Pada 7 Oktober 2020, masyarakat Semarang yang tergabung dalam GERAM (Gerakan Rakyat Menggugat) menggelar aksi menolak Omnibus Law. Melalui keterangan dari pihak LBH Semarang, peserta aksi berkumpul sekitar 2000 masa aksi, yang terdiri dari beberapa elemen masyarakat seperti buruh, mahasiswa, pekerja, serta pelajar. Titik kumpul mereka berada pada pada Pos 4 Pelabuhan Tanjung Mas kemudian Long March ke Titik tujuan Kantor Gubernur & DPRD Jawa Tengah.
Tuntutan yang di keluarkan oleh GERAM untuk pemerintah DPR, diantaranya:
- Batalkan Omnibus Law
- Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
- Sahkan RUU Pekerja Rumah Tangga
- Stop PHK selama pandemi
- Pemerintah fokus tengani pandemi
- Stop kriminalisasi aktivis
Berdasarkan keterangan beberapa peserta demonstran aksi direncanakan untuk berjalan secara damai. Namun hingga pukul 11.00 WIB anggota Dewan belum juga keluar gedung untuk menemui masa aksi. Akhirnya terjadi perobohan pintu gerbang kantor Gubernur.
Aksi berjalan hingga sore. Karena dirasa tidak ada hasil, para masa aksi mulai masuk menyeruduk kantor Gubernur. Hingga pada akhirnya, para aparat keamanan turun tangan menyiram masa aksi dengan water canon dan melemparkan gas air mata.
“Saya tidak tahu jelas bagaimana keadaan awal mulai ricuh. Tetapi saya mendengar adanya suara tembakan lebih dari sepuluh kali” ucap salah satu peserta aksi, Mahasiswa UIN Walisongo Semarang.
Masa aksi mulai berlari pergi ketika polisi mulai menangkap para masa aksi tanpa melihat apakah dia melakukan kesalahan atau tidak. Bahkan keterangan yang di dapat Redaksi, Polisi mengejar para masa aksi hingga simpang lima dan gang-gang kecil. Beberapa ada yang ditangkap di parkiran ketika demonstran mengambil motor dan berniatan untuk pulang.
Dari pihak LBH Semarang, Naufal Sebastian, mulai kembali ke lapangan aksi ketika gas air mata reda dan melihat banyak aparat kepolisian menangkap masa aksi secara random hingga keadaan kocar kacir. Tidak hanya para peserta aksi, Naufal dari advokat LBH Semarang-pun sempat ditangkap dan di bawa ke dalam Gubernuran bersama masa aksi yang lainnya.
“Di sana Saya melihat banyak demonstran lebih dari lima puluh orang di tangkap dan ditelanjangi. Mereka mendapatkan kekerasan yang sangat sistemik. Disuruh merayap, sambil diinjak dan dipukuli degan tongkat yang dipegang polisi.” Jelas Naufal.
Tak hanya ditangkap dan dibawa ke tempat Gubernuran. Tetapi dia juga mendapatkan tindakan represif dari pihak aparat kepolisian. Ia sempat di pukul perutnya dan diintimidasi lebih dari 50 aparat kepolisian karena mencoba membantu para demonstran.
Tak hanya itu, demonstran tak bersalah pun ditangkap dan dintimidasi sangat intens. Menurut keterangan beberapa peserta aksi, mereka ditangkap dan diperintah secara paksa untuk menghapus data-data dalam handphone-nya yang berkaitan dengan aksi. Bahkan beberapa mendapat perlakuan kasar seperti dicekik lehernya, hingga dipukul perutnya.
“Teman saya sempat melawan untuk dibawa. Tetapi dia dibanting badannya oleh polisi.” tambah, Mahasiswa UIN Walisongo Semarang.
Peserta aksi yang ditangkap oleh aparat kepolisian hingga petang belum juga dibebaskan. Menurut keterangan LBH Semarang, sebanyak 240 masa aksi dibawa ke Polrestabes Semarang, serta beberapa yang dibawa ke Polda Jawa Tengah. Hingga pukul 20:45 WIB, Tim Advokasi Untuk Kebebasan Berpendapat Wilayah Jawa Tengah belum diizinkan untuk mendampingi korban salah tangkap dan tertahan di depan gerbang Polrestabes Semarang. Sedangkan dari pihak Tim Advokasi sudah mendapatkan surat kuasa dari keluarga para korban untuk mencari tahu keberadaan anak-anaknya.
Berdasarkan keterangan Press Release dari LBH Semarang, hal tersebut bertentangan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan saksi dan tersangka berhak didampingi oleh kuasa hukum dalam proses pemeriksaan. Selain itu, pihak kepolisian juga belum memiliki swab test para korban sehingga berpotensi menjadi klaster baru penyebaran Covid-19.
Pelarangan pemberian bantuan hukum juga meresahkan pihak keluarga yang menunggu di depan Polrestabes Semarang, sebab banyak demonstran yang ditahan berada pada keadaan lemas akibat belum mendapatkan makanan.
Hingga pukul 22:30, baru saja Tim Advokasi diperbolehkan masuk untuk mendampingi para korban salah tangkap di Polrestabes Semarang. Pada pukul 01:45 dini hari, mereka baru saja dapat mengeluarkan masa aksi yang ditangkap. Hingga saat ini tertanggal 09 Oktober 2020, 4 masa aksi dari mahasiswa masih di tahan di Polrestabes Semarang. Namun pihak Polrestabes Semarang belum mau terbuka dengan identitas keempat masa aksi yang ditangkap.