UU TPKS perlu untuk terus dikawal dalam pemgimplementasiannya, khususnya di lingkungan kerja. Hal ini membutuhkan peran multi-stakeholder agar masalah kekerasan seksual di tempat kerja dapat segera dihapuskan.
Hadirnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang melindungi korban kekerasan seksual dari kehilangan pekerjaan dan mutasi, adalah bentuk semangat untuk mewujudkan tempat kerja aman dari kekerasan seksual. Adanya hukuman dan restitusi kepada pelaku yang merupakan pemberi kerja dan atasan, menjadi alasan untuk terus mengawal implementasi UU TPKS, khususnya di tempat kerja.
Maka dari itu, Perempuan Mahardhika bekerja sama dengan Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI) dan Posko Pembelaan Buruh Perempuan menyelenggarakan Seminar Nasional bertajuk Mengawal Implementasi UU TPKS untuk Mewujudkan Tempat Kerja Aman dan Bebas Kekerasan Seksual di Gedung KBN Cakung, Jakarta Utara pada Selasa (18/10/2022).
Dalam seminar tersebut, Vivi Widyawati dari Perempuan Mahardhika selaku pembicara pertama mengatakan, UU TPKS mengakomodir bentuk-bentuk kekerasan seksual yang sebelumnya tidak diatur dalam undang-undang lain. Sebab, lanjutnya, seluruh isi UU TPKS berpusat pada hak korban, seperti hak atas penanganan, pelindungan, dan pemulihan.
“UU TPKS mendengarkan dan memvalidasi pengakuan korban, seperti tercantum pada Pasal 25 yaitu keterangan saksi/korban bisa menjadi alat bukti. Pada Pasal 24 juga dikatakan bahwa alat bukti bisa menggunakan informasi atau dokumen elektronik, rekam medis, forensik, rekening bank, dan lain-lain. Selain itu, pelaku dengan relasi kuasa lebih tinggi bisa dipidana tambahan,” ungkapnya.
Selanjutnya, Vivi menerangkan bahwa UU TPKS juga dapat digunakan untuk melindungi buruh dari kekerasan seksual di lingkungan kerja. Alasannya, pelaku korporasi bisa mendapat hukuman yang memberatkan melalui undang-undang ini.
Seminar Nasional ini juga menghadirkan Dian Septi selaku Ketua Umum FSBPI. Ia menuturkan, kekerasan seksual merupakan masalah struktural yang kemudian menimbulkan relasi kuasa. Dengan adanya hal tersebut, posisi tawar korban pun menjadi sangat lemah.
“Kekerasan seksual menjadi fenomena gunung es. Banyak korban memilih diam karena status kerja yang menjadi tidak jelas karena takut di-PHK, takut melamar kerja lagi karena takut tidak diterima. Korban memiliki rasa malu saat melakukan proses penanganan, trauma dari korban menjadi sesuatu yang melekat pada tubuh dan pikirannya,” ucapnya.
Meskipun UU TPKS sudah disahkan DPR pada April lalu, Dian juga mengatakan implementasi undang-undang tersebut mesti terus dikawal. Menurutnya, beberapa strategi yang dapat dilaksanakan adalah dengan melakukan sosialisasi kepada buruh di tempat kerja, mengadopsi UU TPKS ke dalam Perjanjian Kerja Bersama, dialog multi-stakeholder, serta mengefektifkan Rumah Perlindungan Pekerja Perempuan (RP3) di kawasan industri atau tempat kerja.
“UU TPKS menjamin ketidakberulangan. Maka, butuh kerja sama dari semua lini dan penting merubah mindset masyarakat secara umum,” pungkasnya.
Peran multi-stakeholder, khususnya pemilik korporasi, juga dianggap penting dalam menciptakan lingkungan kerja yang aman bagi perempuan, sebagaimana diungkapkan oleh Komite Regulasi Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Mira Sonia. Ia melanjutkan, pidana pokok bagi korporasi sebagai pelaku kekerasan seksual diatur dalam Pasal 18, sedangkan mengenai restitusi diatur dalam Pasal 33.
“Tingkat kerjasama yang ditunjukkan oleh korporasi yaitu tidak menganggap sepele kekerasan seksual dan tidak meminta korban untuk berdamai karena pelecehan pasti berulang,” ucapnya.
Sebagai bentuk implementasi UU TPKS, Mira mengatakan APINDO telah melakukan sosialisasi di dalam internalnya mengenai UU TPKS. Beberapa satuan di APINDO juga membentuk gugus tugas khusus untuk menangani TPKS. Selain itu, APINDO sedang mengusahakan program anti kekerasan seksual yang rencananya digaungkan pada 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKTP), 25 November mendatang.
Seminar Nasional ini juga turut menghadirkan Sub Koordinator Ergonomi, Lingkungan Kerja, Bahan Berbahaya, dan Kesehatan Kerja Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), M. Fertiaz. Ia mengatakan, UU TPKS mengakomodasi definisi “setiap orang” yang mana pelakunya bisa siapa saja, terlepas gendernya apa. Kekerasan seksual juga masih marak terjadi di lingkungan kerja. Maka, menurutnya, penting untuk dilakukan pencegahan yang melibatkan pemerintah, mitra sosial, pengawas ketenagakerjaan, dan pemberi kerja.
“Strategi dalam melakukan perlindungan ketenagakerjaan, dilakukan dengan cara pengawasan, pembinaan dan sosialisasi, evaluasi, dan pelaporan,” pungkasnya.