Atasi Problem PHK Massal, Bukan Menunda Pencairan Jaminan

Sikap Perempuan Mahardhika Menolak Permenaker No. 2/2022

Sejak September 2021, BPJS Ketenagakerjaan telah menyampaikan bahwa terdapat peningkatan klaim pencairan dana jaminan yang dipengaruhi oleh melonjaknya jumlah pemutusan hubungan kerja dan kematian selama pandemi Covid 19. Pencairan jaminan yang dimaksud pada khususnya adalah JHT[1].

Selama ini pencairan uang JHT digunakan oleh buruh untuk menyambung hidup dalam masa mencari pekerjaan baru paska PHK, atau untuk membuka usaha kecil-kecilan ketika menyadari bahwa tak banyak peluang baginya untuk kembali bekerja “formal”. Di awal pandemi saja (Juli, 2020) diperkirakan 3,5 juta pekerja terkena pemutusan hubungan kerja[2]. Oleh karena itu, wajar jika kebijakan terbaru Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziah dalam Permenaker No. 2 tahun 2022 yang menunda pencairan JHT hingga pekerja tersebut berusia 56 tahun mendapatkan penolakan yang luas dari buruh. Kebijakan tersebut mencerabut bekal buruh untuk bertahan hidup paska PHK.

Solusi praktis yang ditawarkan oleh pemerintah melalui Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) sebagai ganti penundaan pencairan JHT adalah sikap abai terhadap fakta sulitnya seseorang memperoleh status kerja sebagai pegawai tetap dalam situasi ketenagakerjaan saat ini.

Pencairan JKP hanya untuk 6 bulan dengan rincian sebesar 45% dari upah untuk 3 bulan pertama dan 25% dari upah untuk 3 bulan kedua, dan hanya bagi mereka yang telah bekerja selama 1 tahun di tempat pekerjaan terakhir. Besaran yang tak akan cukup bagi seorang pekerja dengan tanggungan dan tak bisa didapat oleh mereka yang dalam status kerja harian, borongan, atau yang masa kontraknya disesuaikan seperti beberapa kasus buruh hamil yang masa kontraknya hanya 8 bulan sehingga tak ada kewajiban bagi pengusaha untuk memberikan cuti.

Lebih lanjut, alasan Kemenaker yang menyatakan bahwa penundaan JHT ini dimaksudkan untuk mengembalikan tujuan awal (nilai filosofis) yaitu agar dapat menjamin kehidupan buruh di hari tua, adalah omong kosong belaka. Tujuan tersebut tidak akan tercapai karena Pemerintah tidak memiliki skema perlindungan sosial yang melindungi hak-hak buruh.

Skema perlindungan sosial adalah seperangkat mekanisme untuk mengurangi kemiskinan, mempromosikan kesetaraan dan meningkatkan jaminan pendapatan seseorang agar tidak jatuh ke dalam lubang kemiskinan. Perlindungan sosial ini merupakan salah satu pilar dari keempat pilar untuk perwujudkan konsep kerja layak.

Berbagai riset dan analisa tentang kerentanan pekerja di masa Covid 19 telah banyak dilakukan, salah satunya oleh Organisasi Perburuhan Internasional (ILO)[3] yang menyatakan bahwa Covid 19 telah membawa dunia pada krisis yang belum pernah ada dan oleh karenanya dibutuhkan langkah strategis untuk melindungi masyarakat tidak hanya dari aspek kesehatan namun juga aspek pekerjaan dan pendapatan yang menjadi tumpuan kesejahteraan manusia.

Perempuan bekerja di sektor-sektor yang paling beresiko terdampak krisis Covid 19 seperti garmen dan tekstil, jasa (pariwisata dan perhotelan), makanan dan minuman, kesehatan dan fasilitas perawatan[4]. Mereka memiliki resiko lebih besar untuk terkena PHK, mengalami pengurangan jam kerja (dirumahkan) tanpa diupah dan menanggung sebagian besar kerja domestik serta perawatan orang sakit di rumah yang juga tak diupah.

Krisis Covid 19 juga menyebabkan melonjaknya persentase pekerja dengan relasi kerja yang informal. Meskipun sektor ekonomi informal mampu menunjukkan kontribusi pada penyediaan lapangan pekerjaan, pendapatan dan mata pencaharian namun hak-hak pekerja di sektor ini sangat minim mendapatkan perlindungan dasar yang biasanya didapatkan oleh pekerja di sektor ekonomi formal. Mereka lebih sulit mendapatkan akses ke layanan perawatan kesehatan karena formalitas status kerjanya, atau tidak mendapatkan penggantian pendapatan jika berhenti bekerja atau sakit. Salah satu persoalan yang menyebabkan pekerja di sektor ekonomi informal ini sulit mendapatkan perlindungan adalah karena hukum ketenagakerjaan belum mengakui mereka sebagai pekerja, seperti yang dialami oleh para pekerja rumah tangga dan buruh rumahan.

Langkah strategis yang diambil oleh Pemerintah Indonesia untuk menyikapi situasi darurat di atas bertolak belakang dengan kebutuhan untuk menyediakan perlindungan sosial bagi buruh.  Melalui UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Pemerintah memberikan kemudahan bagi pengusaha untuk mem-PHK buruh, mulai dari perampingan mekanisme untuk memproses PHK sehingga mudah bagi pengusaha namun sulit bagi buruh untuk memperjuangkan hak, hingga berkurangnya besaran uang pesangon yang bisa didapatkan ketika PHK terjadi.

Dari situasi di atas maka dapat terlihat dengan jelas bahwa Permenaker No. 2 Tahun 2022 dikeluarkan bukan dalam upaya untuk menyelenggarakan perlindungan sosial bagi buruh karena Pemerintah mengabaikan akar persoalan dari meningkatnya klaim pencairan JHT yaitu PHK massal.

Oleh karena itu, kami menuntut :

  1. Cabut Permenaker No. 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua
  2. Cabut UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
  3. Bahas dan Sahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT)
  4. Wujudkan Sistem Perlindungan Sosial untuk menjamin Hak-hak Buruh

[1] Diambil dari https://nasional.kontan.co.id/news/jumlah-phk-meningkat-akibat-covid-19-klaim-bpjs-ketenagakerjaan-melonjak?page=2 pada 18 Februari 2022

[2] Diambil dari https://money.kompas.com/read/2020/08/04/163900726/imbas-corona-lebih-dari-3-5-juta-pekerja-kena-phk-dan-dirumahkan?page=all pada 18 Februari 2022

[3] Diambil dari https://www.ilo.org/global/research/global-reports/world-social-security-report/2020-22/lang–en/index.htm pada 18 Februari 2022

[4] Diambil dari https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/—asia/—ro-bangkok/—ilo-jakarta/documents/publication/wcms_741476.pdf pada 18 Februari 2022

Perempuan Mahardhika

Comments

wave
5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
1 Comment
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Gacorteros
2 years ago

Bener banget apa yang kaka tuliskan di artikel ini. Masalah utamamnya adalah PHK masal, knp harus yang di ubah tentang pencairan jaminan?

Press ESC to close