Pada 30 Agustus 2022 Wakil Gubernur (Wagub) Jawa Barat Uu Ruzhanul Ulum memberikan pernyataan kontroversial. Ia mengusulkan solusi pencegahan HIV/AIDS adalah dengan cara berpoligami. Menurutnya menikah muda dan poligami akan menjauhkan diri dari perbuatan zina. Pernyataan tersebut dilontarkannya ketika menanggapi data dari Komisi Penanggulangan AIDS (KPA), bahwa dari 5.943 kasus positif HIV di Bandung, Jawa Barat, selama periode 1991-2021, 11 persennya adalah ibu rumah rangga (IRT) dan 6,9 persen adalah mahasiswa.
Sebagai pejabat negara tentu saja Uu tidak memberikan edukasi terhadap masyarakat. Sebaliknya, malah memperkuat stigmatisasi terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHA). ODHA dipandang negatif dan disalahkan ketika kasusnya makin tinggi. Parahnya, ODHA disudutkan sebagai penyebar penyakit kepada suami padahal suami lah yang berperilaku buruk dengan berhubungan seksual tidak aman.
Dalam konteks inipun, suami yang sebaiknya diberi tindakan secara tegas. Bukan melegalkan perilaku dan mengesampingkan perempuan yang menjadi korban utama. Selain suami melakukan pelanggaran komitmen dalam hubungan, ia juga menjadi penyebar penyakit terhadap istri.
Melegalkan suami untuk berpoligami sama saja memberikan peluang terjadinya kekerasan terhadap istri. Selain itu, perempuan didiskriminasikan dan dianggap sebagai objek yang layak diperlakukan semena-mena. Perempuan tidak dihargai dan tidak diberi kebebasan atas hak hidupnya sendiri.
Ayu Oktariani selaku Koordinator Nasional Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) mengkritisi pernyataan tersebut. Dikutip dari kompas.com, ia mengungkapkan bahwa pernikahan baik monogami ataupun poligami tidak bisa menyelesaikan persoalan HIV, apalagi sebagai solusi pencegahan HIV/AIDS. Lebih luas, poligami dan pernikahan di usia muda malah akan menjadi pintu gerbang pada kasus kekerasan pada perempuan.
Pada 2018 dokumentasi Komnas Perempuan menunjukkan bahwa dalam konteks poligami, kekerasan dalam rumah tangga sering terjadi, baik tercatat maupun tidak. Pada 2020 Badan Peradilan Agama (Badilag) mencatat sekurangnya 759 kasus perceraian dengan alasan percekcokan terus menerus pada pasangan poligami. Data tersebut secara jelas menunjukkan bahwa poligami bukan menjadi solusi dalam pernikahan. Sebaliknya, menghilangkan hak perempuan dan menjebak perempuan dalam ranah kekerasan.
Fakta lain menunjukkan minimnya pemahaman seorang pejabat negara terhadap isu gender. Hak perempuan dikesampingkan dan didiskriminasi. Perempuan dianggap sebagai penyebab dari persoalan dan tidak diperhatikan. Pada kasus ini penyebaran dianggap hanya berdasar pada aktifitas seksual saja dan perempuan dipersalahkan karena suami yang “jajan”. Posisi perempuan sebagai korban tidak dilindungi sehingga membuat persepsi normalisasi perilaku suami.
Pernyataan Uu tentang poligami sebagai solusi masalah HIV/AIDS tersebut menunjukkan sejauh mana pemahaman kesetaraan gender di jajaran pejabat negara dibicarakan. Padahal ketimbang menyatakan hal poligami adalah solusi HIV/AIDS, selemah-lemahnya pemahaman bisa saja Uu menyatakan “kurangnya sosialisasi” tentang kasus HIV/AIDS tanpa harus mengatakan poligami sebagai solusi sekalipun dirinya adalah pendukung poligami. Sebab pernyataan pejabat negara terlebih tokoh public memiliki pengaruh yang besar terhadap masyarakat.