Tulisan ini membahas tentang bagaimana rantai pasok pada dua perkebunan kelapa sawit di Indonesia, yaitu PT Perkebunan Milano dan PT Mitra Aneka Rezeki. Perkebunan sawit tersebut merupakan dua dari 2.511 perusahaan yang menguasai ribuan hektar lahan sawit. Nyatanya, dua perusahaan tersebut menguasai rantai pasok industri sawit dari hulu sampai hilir.
PT Perkebunan Milano. Beralamat di Labuhan Batu selatan, hanyalah salah satu anak usaha dari Grup Wilmar yang beroperasi di Indonesia[¹]. Raksasa sawit Grup Wilmar berdiri pada 1991 dan berkantor pusat di Singapura. Perusahaan penghasil tandan buah segar ini memiliki 450 pabrik pengolahan buah sawit yang beroperasi di 34 negara di empat benua. Produknya tersebar di lebih dari 150 negara (Rusdy, 2018)². Grup Wilmar mempekerjakan sekitar 100 ribu buruh[3] yang tersebar di berbagai negara.
Selain bergerak di bidang perkebunan, Grup Wilmar mengolah dan memperdagangkan produk minyak sawit, lauric dan produsen biodiesel kelapa. Produknya menyumbang sekitar 43% untuk pasar global (Wilmar International, 2018). Beberapa produk minyak gorengnya diperdagangkan di Indonesia dengan merek Sania, Fortune, Siip dan Sovia. Tak hanya itu, Wilmar juga merupakan salah satu pemain pupuk terbesar di Indonesia, dengan kapasitas produksi 1,2 juta MT per tahun yang didedikasikan untuk pupuk majemuk nitrogen, fosfor dan kalium (NPK).
Wilmar International Ltd sendiri merupakan perusahaan kerjasama antara perusahaan perdagangan komoditas asal Amerika Serikat Archers Daniel Midland (ADM) dengan beberapa konglomerasi di Asia. ADM memiliki 16% saham. Sementara penanam saham terbesar, sekitar 44%, adalah keluarga Kuok Kong Hong, asal Malaysia (Wilmar International, 2018).
Pada 2007, Grup Wilmar menguasai sekitar 500.000 hektar lahan perkebunan. Hingga Desember 2020, lahan yang ditanami baru sekitar 232.053 hektar[4]. Sekitar 150.834 hektar atau 65% dari total lahan yang sudah ditanami tersebut berada di Indonesia. Artinya mereka masih memiliki cadangan lahan seluas 250.000 hektar yang siap ditanami. Selain itu, Grup Wilmar juga mengelola secara langsung 35.276 hektar[5] perkebunan sawit petani kecil dengan skema inti plasma.
Dengan modal super raksasa ini, seperti tercantum dalam laporan keuangan kuartal 1, 2022[6], Grup Wilmar meraup laba bersih sebesar Rp.97,976 miliar pada triwulan pertama tahun 2022. Keuntungannya naik 97,9% dibandingkan periode sebelumnya 2021 yang hanya Rp.49,066 miliar. Bandingkan keuntungan yang sebesar itu dengan cerita Magenta tentang upahnya yang sudah tiga tahun tak kunjung naik, dan tentang buruh yang sakit tapi memaksakan diri masuk kerja agar upahnya tidak dipotong.
Lebih telak lagi adalah isi laporan Amnesty International[7], November 2016, yang memaparkan kondisi kerja di perkebunan-perkebunan yang memasok sawit untuk Wilmar International Ltd. Laporan ini mengusut distribusi minyak kelapa sawit ke sembilan perusahaan Global yaitu: AFAMSA, ADM, Colgate-palmolive, Elevance, Kellog‟s, Nestle, Procter & Gamble, Reckitt Benckiser dan Unilever. Laporan ini menyimpulkan, Wilmar dan dua pemasoknya di PT Perkebunan Milano dan PT Daya Labuhan Indah (DLI) melakukan pelanggaran hak-hak perburuhan dan pelanggaran HAM.
Amnesty International menemukan bahwa semua perusahaan yang diselidiki mendapatkan keuntungan dari operasi bisnisnya dan berkontribusi terhadap pelanggaran berat terhadap tenaga kerja dalam rantai pasokan minyak sawit mereka. Salah satu temuan penting Amnesty Internasional dalam riset tersebut adalah adanya pekerja anak.
PT Mitra Aneka Rezeki (MAR). Jika Grup Wilmar merupakan perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA), PT Mitra Aneka Rezeki (MAR) adalah perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Asal modalnya dari dalam negeri. Meskipun soal modal berbeda, PT MAR merupakan pemain besar dari bisnis minyak sawit. PT MAR merupakan satu dari 11 anak perusahaan PT Pasifik Agro Sentosa[8] (PT PAS), sementara PT PAS sendiri adalah bagian dari unit usaha Artha Graha[9] Group yang didirikan oleh Tomy Winata.
Sebagai perusahaan yang bergerak di bidang agribisnis, khususnya sawit, PT PAS mengelola perkebunan serta mengolah tandan buah sawit menjadi minyak sawit mentah dan kernel. Perusahaan yang mempekerjakan 14.564 buruh[10] dengan total lahan garapan 108 ribu hektar[11] yang tersebar di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Sekitar 53,7 ribu hektar lahan telah ditanami sawit, 7,2 ribu hektar siap tanam dan sisanya 9,6 ribu hektar dipersiapkan untuk perluasan sawit di masa mendatang.
Selain di Kubu Raya, PT MAR juga beroperasi di Sumatera Selatan. Di Kubu Raya, PT MAR mengelola tiga kebun yaitu Ambawang Air Putih Estate (AAPE), Kampung Baru Estate (KBE) dan Air Sei Deras (ASDE). Ketiga kebun luasnya 14.500 hektar. Tandan buah segar yang dihasilkan oleh buruh di PT MAR akan dipasok ke PT PAS untuk diolah menjadi minyak sawit mentah. Kemudian, minyak mentah yang dihasilkan dipasok[12] beberapa perusahaan diantaranya Musim Mas Group, Wilmar Group, PT. Pasific Indopalm Industries, Sinar Mas Group, dan Permata Hijau Group.
Pada 2020, PT MAR ditetapkan sebagai Objek Vital Nasional oleh Menteri Perindustrian. Meskipun tidak seraksasa Wilmar, PT MAR adalah bagian dari rantai pasok Wilmar. Artinya, jika PT Perkebunan Milano WIP sanggup mengangkat buruh harian lepas menjadi buruh tetap, kenapa PT MAR tidak melakukan yang serupa?