Sudah 18 tahun dalang di balik kasus pembunuhan aktivis pembela Hak Asasi Manusia (HAM) Munir Said Thalib tak kunjung mendapat titik terang. Munir yang saat itu dalam penerbangan dari Jakarta ke Amsterdam untuk melanjutkan studi S2, justru diracun dengan Arsenik. Munir dinyatakan gugur pada 7 September 2004 di usia 39 tahun.
Untuk mengusut kasus ini, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengeluarkan Perpres Presiden (Perpres) No. 111 tahun 2004 tentang Pembentukan Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Pembunuhan Munir pada 23 November 2004. Tetapi, hasil penyelidikan tim tersebut tidak pernah diterbitkan ke publik. Kemudian, hanya menjerat aktor lapangan atau eksekutornya, yaitu pilot (Alm) Pollycarpus dan mantan Direktur Utama Garuda Indonesia, Indra Setiawan.
Diterbitkannya Keppres serta diseretnya Pollycarpus dan Indra Setiawan ke meja pengadilan, belum dapat menjadi indikator bahwa pemerintahan SBY hingga Joko Widodo berkomitmen dalam menyelesaikan kasus tersebut. Sejak awal, kasus ini hanya diproses sebagai pidana pembunuhan biasa. Artinya, terhitung sejak sehari setelah pembunuhan Munir, tepat pada Kamis (8/9/2022) besok, kasus pembunuhan Munir akan dianggap kedaluwarsa.
Hal ini tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 78 ayat (1), dimana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup tidak dapat dilakukan upaya penuntutan pidana sesudah 18 tahun.
Terlebih lagi, Komnas HAM belum menetapkan kasus pembunuhan berencana yang menimpa Munir sebagai pelanggaran HAM berat. Maka, skema kedaluwarsa dalam kasus ini masih akan terus berlaku.
Kasus pembunuhan Munir sudah sepantasnya ditetapkan sebagai pelanggaran HAM berat, mengingat unsur-unsur pelanggaran HAM berat sebagaimana diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM telah terpenuhi. Pada Pasal 7, disebutkan bahwa salah satu bentuk pelanggaran HAM yang berat adalah kejahatan terhadap kemanusiaan. Lalu pada Pasal 9 juga disebutkan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan yang termasuk dalam pelanggaran HAM berat merupakan sebuah serangan yang dilakukan secara sistemik, ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, salah satunya berupa pembunuhan.
Fakta bahwa lembaga negara, dalam hal ini Badan Intelijen Negara (BIN) ikut terlibat dalam merencanakan dan melaksanakan pembunuhan Munir, telah memenuhi unsur “serangan” sebagaimana dimaksud penjelasan Pasal 9 UU Pengadilan HAM.
Maka dari itu, perlu untuk mendesak Komnas HAM agar menetapkan kasus pembunuhan Munir menjadi kasus pelanggaran HAM berat. Selain itu, campur tangan presiden untuk segera mengungkap aktor intelektual di balik kasus pembunuhan Munir juga sangat diperlukan. Mengingat janji Jokowi pada 2016 untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu masih belum dibuktikan.
Yang terjadi hari ini adalah presiden telah abai terhadap kasus kematian Munir. Bahkan, dokumen hasil penyelidikan TPF Munir yang diserahkan ke Kementerian Sekretariat Negara, baru diketahui hilang pada Februari 2016.
Selama 18 tahun, kasus pembunuhan Munir terbengkalai. Dalang pembunuh Munir masih berkeliaran bebas tanpa jerat hukum. Hal ini menandakan negara telah gagal membawa pelaku pelanggaran HAM untuk diadili. Hukum tidak lagi berdaulat dan praktik impunitas tumbuh subur di negara ini.
Secara jelas, impunitas telah ditentang oleh Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dalam dokumen tentang Prinsip untuk Perlindungan dan Penggalakan Hak Asasi Manusia yang telah diubah Melalui Tindakan Memerangi Impunitas pada 8 Februari 2005, prinsip pertama mengatakan bahwa:
“Impunitas muncul dari kegagalan negara untuk memenuhi kewajibannya, untuk mengusut pelanggaran; untuk mengambil langkah-langkah yang tepat sehubungan dengan para pelaku, terutama dalam bidang hukum, dengan memastikan bahwa mereka yang bertanggung jawab atas pidana dituntut, diadili, dan dihukum sebagaimana mestinya; untuk memberikan pemulihan yang efektif kepada para korban dan untuk memastikan bahwa mereka menerima pemulihan atas luka yang diderita; untuk memastikan hak yang tidak dapat dicabut untuk mengetahui kebenaran tentang pelanggaran; dan untuk mengambil langkah lain yang mencegah terulangnya pelanggaran.”
Keengganan negara dalam mengusut kasus pembunuhan Munir, mengindikasikan bahwa negara mencoba merusak ingatan orang-orang tentang tragedi kemanusiaan yang pernah terjadi. Sebab, Munir saat itu vokal dalam memperjuangkan keadilan bagi korban Tanjung Priok 1984, pembunuhan Marsinah yang merupakan aktivis buruh perempuan, serta kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi sepanjang tahun 1997-1998.
Maka dari itu, melupakan kematian Munir, korban tragedi Tanjung Priok, Marsinah, dan para aktivis yang telah gugur yang tak pernah diusut tuntas oleh negara, sama saja dengan melanggengkan negara untuk menang dalam meninabobokan ingatan masyarakat.
Penulis
Vamellia
[…] Baca juga: Tahun Terakhir Kasus Munir […]