Komite Nasional Perempuan Mahardhika menggelar diskusi dalam rangka memperingati 16 hari anti kekerasan terhadap perempuan di Gedung Lembaga Bantuan Hukum(LBH) lantai 1 Jakarta Pusat, Selasa (27/11/2018).
Gagasan ini bermula dari pernyataan bahwa sekarang beragam perlawanan kekerasan seksual dimulai dari banyak pihak. Banyak korban menjadi berani dan bersuara termasuk didalamnya suara pekerja, suara tersebut menjadi bara api. Menarik bahwa solidaritas muncul pada setiap ruang, termasuk ruang kerja yang seharusnya aman, jelas Sekretaris Nasional Perempuan Mahardika, Mutiara Ika Pratiwi.
Ia menambahkan kasus Ibu Nuril merupakan salah satu fenomena yang memperlihatkan situasi kekerasan seksual jauh dari kata selesai. Ada korban berusaha membela dirinya dengan merekam tindak pelecehan seksual tersebut namun justru dikriminalisasi.
Menimpa Dunia Kerja
“Ada pembedaan terhadap perempuan apalagi sekarang perusahaan menerapkan sistem magang dan kontrak. Untuk bisa diterima dan mendapat hak, perempuan harus mengorbankan banyak hal. Hari ini negara belum memberikan perlindungan terhadap perempuan di ruang kerja” ucap Ketua umum Konfederensi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Nining Elitos.
Banyak perempuan diam, sebab keterbatasan pengetahuan, situasi dan kondisi yang memaksa sebagai tulang punggung pencari nafkah dalam keluarga juga turut mempengaruhi. Tak dipungkiri relasi kuasa tetap ada karena hegemoni yang menguat. Tidak banyak perempuan di level kerja yang menjamin keselamatannya untuk berani melawan dan bicara, itu menjadi tugas organisasi buruh.
Nining menuturkan lagi, angin segar tentang kebebasan berpendapat di organisasi, memang harus dimatangkan. Semua bisa mendapat ruang untuk persoalan terkait perempuan. Menjadi penting membuat lembaga atau badan yang menaungi organisasi buruh. Kelompok yang termarjinalkan pun harus menyatu, tidak bisa menitipkan nasib pada partai borjuis yang nihil atas isu populis atau hal lain yang berkaitan dengan perempuan.
Yuniyanti Chuzaifah selaku Komisioner Komnas Perempuan menguraikan bahwa dulu ketika buruh perempuan mengalami kekerasan seksual sulit untuk berserikat. Padahal organisasi menjadi kekuatan untuk menciptakan ruang aman dan melawan kekerasan seksual.Jangan sampai kondisi politik menghentikan upaya berorganisasi dan berkumpul. Setiap kasus kekerasan seksual tidak bisa semua disuarakan ke publik. Hanya 1/8 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan.
Dalam hak asasi ada yang disebut sipil politik, semacam hak hidup, hak untuk berdikari, termasuk hak untuk berorganisasi tidak boleh dibatasi oleh apapun bahkan negara dan perusahaan. “Kawan kawan buruh jangan sampai dimobilisasi untuk kepentingan politik praktis apalagi sekarang menjelang Pemilu, buatlah organisasi yang ramah perempuan” ungkap Yuni.
Tak hanya di tataran buruh, Ellena Ekarahendy Ketua Umum Serikat Pekerja Media dan Industru\i Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi) menerangkan relasi media dengan industri kreatif lekat dengan patronisitik. Mereka punya kesadaran atas haknya yang masih minim sekali. Soal gender berimbas juga pada berbagai lapisan relasi kuasa. Ketika perempuan sanggup memasuki gelanggang media selalu ada sosok yang diagungkan dan kebanyakan laki-laki. Patron itu yang menciptakan iklim untuk bisa mengkompromi pelecehan seksual.
Kedua, kecenderungan yang melahirkan boys club – sekumpulan laki-laki yang nge-geng sering melontar ujaran mesum. Ketika perempuan dalam industri kreatif jika dalam satu lingkaran memiliki reputasi buruk, merusak nama baik atau citra bakal berimbas pada kekerasan seksual. Ketiga masalah klasik yang masih massif memposisikan perempuan sebagai objek.
Perempuan kerap menjadi objek pelecehan seksual lantaran bagi masyarakat yang patriarkal berpikiran bahwa tubuh perempuan adalah objek seksual. Victim blaming serupa “Harus menjaga diri, tidak keluar malam” mungkin maksudnya baik tetapi ada cara pandang yang salah. “Pakaian tidak berkorelasi dengan korban sebab cara berpakaian adalah otoritas diri masing-masing, yang harus diubah adalah cara berpikir bukan perempuan yang mesti bertanggung jawab” ucap Yuni dari komisioner Komnas Perempuan tersebut.
Upaya Efek Jera
Korban yang kemudian dikriminalisasikan perlu didukung agar pelaku memiliki efek jera. Ini sebagai upaya menjadi entitas bagi para calon pelaku yang akan melakukan kekerasan seksual.
Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) oleh Komnas Perempuan dikawal sejak 10 tahun yang lalu, diinisiasi oleh kasus Marsinah. Di Indonesia hukum untuk menaungi kekerasan seksual itu sudah haus, sudah sulit untuk memayungi kasus-kasus kekekerasan seksual yang sekarang dikerucutkan sesuai dengan logika hukum .
Perkosaan misalnya, dalam KUHP ada penetrasi, kasus Marsinah membongkar pikiran bahwa perkosaan bukan saja oleh penis tapi dengan benda beragam yang lainya. Pola kasus-kasus sekarang sudah variatif sehingga sulit untuk mengerucutkan
“(lahirnya RUU) bukan hanya nafsu untuk menghukum pelaku, selama ini korban kekerasan seksual yang selalu mencari bukti, sudah menjadi korban bangkit saja sulit ditambah dia yang harus membuktikan” tutur Yuni.
Korban harus diakui, ditransisi dari disbelieved menjadi believed. RUU PKS ini menaungi dari awal mekanisme pelaporan dan proses hukum yang lebih terjangkau oleh korban. Negara diminta andil dalam kekerasan yang kerap senyap.
“Penghukuman yang beragam selain yang menjerat pelaku tetapi penjeraan ini juga menjadi representatif korban, inilah susbtansi yang ada di RUU ini yang tidak mudah untuk bisa masuk pengesahan, belum lagi dipelintir sana-sini”
Reporter :Anisa Dewi Anggriaeni