Perampasan Bahasa dan Ketidaksetaraan Gender dalam Komunitas Tuli

Fenomena perampasan bahasa (language deprivation) masih menjadi topik pembahasan yang asing di Indonesia. Tidak banyak literasi yang membahas fenomena ini, tetapi ini dibahas oleh Nissi Taruli Felicia dalam webinar yang diadakan Perempuan Mahardhika, Gender Talk dan We Lead dengan tema “Mengenal Lebih Dekat Dunia Kerja dan Hak Disabilitas” pada 7 Desember 2020 lalu. Ia mencoba menjelaskan bagaimana perampasan bahasa yang terjadi pada anak Tuli menggunakan video. Perampasan bahasa biasanya terjadi pada anak Tuli di usia kanak-kanaknya, kira-kira 5 tahun pertama kehidupan anak, ketika perkembangan usia otak sedang dalam masa emas.

Di usia ini otak anak-anak berkembang dengan cepat untuk mempelajari bahasa. Anak-anak mempelajari bahasa dari orang-orang disekitarnya, terutama keluarga. Biasanya keluarga akan mengajari anak-anak berbicara dengan menggunakan suara dan bahasa verbal. Suara dan bahasa verbal ini merupakan kode yang tidak bias ditangkap oleh anak-anak Tuli. Akibatnya, anak-anak tidak mendapatkan akses untuk mempelajari bahasa sehingga perkembangan bahasa pada anak-anak Tuli menjadi terhambat.

Perampasan bahasa memiliki konsekuensi jangka panjang yang mempengaruhi perkembangan syaraf sampai pada tahap dimana anak-anak memiliki kemungkinan kesulitan untuk mengembangkan keterampilan berbahasa yang menjadi basis untuk proses komunikasi yang lancar demi keperluan pembelajaran di tingkat selanjutnya. Keterampilan berbahasa yang terhambat pada anak Tuli ini juga mempengaruhi kesenjangan gender yang dialami oleh laki-laki dan perempuan kedepannya, bahkan memperparahnya. Ini terjadi karena Tuli yang mengalami perampasan bahasa bias jadi tidak bias diajak untuk berdebat dan berdiskusi secara kritis mengingat ia memiliki hambatan bahasa.

Bella, seorang mahasiswa Tuli menceritakan pengalamannya terkait perampasan bahasa. Ia pernah mengalami perampasan bahasa ketika masih kecil. Bella pernah bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB) di daerah Jakarta Barat selama sekitar 4 tahun. Sekolahnya mengajar menggunakan metode oral, artinya anak-anak Tuli dipaksa berkomunikasi secara lisan dengan kurikulum yang menurutnya terlalu mudah. Bella kemudian pindah ke Sekolah Dasar (SD) pada saat ia duduk di bangku kelas 4 SD. Tetapi ternyata banyak hal yang tidak dimengertinya. “Aku pernah nangis karena nggak paham kata ini, kata itu, maksudnya apa. Aku sampai sering dijauhin dan ditindas, sementara aku nggak ngerti salahku apa. Belakangan aku baru sadar, karena aku sering miskomunikasi sama temen,” ceritanya. Untuk memahami semua bahasa yang ada, Bella memilih untuk ikut kursus private dan banyak bertanya pada guru serta orang tuanya.

Di kesempatan terpisah, saat dihubungi melalui Instagram, Nissi menjelaskan lebih lanjut mengenai kaitan antara perampasan bahasa dan ketimpangan gender. Ia menceritakan mengenai kasus yang terjadi di Purwokerto. “Ada seorang perempuan Tuli yang mendapatkan diskriminasi dari teman Tuli laki-laki,” ceritanya. Diskriminasi yang didapatkan oleh perempuan Tuli tersebut terjadi karena ia memiliki kemampuan berbahasa yang bagus dan mencoba mengajarkan sesuatu kepada laki-laki Tuli yang mengalami perampasan bahasa sehingga penguasaan bahasanya tidak luas. Perempuan Tuli ini kemudian dianggap sebagai orang yang sombong  dan dibenci oleh orang lain, baik laki-laki maupun perempuan Tuli disekitarnya.

Budaya patriarki yang sudah bercokol lama, kuat dan diwajarkan oleh masyarakat Indonesia perlu dibongkar dengan konstruksi kritis. Tetapi kita tidak menjadi kritis dengan serta merta, kemampuan untuk berpikir kritis ini perlu diasah dengan banyak belajar, membaca dan berdiskusi. Semua kegiatan tersebut perlu ditunjang dengan kemampuan berbahasa yang baik, yang  ini sendiri ternyata tidak dimiliki semua Tuli akibat adanya perampasan bahasa.

 

SIBI Sebagai Bentuk Perampasan Bahasa

            Di Indonesia ada konflik penggunaan bahasa isyarat. Awalnya, komunitas Tuli telah memiliki bahasa isyarat mereka sendiri yang diberi nama Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO). BISINDO lahir dari komunitas Tuli, berkembang secara alami dan digunakan secara turuntemurun oleh Tuli. Tetapi, bahasa ini tidak diakui oleh pemerintah. Pemerintah Indonesia justru menciptakan system bahasa lain yang diberinama Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI). SIBI kemudian diakui pemerintah Indonesia dan diterapkan dalam sekolah-sekolah maupun universitas yang memiliki program studi Pendidikan Luar Biasa (PLB). SIBI dibuat oleh orang yang bias mendengar tanpa melibatkan Tuli dengan mengikuti tata bahasa dan struktur dari bahasa lisan sehingga memiliki imbuhan yang menyulitkan Tuli sendiri untuk mengungkapkan maksudnya.

Tidak semua Tuli di Indonesia menggunakan SIBI, kebanyakan dari mereka menggunakan BISINDO. Sehingga pemaksaan penggunaan SIBI bisa jadi justru menyebabkan banyak Tuli tidak mengerti. BISINDO sendiri sudah sejak 1981 diperjuangkan agar diakui oleh pemerintah oleh Gerakan untuk Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia (GERKATIN) dan telah mendapatkan dukungan dari beberapa pihak salah satunya adalah Universitas Indonesia yang telah memasukkan BISINDO dalam kurikulum di Fakultas Ilmu Budaya UI.

Diakuinya SIBI dan ditolaknya BISINDO oleh pemerintah Indonesia adalah bentuk lain dari perampasan bahasa. Karena bahasa yang telah berkembang secara alami didalam komunitas Tuli, dimengerti oleh mayoritas anggota komunitas Tuli tiba-tiba tidak diakui dan digantikan oleh system bahasa lain yang tidak dapat diakses oleh semua Tuli di Indonesia.

 

Pendidikan Seksual yang Aksesibel

Belum cukup sampai konflik SIBI dan BISINDO saja, kita juga masih hidup di dunia yang menganggap pendidikan seksual sebagai sesuatu yang tabu dan lebih baik tidak dibicarakan. Institusi-institusi pendidikan formal di Indonesia belum memiliki kurikulum yang komprehensif mengenai pendidikan seksual. Mayoritas masyarakat Indonesia mendapatkan pendidikan seksual justru melalui institusi-institusi non-formal, non-pemerintahan.

Ini juga terjadi pada Tuli. Mereka tidak mendapatkan pendidikan seksual di institusi formal, sementara institusi non-formal, non-pemerintahan mungkin menyediakan pendidikan seksual tetapi belum bisa dengan mudah diakses oleh Tuli. Bisa jadi karena memang tidak adanya Juru Bahasa Isyarat (JBI) yang disediakan oleh penyelenggara.

Beberapa Tuli yang telah mengenal mengenai pendidikan seksual dan kesetaraan gender mengenalinya karena pengalaman pribadi yang menyakitkan. Bella misalnya, ia baru menyadari mengenai konsep kesetaraan gender ketika ia mengalami hubungan yang beracun (toxic relationship) dengan mantan pasangannya. Ia menyadari dirinya berada pada hubungan yang beracun karena menonton channel youtube Rachel Goddard yang membahas hubungan toxic karena dalam video tersebut ada subtitle yang bisa diaksesnya. “Sebenernya banyak temen Tuli yang nggak tau tentang isu-isu feminisme, gender dan konsep kekerasan seksual karena nggak dikasih akses bahasa untuk belajar,” terang Bella.

Ini menunjukkan pengetahuan mengenai kekerasan seksual atau bagaimana melaporkan kasus kekerasan seksual ke pihak berwajib masih terbatas di komunitas Tuli. Banyak yang tidak tahu dan jika ada kasus kekerasan seksual, mereka tidak bisa melaporkan karena adanya keterbatasan bahasa untuk mengerti bahwa apa yang terjadi pada mereka masuk dalam ranah kekerasan seksual. Ini juga yang menurut Nissi menyebabkan data kasus kekerasan seksual pada Tuli yang terlaporkan sangat sedikit. “Kasusnya bukan tidak ada, tetapi kalau pun ada tidak bisa disampaikan kepada pihak berwajib,” jelasnya saat dihubungi melalui Instagram.

Maka, membongkar patriarki dan menciptakan kesetaraan gender di komunitas Tuli masih memiliki banyak sekali pekerjaan yang harus diselesaikan. Mulai dari menghapuskan perampasan bahasa, memberikan alat agar Tuli yang mengalami perampasan bahasa saat kecil dapat menguasai kembali bahasa secara luas. Mengakui BISINDO sebagai bahasa yang sah sehingga semua Tuli dapat mengakses pengetahuan mengenai kesetaraan gender dan berpikir kritis untuk membongkar budaya patriarki. Serta menyediakan pendidikan seksual yang bisa diakses dengan mudah oleh Tuli, salah satunya adalah dengan selalu menyediakan JBI atau juru ketik dalam diskusi, pelatihan atau webinar.

 

Referensi

https://difabel.tempo.co/read/1105916/bahasa-isyarat-sibi-dan-bisindo-tilik-perbedaannya/full&view=ok

https://www.beritasatu.com/kesehatan/220618/33-tahun-diperjuangkan-bisindo-belum-juga-diakui-sebagai-bahasa-resmi-penyandang-tunarungu

https://therapytravelers.com/language-deprivation/

https://difabel.tempo.co/read/1377718/beda-bahasa-isyarat-sibi-yang-digunakan-pemerintah-dengan-bisindo-yang-alami

Kiky

Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Lambung Mangkurat sekaligus penggerak di kolektif Narasi Perempuan. Saat ini berdomisili di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Tertarik pada isu HAM, feminisme, gender equality dan hak perempuan.

Comments

wave
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Press ESC to close