Acara Riung Pagawe bertajuk 18 Tahun Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) diadakan oleh Organisasi Perempuan Mahardhika Sukabumi di Cicurug pada 25 September 2022 lalu. Acara ini dihadiri 100 orang buruh perempuan yang sebagian besar bekerja di sektor garmen.
Lilis, sebagai koordinator acara Riung Pagawe menjelaskan bahwa latar belakang pemilihan tema merefleksikan 18 Tahun UU PKDRT dipilih berdasarkan obrolan rutin bersama buruh garmen perempuan yang juga ikut menyelenggarakan acara.
“Acara ini tidak bisa dilepaskan dari pengalaman-pengalaman yang disampaikan oleh buruh perempuan yang ternyata secara sadar dan tidak sadar mengalami KDRT, ada yang saat mengobrol baru dalam tahap identifikasi mengenal pengalaman yang dialami atau sudah tahu tapi tidak tahu harus bagaimana,” ucapnya.
Ia juga menyampaikan harapan dengan diselenggarakan acara ini dapat menekan angka kekerasan yang terjadi pada perempuan terutama buruh di daerah Sukabumi. Utamanya, untuk memberikan penguatan agar perempuan bisa berdaya untuk melapor KDRT yang diterima. Acara ini juga memperkenalkan organisasi Perempuan Mahardhika Sukabumi yang akan segera dilaunching secara resmi pertengahan Oktober mendatang.
18 tahun berselang, kasus KDRT, dalam hal ini adalah Kekerasan Terhadap Istri (KTI) menempati posisi tertinggi. Misalnya rentang 2016 – 2020, dari 36.356 kasus KDRT, lebih dari 70% adalah kasus KTI.
Siti Aminah Tardi, Komisioner Komnas Perempuan menjelaskan pembakuan peran gender terhadap perempuan menjadi salah satu sumber normalisasi terhadap pekerjaan berlebih yang dikerjakan perempuan. Perempuan diberikan tanggung jawab untuk mengerjakan pekerjaan domestik seperti membersihkan rumah, masak, belum lagi pengasuhan dan pendidikan anak, perawatan lansia atau disabilitas. Ditambah lagi beban perempuan yang harus bekerja.
“Ketika harapan itu tidak mampu dikerjakan perempuan, maka timbullah kekerasan dari suami, bahkan dari mertua. Maka pembagian peran dan menyadari bahwa pekerjaan rumah tangga adalah tanggung jawab bersama itu penting,” ujarnya.
Siti menjelaskan, ia kerap mendengar cerita mengenai perempuan yang mengalami kekerasan fisik akibat suami yang memiliki masalah di pekerjaannya. Kejadian ini diakibatkan karena ada anggapan bahwa perempuan harus menjadi “penyenang” suami, pengelola rumah tangga, pengurus persoalan domestik, sementara suami adalah pencari nafkah utama. Ia juga menegaskan bahwa KDRT merupakan bagian dari Kekerasan berbasis Gender yang berupa peminggiran perempuan, subordinasi, kekerasan, dan labelling.
KDRT mewujud kekerasan fisik, psikis, seksual, dan ekonomi. Bentuk nyata kekerasan ekonomi adalah kontrol terhadap penggunaan uang. “Misalnya yang sering itu ATM dipegang suami, lalu dibatasi dan diatur semua sama suami penggunaan uangnya, istri menjadi tidak berhak, atau HP istri diambil dan identitasnya dijadikan jaminan pinjol,” kata Siti.
Kemudian, Siti juga mencontohkan kekerasan psikis, yaitu isolasi sosial. Tidak jarang perempuan tidak diberikan akses untuk bergaul atau mengekspresikan diri dengan pembatasan berlebih mengenai cara berpakaian yang hanya berorientasi pada kesenangan suami, sehingga menyebabkan perempuan sering mempertanyakan dirinya karena merasa serba salah dan timbul perasaan tidak berharga. Sayangnya, Siti mengakui kelemahan UU PKDRT adalah bentuk indikator kekerasan psikis di dalam UU PKDRT masih sempit, yaitu kalau korban sudah tidak berdaya dan tidak mampu bekerja. Terakhir, kekerasan seksual, contohnya adalah perekaman konten intim yang akan menjadi alat bagi suami untuk mengontrol istri.
Untuk mencegah terjadinya KDRT, terdapat pola yang dilakukan oleh pelaku kekerasan, kata Siti, “yang saya temukan kebanyakan pelaku KDRT, telah melakukan kekerasan juga di dalam hubungan sebelumnya (hubungan pacaran), makannya jika partner kita sudah melakukan tindak kekerasan itu harus segera diselesaikan, jangan sampai terjebak di siklus kekerasan yang berulang.”
Sulitnya memutus kekerasan dalam hubungan personal salah satunya dikarenakan adanya siklus kekerasan yang terbagi menjadi empat fase. Fase ketegangan, fase kekerasan, fase penyesalan/bulan madu, dan fase stabil. Siklus ini juga membuat terjadinya pencabutan laporan di kepolisian.
Masalahnya, siklus kekerasan terus bereskalasi, “dari awalnya hanya memaki kemudian memukul.. akan sampai ke titik ekstrim paling parah itu kematian, kita perlu memahami siklus kekerasan ini dan menyadari bahwa korban dalam siklus kekerasan ini dalam titik yang tidak berdaya,” ucap Siti.
Stereotipe terhadap istri yang bertanggung jawab mengerjakan pekerjaan domestik dan menjaga anak juga turut mempengaruhi bagaimana polisi merespon KDRT. Perempuan yang masih bisa mengerjakan pekerjaan rumah dianggap mengalami kekerasan fisik yang ringan dan perempuan juga dibebankan dengan pertanyaan mengenai masa depan anak. Siti mencoba memperlihatkan bagaimana terdapat perbedaan dalam pola pikir laki-laki mengenai peran gender yang terpaksa dijalani perempuan.
Terakhir, Siti mengatakan perlu adanya penguatan kepada perempuan agar mengetahui haknya dan mengerti bagaimana mengakses perlindungan. Kemudian, peran dukungan lingkungan sekitar juga sangat mempengaruhi untuk mendukung pemulihan korban KDRT.
Dampak KDRT keadaan buruh perempuan saat bekerja
Banyak buruh perempuan yang tidak menyadari adanya aturan UU PKDRT karena tidak adanya akses terhadap pengetahuan akibat dari minimnya waktu senggang. Hal tersebut disampaikan oleh Ajeng Pangesti, Koordinator Departemen Organisasi Perempuan Mahardhika yang juga aktif mengadvokasi isu perburuhan di Sukabumi.
“Karena habis kerja capek, waktu senggang yang dipakai ya untuk mencari hiburan. Tapi, hiburan yang disuguhkan di televisi saja masih meneguhkan peran gender perempuan yang memperlihatkan bahwa sifat perempuan itu tidak berdaya dan lemah,” kata Ajeng.
Ajeng mengatakan, kondisi buruh di tempat kerja bisa berdampak karena adanya KDRT yang diterimanya seperti melamun dan berujung adanya kecelakaan kerja. Belum lagi akan berdampak pada psikologisnya yang ditandai dengan mengisolasi diri karena malu dan sering menangis di tempat kerja serta tidak ingin pulang ke rumah. Ketika buruh perempuan tidak dalam kondisi optimal di tempat kerja akibat KDRT, atasan juga akan melakukan kekerasan untuk menekan korban memenuhi target produksi.
Studi yang dilakukan Perempuan Mahardhika pada 2021 menemukan, kekerasan yang dilakukan oleh suami juga bisa terjadi di tempat kerja. Suami sering mendatangi tempat kerja korban dan melakukan penganiayaan langsung, dan bentuk kekerasan lainnya. Belum lagi, sering ada serangan digital dengan melakukan penyebaran informasi atau ancaman kepada rekan-rekan kerja korban. Bentuk lainnya adalah sabotase dan paksaan untuk berhenti bekerja kepada korban dengan menyekap korban di rumah, membiarkan korban melakukan kerja-kerja rumah tangga saat pagi hari atau melontarkan ucapan tentang ketidakpantasan istri bekerja.
Hal tersebut juga disampaikan Ajeng, suami merasa berhak untuk menentukan hak istri untuk bekerja. “Suami datang ke perusahaan untuk meminta istrinya dipecat karena istri yang harus lembur karena target kerja dan mengharuskan pulang malam dan diantar oleh ojek laki-laki. Tak heran, perempuan kerap berhenti bekerja karena mengalami KDRT” ungkap Ajeng.
Keengganan buruh perempuan untuk memproses kekerasan yang dialaminya adalah karena adanya kekhawatiran terhadap sistem kontrak yang mudah diputus dan ketidakhadiran buruh juga akan berdampak pada pemotongan upah yang tidak seberapa. Ajeng menjelaskan bahwa pabrik hanya melihat buruh perempuan sebagai objek yang harus memenuhi target produksi yang berat.
Perusahaan harus melihat keselamatan, kesehatan, dan kesejahteraan buruhnya dengan ikut melakukan upaya pencegahan, penanganan , perlindungan, dan penanggulangan dari kekerasan seperti pada pasal 15, UU PKDRT. Kata Ajeng, “tempat kerja itu harusnya punya cuti agar buruh perempuan bisa melapor tindakan KDRT, kan ini nantinya juga akan berdampak pada implementasi dari UU PKDRT.”
cover: Fill Ryabchikov/Minty/Adobe Stock