. Bahkan, ruang redaksi tidak memberikan akomodasi terhadap ide/saran dari jurnalis perempuan dalam pengambilan kebijakan terkait isu peliputan maupun kebijakan tentang perusahaan . Hal ini menunjukkan bahwa perempuan lebih sering mengalami kekerasan berbasis gender daripada laki-laki Penyalahgunaan kekuasaan atau kewenangan membuat relasi antara perempuan dan laki-laki menjadi semakin tidak berimbang. Di tempat kerja, kekerasan berbasis gender biasa terjadi oleh atasan dan bawahan, sesama rekan kerja, pekerja bagian lain atau pekerja lain dilingkungan tempat kerja.
Terbaru adalah Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang disahkan pada tanggal 12 April 2022. Undang-undang ini diharapkan dapat melindungi korban kekerasan seksual dan mendapatkan fasilitas penanganan yang maksimal. Problem yang masih terjadi adalah masyarakat masih hidup dalam budaya patriarki, sehingga perlu untuk terus melakukan perubahan budaya yang lebih berperspekif gender. Namun, melakukan penyadaran terhadap masyarakat membutuhkan upaya yang lebih keras melalui poin-poin dalam UU TPKS. Secara komprehensif, UU TPKS jaminan pemenuhan hak korban hingga keamanan dan pemulihannya. UU TPKS ini tentu saja membutuhkan sosialisasi, pengawasan dan pemantauan terhadap pelaksanaannya dilapangan dari tingkat atas hingga bawah.
Meski sejumlah peraturan perundang-undangan di atas mengatur mengenai pelecehan seksual, tetap saja belum memberikan perlindungan secara penuh terhadap korban. Sebagian besar kasus yang terjadi membuat korban belum mendapatkan keadilan dan pemulihan bahkan pelaku masih bebas dari jeratan hukum. Berbagai bentuk pelanggaran HAM dialami oleh perempuan di dunia kerja, seperti di tingkat perusahaan, masih belum menjadikan isu kekerasan dan pelecehan seksual termasuk kekerasan dan pelecehan berbasis gender menjadi prioritas dari standar Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Konvensi ILO No. 190 memberikan berbagai aspek dan dinamika masalah, serta menyediakan panduan spesifik untuk memungkinkan pemerintah, publik dan pengusaha sektor swasta dan pekerja untuk mengatasi kekerasan dan pelecehan di dunia kerja, termasuk pelecehan berbasis gender. Rekomendasi No. 260 memberikan penetapan seperangkat panduan standar minimum yang seragam dalam membatu pembentukan kebijakan dan praktik yang bertujuan mengakui hak, nilai dan martabat semua pekerja.
Indonesia adalah satu dari 387 negara yang mendukung lahirnya KILO 190 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja. Berpedoman dengan menekankan kewajiban negara untuk menghapus diskriminasi termasuk diskriminasi sistemik terhadap perempuan pekerja di tempat kerja, lebih baik lagi, jika Indonesia segera melakukan ratifikasi KILO 190. Seiring dengan sahnya UU TPKS yang sejalan dalam mengakhiri kekerasan seksual. Selain penegakan hukum, hal penting lain yang disebut dalam KILO 190 dan UU TPKS adalah disediakannya dukungan pemulihan yang berpihak pada korban. Hal ini tentu penting mengingat besarnya dampak fisik, ekonomi, dan psikologis yang dialami penyintas kekerasan dan pelecehan seksual.
KILO 190 menyuguhkan penanganan secara menyeluruh yang dapat dialami berbagai macam orang, bukan hanya pada perempuan saja, penyandang disabilitas, transgender, pekerja rumah tangga, pekerja migran, Anak Buah Kapal (ABK), yang juga banyak mengalami diskriminasi dan pelecehan. Konvensi ini juga memperjelas bahwa penanganan segala bentuk kekerasan dan pelecehan yang terjadi di dunia kerja tentu menjadi tanggung jawab bersama. Pengusaha tidak dapat menahan pekerja apabila tempat kerja merupakan hal yang membayakan keselamatan dan kesehatan bagi korban. Pekerja memiliki hak untuk keluar dari situasi yang membahayakan dan memperoleh dukungan bagi psikososial, ekonomi, hingga perlindungan agar terhindar dari diskriminasi dan intimidasi. Disamping itu, konvensi ini juga mewajibkan pengusaha bertanggung jawab secara penuh terhadap proses pemulihan pekerja apabila mengalami masalah kesehatan mental selama bekerja. Alih-alih mendiskriminasi dan intimidasi, namun memberikan dukungan perawatan, keamanan dan kenyamanan lingkungan kerja.
Di tengah minimnya atau banyaknya celah dari undang-undang yang telah ada, masih kurang melindungi pekerja dalam kekerasan dan pelecehan di dunia kerja. Inilah yang menjadikan pentingnya ratifikasi KILO 190 di Indonesia sebagai skema komprehensif perlindungan terhadap ketenagakerjaan dalam segala aspek. Meningkatkan kualitas dan kesejahteraan hidup pekerja serta perlindungan hak asasi perempuan.
[…] Artikel ini terbit pertama kali di Peremppuan Mahardhika. Baca artikel sumber. […]