Perjuangan dalam merumuskan hingga mengesahkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) tidaklah singkat, setidaknya sejak 2010 hingga 2022 saat disahkan. Namun, perjuangan belum selesai.
Situasi darurat kekerasan seksual memaksa pemerintah untuk segera membuat payung hukum untuk melindungi korban, serta menindak tegas pelaku kekerasan seksual. Setidaknya, berdasarkan kajian Komnas Perempuan dari 2001 sampai 2011, 3 perempuan menjadi korban kekerasan seksual setiap 2 jamnya. Survei pengalaman hidup perempuan nasional pun menujukkan pada 2016, 1 dari 3 perempuan usia 15 sampai 64 tahun mengalami kekerasan fisik dan/atau kekerasan seksual oleh pasangan dan selain pasangan selama hidupnya. Selain itu, sekitar 1 dari 10 perempuan usia 15 sampai 64 tahun mengalaminya dalam 12 bulan terakhir.
UU TPKS telah disahkan oleh DPR-RI pada April 2022 lalu. Hal ini menjadi babak baru bagi masyarakat Indonesia dalam menegakkan keadilan bagi korban kekerasan seksual. Sebab, Indonesia sudah memiliki payung hukum yang jelas untuk menindak para pelaku kekerasan seksual melalui UU TPKS ini.
Kendati sudah enam bulan UU TPKS disahkan, kasus-kasus kekerasan seksual masih acap kali terjadi, bahkan mengalami banyak kendala ketika menempuh jalur hukum. Perempuan masih menjadi kelompok rentan terhadap kekerasan seksual. Pekerja perempuan yang menjadi korban, misalnya, banyak yang memilih untuk keluar dari tempat kerjanya karena pelaku merupakan atasannya.
Selain itu, banyak pula kasus-kasus kekerasan seksual yang menimpa kelompok disabilitas, namun sulit untuk menempuh jalur hukum. Aparat penegak hukum yang belum berperspektif korban pun turut menjadi tantangan tersendiri. Aturan turunan dari UU TPKS juga tak kunjung direalisasikan oleh pemerintah.
Banyak kasus kekerasan seksual yang menguap begitu saja dan tidak dapat ditempuh hukum karena kasus tidak dapat dibuktikan. Selain itu, mendampingi korban kekerasan seksual juga mendapat banyak kendala karena regulasi yang tidak mendukung, dari substansinya, hukum acara, serta dukungan masyarakat dan negara. Akses keadilan sangat terhambat, sementara pelaku kekerasan seksual tetap berkeliaran tanpa jeratan hukum.
Isu kekerasan seksual merupakan isu lintas sektor. Dalam hal ini, sosialisasi merupakan hal yang penting, baik yang melibatkan unsur masyarakat, pemerintah, maupun akademisi. Oleh karena itu, pencegahan hingga penanganan membutuhkan sinergi berbagai pihak.
Salah satu caranya adalah dengan membangun ruang dialog multi-stakeholder tentang upaya percepatan implementasi UU TPKS, baik melalui peraturan pelaksanaan turunan maupun ketentuan terkait lainnya. Masyarakat pun mesti dapat secara aktif berpartisipasi dalam pencegahan dan pemantauan dalam upaya pengawalan implementasi undang-undang tersebut.
Tak kalah penting, peran sektor swasta dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) juga dibutuhkan keterlibatannya, seperti mendorong pemerintah menerapkan kebijakan zero tolerance, pakta integritas, posko pengaduan, pendanaan kerja-kerja penghapusan kekerasan seksual, dan pemberdayaan ekonomi penyintas. Hal ini diungkapkan oleh Direktur Legal Resource Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) Nur Laila Hafidhoh dalam Seminar Nasional yang diselenggarakan Perempuan Mahardika bertajuk “Penguatan Partisipasi Publik dalam Mengawal Implementasi UU TPKS”.
Dalam Seminar Nasional yang diadakan pada 15 Juni 2022 di Jakarta itu, Nur Laila juga mengatakan sosialisasi UU TPKS harus segera dilakukan, karena itu salah satu tantangan bagi para pendamping korban kekerasan seksual. Selain itu, perlu diperkuatnya integrasi aparat penegak hukum dengan para pendamping agar dapat bekerjasama untuk penghapusan kekerasan seksual.
“LRC-KJHAM tidak bisa melakukan pendampingan sendiri, harus dilakukan bersama-sama dengan Satuan Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (SPT-PPA). Jika tidak, jangkauan penanganan kasus akan semakin sempit dan lambat karena seringkali mengalami kendala penjadwalan,” ungkapnya.
Dalam UU TPKS, terdapat lima pasal yang mengamanatkan pembentukan Peraturan Pemerintah dan lima lainnya Peraturan Presiden yang dirumuskan paling lambat 2 tahun. Hal ini diungkapkan oleh Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Ali Khasan. Menurutnya, implementasi di lapangan tidak terlepas dari hal yang bersifat teknis, seperti peraturan pelaksana. Peran pemerintah pusat dan daerah pun dianggap penting.
“Presiden juga mengamanatkan layanan one stop services, yang diharapkan dapat memberikan perlindungan, rehabilitasi, penanganan korban, dan bisa mengakomodir kebutuhan korban. Nah, layanan one stop services penting dalam merumuskan peraturan pelaksananya terkait dengan SDM, karena di daerah-daerah terkadang kurang memadai,” jelasnya.
Menurut pengakuannya, saat ini KPPPA tengah mengawal peraturan pelaksana melalui kerja-kerja substansi, seperti mengawal substansi peraturan pelaksana dan mengakomodir seluruh masukan dari masyarakat terkait UU TPKS agar dapat terimplementasi dengan baik. Sosialisasi kepada masyarakat agar masyarakat dapat mengetahui isi dari UU TPKS juga dilakukan dengan publikasi mengenai undang-undang tersebut.
Pemberian restitusi kepada korban kekerasan seksual juga dianggap penting untuk memberikan efek jera kepada pelaku. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 30 Ayat (1) UU TPKS, korban tindak pidana kekerasan seksual berhak mendapatkan restitusi dan layanan pemulihan. Tenaga Ahli Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Sriyana menjelaskan secara komprehensif mengenai peraturan restitusi dalam UU TPKS. Bentuk penderitaan korban tindak pidana (fisik, materil dan psikis) digunakan untuk perhitungan resitusi.
“Dalam penghitungan resitusi, ada kerugian material dan immaterial. Nanti akan dilakukan assessment, sehingga ada penghitungan potential lost, apa saja kerugian yang akan terjadi sebagai akibat dari kekerasan seksual yang dialami oleh korban. Misal korban menjadi disabilitas dan kehilangan pekerjaan, bisa diperhitungkan sehingga itu bisa menjadi unsur dalam perhitungan kerugiannya,” pungkasnya.
Ia pun berharap semua elemen, seperti kementerian, lembaga pendamping, serta saksi dan korban dapat memenuhi hak dan kebutuhan bagi korban kekerasan seksual. Hal ini sebagai bentuk mengawal implementasi UU TPKS.
Seminar Nasional tersebut juga turut menghadirkan Ketua Yayasan Sekretariat untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (SUKMA) Sri Nurherawati. Ia memaparkan indikator negara dalam menghapus kekerasan seksual, yaitu 5P (Pencegahan, Perlindungan, Penyidikan dan penuntutan, Penghukuman, dan Pemulihan). Indikator tersebut kemudian diadopsi ke dalam UU TPKS, yaitu; mencegah, menangani, melindungi, memulihkan korban; penegakan hukum dan rehabilitasi pelaku; mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan dan ketidakberulangan kekerasan seksual.
Selain itu, Sri juga menyampaikan implementasi UU TPKS perlu bersinergi dengan perusahaan agar dapat menjamin izin dan cuti korban sehingga tidak menjadi alasan dilakukan PHK kepada mereka. Menurutnya, perlu skema jika korban mengalami kekerasan seksual di perusahaan dan setelah itu tidak dapat bekerja di tempat itu lagi.
“Dengan memberikan hak keleluasaan korban untuk memproses kasusnya, jusrtu bisa meningkatkan produktifitas. Itu yang kita dorong. Sektor swasta harus terlibat dalam pemulihan,” tegasnya.
Tak hanya di lingkungan kerja, kekerasan seksual juga marak terjadi di lingkungan kampus. Meskipun Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah menerbitkan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS), dalam pelaksanaannya mesti tetap dikawal.
Hal ini diungkapkan oleh Mutiara Ika Pratiwi dari Perempuan Mahardhika. Ia mengatakan, UU TPKS melengkapi elemen-elemen rinci yang tidak ada di Permendikbud PPKS. Misalnya terkait hukum acara, Permendikbud PPKS tidak membahas tindak pidana, tetapi hanya berbicara tentang sosialisasi, pencegahan, penanganan, dan alat bukti.
UU TPKS juga mempermudah pembuktian. Sebab, lanjutnya, korban dan pendamping seringkali menemui keterbatasan hukum, misalnya jika korban tidak ada luka fisik atau saksi yang benar-benar melihat. Namun, hal ini dijelaskan dalam UU TPKS, bahwa keterangan saksi atau korban bisa menjadi bukti yang valid dengan satu alat bukti lainnya, seperti rekaman elektronik atau hasil visum.
“Adanya UU TPKS membuat pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus semakit kuat, tetapi tetap saja kita harus tetap mengawal implementasinya,” tuturnya.
Babak Baru Upaya Penghapusan Kekerasan Seksual
Disahkannya UU TPKS April lalu menjadi titik terang bagi seluruh masyarakat dalam upaya penghapusan kekerasan seksual di Indonesia. Kendati demikian, masih banyak tugas yang harus diselesaikan pemerintah untuk mengimplementasikan undang-undang tersebut.
Dalam Seminar Nasional yang diselenggarakan Perempuan Mahardika bertajuk Babak Baru Upaya Penghapusan Kekerasan Seksual Melalui UU TPKS di Banjarmasin pada 21 Juli 2022, Mutiara Ika mengatakan UU TPKS melengkapi kekurangan undang-undang sebelumnya di mana Indonesia belum memiliki hukum yang menyoalkan tentang kekerasan seksual.
Ia juga mengatakan kasus kekerasan seksual di Indonesia terus meningkat, meskipun hal ini juga menjadi pertanda baik bahwa sudah banyak korban yang berani melapor. Kendati demikian, Perempuan Mahardika juga konsisten melakukan pendokumentasian pengalaman korban sebagai basis advokasi kebijakan, serta me-mainstreaming-kan isu kekerasan seksual dalam ruang lingkup pergerakan sosial. Hal ini sebagai upaya dalam menyampaikan kepada masyarakat bahwa isu kekerasan seksual adalah hal yang penting dan politis.
“Misalnya ketika kita menyampaikan data kekerasan seksual di tempat kerja, belum tentu diterima secara langsung karena itu adalah masalah struktural di mana relasi kuasa terjadi,” ungkapnya.
Namun, perjuangan mengawal implementasi UU TPKS bukan tanpa tantangan. Ratna Batara Munti dari Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) dalam Seminar Nasional tersebut mengatakan, sistem hukum yang ada belum mampu memberikan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual. Sebab, lanjutnya, struktur dan kultur hukum di masyarakat masih bias gender.
Selain sistem hukum, mindset masyarakat yang cenderung menyalahkan korban atau bias gender juga menjadi tantangan tersendiri. Padahal, menurutnya, peran dan partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan dalam mengawal implementasi UU TPKS ini.
“Perlu strategi efektif untuk literasi dan sosialisasi terobosan UU TPKS dengan maksimalisasi dukungan masyarakat,” jelasnya.
Dalam diskusi yang diselenggarakan di Banjarmasin ini, Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) PPA Kalimantan Selatan Naimah Fitriyanuarty turut memberikan pandangannya terkait situasi pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di wilayah tersebut. Dengan keluarnya Peraturan Gubernur Nomor 073 Tahun 2019, terbentuklah UPTD PPA Provinsi Kalimantan Selatan. Sejauh ini, dari 13 kabupaten/kota di Kalimantan Selatan, ada 9 kabupaten/kota yang sudah terbentuk UPTD PPA
“Jadi masih ada 4 kabupaten/kota yang masih didorong untuk membentuk UPTD PPA, yaitu Kabupaten Banjar, Kabupaten Balangan, Kabupaten Kota Baru, dan Kota Banjarbaru,” tuturnya.
Selanjutnya, Naimah mengatakan ada tiga aspek yang wajib dilakukan oleh UPTD PPA, yaitu penanganan, perlindungan, dan pemulihan. Ketiga aspek itu wajib dilakukan kepada korban, keluarga korban dan/atau saksi.
Dalam hal kekerasan seksual dalam lingkup universitas di Kalimantan Selatan, Ketua Satuan Tugas Pencegahan (Satgas) PPKS di Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Lena Hanifah memberikan pendapatnya. Sejak Satgas PPKS ULM dilantik Maret 2022 lalu, sudah terdapat lima kasus kekerasan seksual, di mana tiga diantaranya sudah diberikan sanksi, dan dua lainnya masih dalam proses penyelesaian. Hal ini menjadi pertanda bahwa Permendikbud PPKS adalah hal yang penting untuk mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual di universitas.
Terdapat karakteristik kekerasan seksual di perguruan tinggi menurut Lena, yaitu relasi kuasa yang kuat, tingginya kasus revenge porn, dan kecenderungan melindungi pelaku dengan alasan nama baik kampus.
“Padahal, nama baik kampus akan terbangun jika dibangun integritas,” tuturnya.
Setali tiga uang dengan Lena, Rizki Anggraini dari Narasi Perempuan juga mengatakan pentingnya penegakkan hukum penghapusan kekerasan seksual di kampus. Sebab, kekerasan seksual bukan hanya terjadi di area kampus, tapi juga terjadi di luar lingkup kampus, misalnya saat KKN yang mana mahasiswa ditempatkan di tempat-tempat yang jauh dari pengawasan, saat magang, proses penelitian, pembimbingan yang tidak dilakukan pada jam kerja, dan di luar area kampus.
Namun, lanjutnya, terdapat hambatan-hambatan yang harus dilalui, seperti peraturan yang terbatas pada suatu lingkup tertentu, jenis dan bentuk kampus yang sangat berbeda-beda, penerapan dan pemenuhan hak korban yang masih sulit, dan penghukuman pelaku terbatas pada sanksi administratif.
“Peraturan Menteri mengenai kekerasan seksual di perguruan tinggi dan UU TPKS adalah aturan yang saling mendukung satu sama lain. Kita harus tetap mengawal Permendikbud PPKS dan UU TPKS,” tegasnya.