Kelompok Marjinal Terhimpit Di Tengah Pandemi

Aliansi Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja

(JRMK, JALA PRT, FSBPI-KPBI, KSBSI, SPN, KSPN, Sindikasi, Sarbumusi,  Konde.co, Perempuan Mahardhika, YAPESDI, YLBHI, LBH Jakarta, TURC, Buruh Awak Kabin Garuda Indonesia, Keluarga Besar Waria Yogyakarta/ Kebaya, SAFETY)

 

Press Release Menyikapi Kondisi Penanganan Covid-19

“Kelompok Marjinal Terhimpit Di Tengah Pandemi”

 

Jakarta – Kelompok marjinal hidup semakin tidak  menentu di tengah pandemi Covid-19. Mereka adalah warga yang tinggal di perkampungan miskin, para pekerja/buruh terutama buruh pabrik dan termasuk informal seperti pedagang, pengamen, tukang pijat, Pekerja Rumah Tangga (PRT), sopir, pekerja rumahan, para penyandang disabilitas, waria, perempuan miskin. Kondisi dan situasi buruk yang tak menentu yang dialami oleh kelompok marjinal dan menjadi korban di tengah pandemi baik karena terpapar virus atau harus menjadi pendamping/care giver, kehilangan pekerjaan, kehilangan atau menurunnya penghasilan menimpa banyak sekali warga kelompok marjinal di seluruh Indonesia.

Aliansi stop Kekerasan dan Pelecehan Dunia Kerja bersama jaringan masyarakat sipil lainnya berkepentingan mengangkat apa yang terjadi pada kelompok marjinal di tengah pandemi Covid-19 yang semakin memburuk. Yang terjadi dalam kisah-kisah ini hanya sebagian kecil dari banyak kasus yang terjadi di kelompok-kelompok marjinal di Indonesia namun harus mendapat respon pemerintah segera untuk menghindari situasi yang semakin memburuk

Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK) di Jakarta melihat, kemiskinan kota telah membuat warga tak punya harapan hidup di tengah pandemi, pekerjaan yang tak pasti, jaminan kesejahteraan dan kesehatan yang tidak ada. Banyaknya warga yang meninggal karena sesak nafas dan kekurangan oksigen, mau ke rumah sakit tapi tak ada yang bisa merawat. Dengan oksigen terbatas yang saling dipinjamkan, warga miskin kota Jakarta kemudian bahu-membahu membawa oksigen untuk menyelamatkan warga lainnya, ada yang masih sakit tapi oksigennya harus dipinjamkan pada orang lain karena agar sama-sama mendapat oksigen, walau secara terbatas dan bergantian.

Di Penjaringan, Jakarta, dari bulan Juni-Juli 2021, ada sekitar 50 orang yang meninggal atau 2-3 orang perharinya, fasilitas kesehatan penuh, pergi ke rumah sakit dan Puskesmas tak ada tempat untuk perawatan.

Kondisi buruk juga dialami warga dari pekerja informal lain yang tak bisa berjualan karena sepinya pembeli, kondisi kerja yang tak menentu membuat mereka minim pekerjaan yang bisa mereka lakukan. Akibatnya sulit memenuhi kebutuhan ekonomi setiap bulannya. Mereka rata-rata tinggal di rumah petak sempit di Jabodetabek.

Kondisi ini juga menimpa para Pekerja Rumah Tangga (PRT) dan pekerja rumahan. Sebagai pekerja informal, JALA PRT dan Trade Union Right Center (TURC) mengumpulkan data dan mengadvokasi, para PRT dan pekerja rumahan tak bisa mengakses dana bantuan pemerintah. Tidak diakuinya sebagai pekerja formal membuat para pekerja informal di Indonesia tak bisa mengakses semua bantuan pemerintah. Para pekerja rumahan di Jakarta juga mengalami penurunan pendapatan, yaitu pendapatan hanya dibawah Rp. 1 juta/ bulan, ini disebabkan karena berkurangnya order atau diberhentikan dari pekerjaannya.

Kondisi ini juga dialami para waria sebagai pekerja informal yang tak tentu nasibnya. Keluarga Besar Waria Yogyakarta/ Kebaya mendata para waria meninggal di Jogjakarta dalam masa pandemi Covid-19. Mereka meninggal karena kemiskinan, kurangnya gizi dan sulit mengurus akses bantuan karena tak ada Kartu Tanda Penduduk/ KTP. Saat ini mereka hidup dari bantuan orang-orang di sekitar mereka. Sebelum pandemi, dalam sebulan rata-rata pendapatan mereka bisa mencapai Rp. 1 juta/bulan. Namun saat ini penghasilan harian mereka hanya bergantung pada aksi solidaritas karena beberapa diantaranya hanya berpendapatan paling tinggi sebesar 30.000 rupiah per hari untuk makan dan mengontrak rumah. Bantuan Langsung Tunaipun tak bisa mereka dapatkan. Rata-rata mereka bekerja sebagai pengamen jalanan, pekerja salon, pedagang, dll.

Selama pandemi, para pekerja informal selalu menerima kebijakan yang meninggalkan mereka. Himbauan untuk menyelesaikan persoalan kesehatan dengan berkonsultasi lewat internet/ teknologi tak bisa menyelesaikan persoalan pekerja informal, karena rata-rata mereka tak punya kemampuan dalam mengakses teknologi, serta adanya keterbatasan dana penggunaan internet/ handphone yang memadai.

Kondisi buruk juga dialami para pekerja disabilitas di masa pandemi yang bekerja sebagai penjual kerupuk keliling, pemijat, dll, mereka otomatis kehilangan mata pencaharian. Dengan kondisi seperti ini para pekerja informal ini jadi makin sulit hidupnya. Himbauan untuk melakukan isolasi mandiri jelas tidak bisa dilakukan kelompok disabilitas karena mereka tidak bisa melakukan sendiri pelaksanaan isolasi mandiri, banyak dari mereka yang  membutuhkan bantuan orang lain/ care giver. Sementara itu banyak obat-obatan yang tidak bisa dijangkau kelompok disabilitas dan Orang Dengan HIV/AIDS di masa pandemi karena tidak adanya obat-obatan/ terbatas, padahal untuk bertahan hidup mereka harus mengkonsumsi obat-obatan.

Himbuan tentang isolasi mandiri dengan hidup terpisah dalam kamar tidur dan kamar mandi secara terpisah juga tidak mungkin dilaksanakan, karena kelompok marjinal ini umumnya tinggal di rumah kontrakan hanya dengan 1 kamar tidur dan 1 kamar mandi. Sejumlah buruh hidup dalam kamar kost seringkali bersama teman lain dan harus menggunakan kamar mandi umum.

Para buruh pabrik mengalami kondisi buruk yang tak kalah miris, klaster pabrik adalah klaster dengan penularan yang sangat tinggi. Hingga hari ini banyak buruh yang meninggal dan dalam situasi PPKM buruh tetap diharapkan masuk untuk bekerja. Sejumlah perusahaan tidak mempunyai aturan yang jelas untuk buruhnya. Ditemukan  banyak trik dibalik PPKM dengan memberlakukan Work From Home (WFH) bagi sebagian buruh, namun dihitung cuti yang akan diganti pada hari tertentu, misalnya Sabtu yang otomatis berubah menjadi hari biasa tanpa lembur dan perhitungan tersebut tidak memiliki batasan hari/waktu. Akibatnya buruh kehilangan hak lembur dan atau cuti tahunan yang menjadi kerugian berlipat, secara materi maupun fisik. Ada juga beberapa perusahaan Brands yang melakukan rekayasa jam kerja, dengan memberlakukan jam kerja shift bahkan sampai  longshift, artinya buruh terpaksa bekerja 14 jam sehari, tentunya hal ini akan membuat buruh kelelahan dan secara otomatis akan menurunkan stamina buruh itu sendiri, meskipun keesokan harinya diberikan libur, tetap saja akan  semakin rentan dan sangat berpotensi terpapar virus Covid-19.

Kebijakan Kementerian Perhubungan menerbitkan perubahan surat edaran untuk memperketat perjalanan transportasi umum dan kendaraan pribadi pada masa PKPM di kawasan aglomerasi bagi pekerja adalah kebijakan buruk karena membatasi aktivitas bagi pekerja untuk bekerja yang setiap hari menggunakan transportasi umum, pada saat mereka tetap diwajibkan masuk kerja oleh perusahaan. Selain itu kewajiban tes yang harus dilakukan pada buruh di tempat kerja dan tempat umum juga tak mampu dilakukan buruh karena minimnya gaji yang mereka terima, termasuk wajib swab test yang notabene berbiaya tinggi pasca isolasi bila buruh terpapar covid-19 mayoritas menjadi tanggungjawab pribadi, bahkan ketika melakukan tugas organisasi dan perusahaan, test rapid antigen tetap menjadi konsekuensi yang dibebankan pada buruh itu sendiri,   sedangkan kondisi lainnya, jutaan buruh telah di PHK selama pandemi tanpa kejelasan pesangon, dirumahkan tanpa upah, sebagian besar lainnya diberlakukan pengurangan upah sebagai kompensasi beban bersama perusahaan.

Dari persoalan ini kita melihat kebijakan pemerintah soal pandemi Covid-19 yang dibuat tak berpihak pada kelompok marjinal. Pemerintah melakukan pembiaran pada warga agar menyelesaikan persoalannya sendiri. Pemerintah juga tidak punya kebijakan untuk mengatur soal dampak yang ditimbulkan warga, hal ini terlihat sejak pelaksanaan PSBB hingga PPKM dilakukan. Secara keseluruhan kebijakan ini terkesan sepihak tanpa mengantisipasi efek negatif yang ditimbulkan di banyak aspek lain, seperti pelayanan medis, imbas ketenagakerjaan, kesulitan tambahan pada sektor transportasi publik dan masih banyak lagi.

Selain itu, pemerintah juga tidak punya konsep penanggulangan kebencanaan, meremehkan dan tidak bisa mengukur dampak yang terjadi saat pandemi. Pembangunan yang lebih banyak dilaksanakan untuk infrastruktur, terbukti sudah meninggalkan kemanusiaan.

Di saat yang sama di masa-masa pandemi, pemerintah dan DPR bisa mengesahkan UU Cipta Kerja yang menguntungkan pemerintah dan pengusaha, sedangkan buruh selalu dibiarkan berdebat sendiri dalam kebijakan tersebut, berjuang sendiri dan menerima akibatkanya sendiri. Kini, buruh juga dibiarkan sendiri untuk sibuk bergotong-royong mengatasi persoalannya sendiri.

Atas kondisi ini, kami dari Aliansi Stop Kekerasan di Dunia Kerja menuntut:

  1. Pemerintah untuk meminta maaf atas situasi darurat yang terjadi di Indonesia.
  2. Memastikan setiap orang untuk bisa mengakses fasilitas kesehatan dan bebas dari segala bentuk diskriminasi dan kekerasan berbasis gender.
  3. Menjamin program vaknisasi bisa diakses oleh semua orang dan gratis.
  4. Dalam konteks perburuhan, menuntut pemerintah membentuk satgas perburuhan untuk merespon situasi COVID 19, jaminan perlindungan pengupahan bagi para buruh, menjamin kepastian kerja dan tidak ada PHK pada masa-masa ini
  5. Agar COVID-19 dijadikan bagian dari Penyakit Akibat Kerja (bukan hanya untuk tenaga medis) dan memiliki skema perlindungan medis menyeluruh di bawah BPJS.
  6. Menuntut menyertakan pekerja informal dalam pendataan warga yang mendapatkan bantuan pemerintah.
  7. Agar Bansos diberikan kepada rakyat miskin di mana mereka tinggal tanpa memandang alamat yang tertera di KTP, juga kepada semua pekerja yang terdampak baik yang bekerja di sektor formal maupun informal.
  8. Menyediakan fasilitas isolasi mandiri yang layak, ramah bagi penyandang disabilitas, perempuan, kelompok, gratis dan mudah diakses bagi rakyat miskin.

 

Bila tuntutan kami ini tidak dipenuhi maka kami akan mengajak seluruh elemen masyarakat sipil untuk mengirimkan Surat Terbuka kepada pemerintah dan melakukan upaya advokasi lain untuk mengutamakan pemenuhan hak-hak seluruh warga negara selama masa COVID 19 dan PPKM Darurat diberlakukan.

 

Jakarta, 19 Juli 2021

Aliansi Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja

Kontak narasumber:

  1. Eny Rohcahyati-JRMK (0838-7120-3594)
  2. Muliawati-JALA PRT (0818-0721-2766)
  3. Maria Ermeninta-KSBSI (0812-8072-243)
  4. Dian Septi -FSBPI/KPBI (0818-0409-5097)
  5. Sumiyati-SPN (0813-1783-7227)
  6. Nelson Nikodemus-LBH Jakarta (0813-9682-0400)
  7. Dewi Tjakrawinata-YAPESDI (0816-817-549)
  8. Ruly Malay-KEBAYA (0812-2945-5763)
  9. Vivi Widyawati-Perempuan Mahardhika (0815-8946-404)
  10. Indri Mahadiraka-TURC (0813-3749-8044)

Perempuan Mahardhika

Comments

wave
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
1 Comment
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
trackback

[…] virus korona, ancaman pemecatan dengan dalih PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat), pengurangan upah akibat rekayasa jam kerja; rumah tangga buruh pontang-panting dan […]

Press ESC to close