Solidaritas Pelajar dan Mahasiswa Papua Tengah menggelar aksi mimbar bebas di depan Karang Pasar pada Kamis, 11 September 2025. Dalam orasi yang disampaikan, mereka menegaskan bahwa masuknya 53 investasi di wilayah Meepago adalah ancaman besar yang menghancurkan kehidupan alam sekaligus manusia Papua.
Para peserta aksi mengingatkan, pengalaman buruk sudah terjadi sejak masuknya PT Freeport di Timika. Gunung Nemangkawi dihancurkan rata, sungai-sungai tercemar limbah, tanah menjadi tandus, pepohonan habis dibabat, dan habitat sungai maupun pegunungan terancam punah.
Masyarakat Meepago kini berhadapan dengan ancaman serupa. Masuknya investasi akan memusnahkan habitat, menghancurkan sumber daya alam untuk eksploitasi, serta menggusur ruang hidup masyarakat adat. Dampaknya berlapis: kehilangan mata pencaharian, hancurnya tempat keramat, hilangnya hutan, punahnya satwa, tanah yang tandus, serta ketergantungan pada pemilik alat produksi yang membuat rakyat semakin dimiskinkan. Alam dirusak demi memperkaya segelintir elit lokal dan penguasa pemodal. Akibatnya, kesehatan masyarakat terganggu, kehidupan terjerat kemiskinan, masyarakat Papua disiksa, disakiti bahkan dibunuh di atas tanah adat mereka sendiri yang dihancurkan.
Kini, lima puluh tiga (53) izin perusahaan telah masuk untuk beroperasi di Meepago. Perusahaan-perusahaan itu memperkaya pejabat lokal dan elit Jakarta, sementara masyarakat adat hanya dijadikan objek. Investasi dipromosikan dengan dalih lapangan kerja, tetapi sejatinya membuat masyarakat adat menjadi buruh bagi tuan pemilik modal. Akhirnya, mereka menjadi korban berlapis: tanah adat dirampas, hak hidup dipinggirkan, sementara pejabat lokal menjadi aktor yang meloloskan agenda Jakarta, tahu, tapi berpura-pura tuli dan buta atas dampak nyata yang menghancurkan Meepago.
Dalam aksi mimbar bebas ini seorang mama bersuara lantang. Ia mengingatkan dasar hukum negara Indonesia: Pancasila, dengan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa dan sila kedua Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. “Kami mama-mama dan orang Papua tahu itu. Tapi hari ini polisi dan tentara justru menjadi pelaku utama: membunuh orang Papua, menginjak, memperkosa, mengintimidasi, dan memaksa orang Papua untuk diam menghadapi ketertindasan,” tegasnya.
Lebih jauh, mama itu menegaskan bahwa orang Papua menjunjung tinggi Ketuhanan Yang Maha Esa, sebab Tuhanlah yang menempatkan orang Papua hidup dan mewarisi tanah Eden untuk dijaga serta dilindungi. Begitu pula dengan kemanusiaan yang adil dan beradab, bagi orang Papua berarti saling mengasihi, menjaga, memberdayakan, dan melindungi sesama manusia. Namun, kenyataannya hari ini, TNI dan Polri justru menjadi aktor pembunuh rakyat, pelaku pelanggaran dilindungi, dan ruang demokrasi dibungkam dengan kekuatan militer.
Kekerasan negara itu juga tampak nyata pada penahanan empat tahanan politik (Tapol) NFRPB yang kini dipindahkan secara paksa ke Makassar.
Pemindahan itu adalah bentuk pembungkaman ruang berekspresi. Keluarga dipaksa tunduk, masyarakat dirampas haknya untuk mendapatkan keadilan di Sorong, dan hukum dijalankan dengan cara yang tidak adil.
Karena itu, dalam aksi mimbar bebas ini, mama tersebut menutup orasinya dengan seruan:
“Segera bebaskan dan pulangkan empat Tapol ke tanah air Sorong, Papua!”