“Lakukan dengan cinta” itulah pesan yang disampaikan nenek dari Lita Anggraini, Koordinator Nasional JALA PRT (Pekerja Rumah Tangga). Sejak kecil, orangtua Lita sudah memperkerjakan tiga PRT di rumahnya. Walaupun belum ada rambu-rambu yang mengatur cara memperkerjakan rumah tangga, namun orangtuanya telah memberikan contoh bagi Lita bagaimana memperlakukan pekerja rumah tangga dengan adil. Hal inilah yang membuatnya terdorong untuk mengabdikan hidupnya memperjuangkan dan mengadvokasi hak-hak PRT.
Hal yang Lita ingat adalah ketika orangtuanya tetap menggaji PRTnya yang sudah cukup tua dan tidak lagi bekerja. Bahkan ketika PRTnya sakit, seluruh pengobatannya ditanggung oleh orangtuanya sebagai pemberi kerja. Pola-pola tersebut pun diwariskan kepada anak-anaknya. Kakak dari Lita selalu mengantar pulang pekerjanya setelah selesai kerja. Namun sayangnya tidak semua orang menyadari pentingnya memperlakukan pekerja dengan adil, sehingga tak jarang kita mendengar banyaknya korban PRT yang mendapatkan kekerasan fisik hingga kekerasan seksual.
Hingga hari ini Rancangan Undang-Undang Perlindungan PRT (RUU P-PRT) belum kunjung disahkan, menandakan minimnya penghargaan terhadap kerja-kerja domestik yang dilakukan di rumah serta minimnya perlindungan dan jaminan sosial kepada PRT. Tanpa adanya pekerja rumah tangga baik itu memasak, mencuci pakaian, membersihkan kebun bahkan menjadi supir, kita tidak akan bisa menjalankan kehidupan produktif kita di luar rumah.
Pekerjaan yang kita lakukan di luar rumah tidak akan bisa kita lakukan jika pekerjaan di dalam rumah tidak beres. Kesadaran inilah yang sedang dibangun melalui Rancangan Undang Undang Perlindungan PRT. Dalam RUU P-PRT, Lita bersama serikat PRT berupaya untuk mengadvokasi kerja layak untuk PRT.
Kondisi kerja PRT yang tidak memiliki jam kerja yang pasti, upah yang tidak sepadan, minimnya perlindungan kesehatan hingga kekerasan fisik dan kekerasan seksual kepada PRT yang mayoritas adalah perempuan menjadikan RUU P-PRT sebagai urgensi. Kondisi kerja PRT jauh dari kata layak oleh karena itu RUU P-PRT dapat memberikan perlindungan terhadap PRT sebagai profesi yang diakui negara.
Kerja PRT yang tidak memiliki jam yang pasti membuat PRT kelelahan hingga sakit. Terutama fakta bahwa PRT yang merupakan masyarakat miskin, keadaan ini makin membuat ia rentan dan jauh dari akses kesehatan. Selama ini keselamatan dan Kesehatan Kerja tidak diperhatikan oleh para pemberi kerja, padahal PRT berhak untuk mendapatkan akses layanan kesehatan gratis melalui BPJS Kesehatan. Namun rumitnya birokrasi dan minimnya pengaturan dan pengetahuan mengenai akses kesehatan tersebut, membuat hak-hak PRT diabaikan.
Belum lagi dengan pembatasan sosialisasi yang dilakukan oleh pemberi kerja. Hal ini dapat berdampak pada psikis seseorang, sedangkan PRT juga memiliki hak untuk bersosialisasi dan berserikat. Sebagai pekerja hal ini wajib diperhatikan karena tanpa adanya sosialisasi maka PRT akan jauh dari upaya untuk meningkatkan kapasitas dirinya.
Sesuai dengan 4 pilar kerja layak yaitu: Penghargaan atas hak-hak dasar di tempat kerja, kesempatan kerja, dialog sosial dan perlindungan sosial. Keempat hal ini belum dimiliki oleh pekerja rumah tangga karena profesinya yang tak diakui negara. Oleh karena itu, hal ini yang membuat Lita Anggraini mengorganisir teman-teman pekerja rumah tangga.
Hal ini dilakukan Lita sejak ia duduk di bangku kuliah tatkala ia masih mengenyam pendidikan di Universitas Gadjah Mada pada tahun 1989. Melalui Forum Diskusi Perempuan Yogyakarta yang ia bangun bersama teman-temannya, mereka membahas isu-isu perempuan seperti isu buruh hingga isu pekerja rumah tangga. Selain itu kasus kekerasan yang terjadi pada Kamiatun, pekerja rumah tangga asal Ngawi mendorongnya untuk fokus dalam advokasi hak-hak pekerja rumah tangga.
Lita kemudian mulai membangun serikat PRT di Yogyakarta. Namun ia merasa bahwa perjuangannya tidak akan cukup jika hanya dilakukan di tingkat regional saja. Ia kemudian membawa agendanya ke tingkat nasional. Ia membangun Serikat PRT Tunas Mulia dan mengadakan sekolah-sekolah PRT yang kini sudah ada 7 di Indonesia.
Sekolah PRT memberikan pendidikan kepada PRT untuk membangun pemahaman bersama, memberikan pengetahuan mengenai hak-hak asasi manusia, pekerja, perempuan hingga hak warga negara. Melalui 6 langkah metode Rap, Lita dan teman-temannya merekrut pekerja rumah tangga lainnya. Enam Langkah metode ini meliputi: perkenalan (introduction), menggali masalah (issue), polarisasi (polarize), mengenal visi (vision), tanya/mengajak PRT (ask), dan tindak lanjut (follow up) untuk membangun langkah bersama.
Melalui serikat dan sekolah PRT, anggotanya diberikan pemberdayaan untuk dapat memahami hak-haknya. Selain itu setiap serikat PRT memberikan kesempatan anggotanya untuk berbicara mewakili pekerja rumah tangga jika diundang dalam seminar atau diskusi. Hal ini memberikan ruang untuk PRT mengembangkan diri di luar komunitasnya.
Tak hanya di tingkat nasional. Jaringan PRT sudah sampai ke mancanegara. Pada tahun 2006 Jaringan Pekerja Domestik Perempuan Asia mendirikan ASIA Domestic Worker Network. Melalui jaringan tersebut, Gerakan internasional PRT melihat perlunya meratifikasi konvensi ILO 189 tentang kerja layak pekerja domestik. Hal ini tidak hanya untuk melindungi PRT dalam negeri namun PRT yang menjadi buruh migran.
Pada tahun 2009 International Domestic Worker Network berubah menjadi International Domestic Workers Federation. Tak hanya berjejaring, dalam federasi ini pekerja rumah tangga juga bertukar pikiran dan bersosialisasi dengan PRT antar negara.
Pengorganisasian Pekerja Rumah Tangga yang dilakukan Lita dengan kawan-kawannya menunjukkan bagaimana perempuan mengorganisir dirinya dengan bergerilya dari pintu ke pintu, dari kota ke kota hingga mencari dukungan ke mancanegara. Dan pemberdayaan yang dilakukan juga memberikan masing-masing kesempatan untuk berkembang.
Tentunya hasil dari pengorganisasian PRT adalah untuk memastikan PRT Indonesia mendapatkan hak kerja layak. Buah dari pengorganisasian ini menghasilkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga yang perlu diangkat bersama-sama bahkan mereka yang memberi kerja kepada PRT.
Pengorganisasian ini juga menunjukkan pentingnya perempuan bekerja secara kolektif untuk merumuskan permasalahannya. Inilah yang kita butuhkan hari ini dibawah Rezim Gender yang terus menindas perempuan dan menjauhkan perempuan dari hak-haknya.