Menyemarakkan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan, penulis ingin membahas sebuah isu yang sedang hangat diperbincangkan oleh dunia, tepatnya pada penyelenggaraan G20 tahun 2022.
Isu ini kerap menjadi ancaman dan tantangan bagi negara terkait prosesi dan progresi pembangunan ekonomi di dunia. Pembaca terlebih dulu musti memahami apa yang dimaksud dengan G20 dan apa keterkaitan isu perempuan didalamnya.
G20 adalah kumpulan negara-negara 20 ekonomi terbesar di dunia, yang memegang suara guna memutuskan dan menetapkan kebijakan yang mampu merubah kondisi global. Negara Indonesia menjadi salah satu negara yang mengemban peran dan menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi G20 2022.
Tidak afdal rasanya jika tidak menyinggung salah satu rangkaian G20, yakni G20 Empower. Yang juga berperan dalam pembangunan ekonomi dunia, yang merangkup aliansi G20 sendiri dengan tujuan mempercepat kepemimpinan dan pemberdayaan perempuan di sektor swasta.
Tiga isu yang diprioritaskan G20 Empower, yaitu:
1. Meningkatkan akuntabilitas perusahaan dalam pencapaian Key Performance Indicator (KPI) untuk meningkatkan peran perempuan,
2. Mendorong peran Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah milik perempuan sebagai penggerak ekonomi,
3. Membangun, mempersiapkan, dan meningkatkan ketahanan dan keterampilan digital perempuan.
Mengapa isu pemberdayaan kerap fundamental untuk dikaji dan diprioritaskan dalam G20? Berpacu pada data, bahwasanya 49,5% populasi Indonesia adalah perempuan, 9,1% PDB Indonesia disumbangkan oleh UMKM Perempuan. Sebanyak 43% Pebisnis di Indonesia adalah perempuan menurut data World Bank. Riset dari Sasakawa Peace Foundation & Dalberg juga mencatat jumlah wirausaha perempuan di Indonesia adalah 21% lebih tinggi dari rata-rata global yang hanya 8%. Data-data tersebut sengaja saya paparkan terlebih dulu untuk membuka pandangan pembaca perihal betapa besarnya peran dan potensi perempuan dalam pembangunan negeri.
Sayangnya, data di atas berlawanan dengan data laporan United Nations Development Programme (UNDP) yang dipublikasikan Badan Pusat Statistik (BPS). Indeks ketimpangan gender di Indonesia termasuk yang tertinggi di ASEAN. Hal tersebut diperkuat dengan timbulnya berbagai tantangan yang dihadapi oleh perempuan menurut riset The World Bank, berupa akses ke kredit, akses business network, skill-gap, cultural barrier, double burden dalam hal ini berarti beban pekerjaan yang diterima dan ditanggung perempuan lebih banyak.
Bisa dilihat dari beberapa peran yang dengan cuma-cuma ditanggungkan kepada perempuan, seperti peran ganda bahkan multi peran, laiknya menjadi seorang istri, ibu, dan anak, bahkan pekerja sekaligus. Dalam hal budaya, persoalan multi peran ini banyak dilimpahkan kepada perempuan. Bukan hanya itu, Glass Ceiling juga kerap menjadi tantangan bahkan musuh dari setengah populasi manusia khususnya perempuan. Sebab perempuan dianggap tidak mampu untuk meraih potensi optimalnya karena mengalami diskriminasi gender khususnya di dunia kerja.
Dibuktikan dengan 1,8 kali pekerja perempuan lebih rentan dipecat dibanding laki-laki saat pandemi Covid-19 di Indonesia melanda. Dampak negatifnya menyebabkan perempuan jatuh miskin dan meningkatnya peluang kekerasan seksual terhadap perempuan.
Hal ini juga menyebabkan 38% perempuan yang mengaku ingin keluar dari industri STEM (Science, Technology, Engineering and Math) dikarenakan adanya bias gender di perusahaan ataupun dunia kerja lainnya. Glass Ceiling sendiri kerap dikaitkan dengan Broken Ladder karena dianggap memiliki orientasi yang sama, yang kerap menghambat perempuan untuk menempati posisi atas, mengupgrade diri, dan berpijak atau menanjak menuju level yang lebih tinggi. Hal ini terjadi karena adanya masalah struktural yang dianggap merugikan perempuan, misalnya norma sosial yang berlaku dan hak-hak perempuan yang tidak benar-benar dijamin undang-undang.
Segala ketimpangan dan tantangan yang dihadapi perempuan hanya bisa teratasi jika ada kerja sama dan support antara masyarakat, pemerintah, dan swasta sebagai pemegang kekuasaan. Konsistensi meningkatkan persentase keterlibatan perempuan dalam berbagai bidang, karena pada nyatanya representasi perempuan lebih penting dari sekadar partisipasi.
Di Indonesia sendiri telah memberlakukan kuota keterwakilan 30% perempuan di parlemen dan akan selalu diperjuangan untuk mencapai angka yang sepadan. Sebab kebijakan sosial di Indonesia bertumpu pada penyelenggara keputusan sehingga perlu adanya keterlibatan perempuan dalam proses penetapan keputusan guna memberlakukan kebijakan dalam bentuk regulasi yang rasional dan proporsional.
Dalam G20 sendiri, mengedepankan isu pengukuran yang jelas sebab diperlukannya bukti implementasi perempuan, 19 negara utama ditambah Uni Eropa setuju bahwa perlu adanya lima KPI (Key Performance Indicator) yang dibahas dalam G20 Empower:
1. Persentase perempuan dalam board, sebab dewan pengurus hak dan wewenang mengambil dan memutuskan suatu keputusan dan kebijakan. Maka diperlukan adanya representasi yang seimbang antar gender dalam mengambil dan mengutarakan pendapat,
2. Persentase perempuan yang bekerja di industri tertentu,
3. Persentase perempuan yang dipromosikan,
4. Jumlah perempuan di level manajerial,
5. Presentase perempuan di STEM, yang disertai dengan leadership skill sehingga memicu kepercayaan diri perempuan dalam memimpin suatu instansi.
Bukan hanya itu, peran keluarga dalam hal ini adalah dengan memberikan safe space dan tidak mengkotak-kotakkan peran gender guna memberi support, karena keluarga adalah nucleus utama dan support system prima.
Faktanya, menghapus diskriminasi dan ketimpangan dapat membentuk kondisi masyarakat yang jauh lebih berkembang. Lebih dari itu, perusahaan yang menerapkan inklusivitas akan jauh lebih maju dan memicu peningkatan perekonomian negara khususnya Indonesia.
Dapat kita simpulkan, bahwasanya kesetaraan gender dan keterlibatan perempuan dalam berbagai bidang adalah salah satu kunci perubahan dan kemajuan negara.