Tonggak ketiga dalam Gerakan perempuan di Indonesia yaitu ditandai dengan Kemerdekaan dan Pembebasan Nasional dijelaskan oleh Ita Fatia Nadia salah satu pegiat dari Ruang Arsip dan Sejarah Perempuan Indonesia (RUAS) bersama 12 anggota lainnya kini sendang menggiatkan untuk Menyusun Kembali sejarah perempuan Indonesia yang hilang. Dalam sebuah webinar yang diadakan oleh Perempuan Mahardhika berjudul Kiprah Perempuan Muda dalam Sejarah Pergerakan Perempuan Indonesia yang diadakan pada tanggal 24 September 2020 menceritakan mengenai tonggak ketiga gerakan perempuan di sejarah Indonesia. Tonggak ini diawali dengan pidato dan tulisan Soekarno tentang Nasionalisme dalam Suluh Indonesia Muda. Ia melihat nasionalisme sebagai bangunan bangsa atau fondasi yang melibatkan perempuan dan lelaki, yang berisikan perjuangan kemerdekaan dan pembebasan dari seluruh penindasan dan penjajahan.
Karena mulai masifnya berdirinya partai-partai politik, maka banyak partai yang harus membangun sayap perempuannya sendiri. Seperti munculnya Gerakan Wanita Sosialis dari Partai Sosialis Indonesia. Saat itu untuk dapat terlibat dan menjadi kader politik, setiap calon anggota harus turun ke masyarakat dan hidup bersama masyarakat agar bisa melihat masalah yang ada. Ia pun membangun kader-kader dari ranting terbawahnya.
Hal ini pun menjadi cikal bakal bagi organisasi perempuan untuk membangun basis massa seperti Gerakan Wanita Indonesia Sedar (Gerwis). Gerwis merupakan peleburan dari tujuh organisasi wanita yang tersebar di seluruh pulau Jawa, yaitu Rukun Putri Indonesia (Rupindo), Persatuan Wanita Sedar Surabaya, Persatuan Wanita Sedar Bandung, Gerakan Wanita Rakyat Indonesia, Perdjoangan Putri Republik Indonesia, Wanita Madura, dan Persatuan Wanita Indonesia. Saat peleburan, total anggotanya menjadi berjumlah 500 orang.
Aktivis perempuan yang mendirikan organisasi tersebut, awalnya dididik oleh Poetri Mardika. Ketika perempuan yang dididik sudah siap menjadi agensi perempuan sendiri, mereka membangun organisasi-organisasi kecil dan merumuskan ideologinya sendiri yang berbasis pada permasalahan yang dihadapi perempuan di tingkat lokal. Seperti Rupindo yang berupa menjawab permasalahan perempuan seperti kemiskinan, buta huruf dan upah yang tak layak.
Para perempuan yang membangun organisasi kecilnya sendiri, merasa bahwa mereka tak bisa menyuarakan kepentingan perempuan. Oleh karena itu mereka merasa perlu bergabung dan meleburkan diri mereka untuk bergabung ke dalam organisasi yang lebih besar. Mereka yang tergabung ialah Umi Sardjono dan S.K. Trimurti menamakan dirinya sebagai Gerakan Perempuan Kiri. Gerakan mereka berbasis pada petani dan masuk kedalam desa-desa. Dengan begitu perjuangannya akan lebih luas lagi.
Pada tahun 1953, anggota Gerwis memiliki 7016 orang anggota di Jawa Tengah. Mereka telah membuka 8 sekolah Taman Kanak-Kanak, 52 tempat kursus pemberantasan buta huruf, 29 buah tempat kursus bagi para disabilitas dan 17 buah tempat untuk kursus para kader politik.
Menariknya pemberantasan buta huruf selalu dibarengi dengan pendidikan politik. Huruf-huruf yang diajarkan pada perempuan selalu dikaitkan dengan permasalahan perempuan yang ada pada tingkatan lokal. Misalkan ketika membaca sebuah kata seperti perempuan, tuan tanah, tanah akan dikaitkan dengan masalah perempuan sebagai buruh yang bekerja pada lahan-lahan tuan tanah yang tak mendapatkan upah layak. Hal seperti ini merupakan penyadaran politik perempuan. Pemberantasan buta huruf dibuat menjadi pendidikan politik perempuan tentang kontradiksi-kontradiksi politik di masyarakat. Kontradiksi di setiap wilayah selalu berbeda di desa dan di kota. Di desa kontradiksinya adalah tentang buruh, kelangkaan tanah, tuan tanah dan upah yang rendah. Empat masalah ini menjadi topik pendidikan kader politik untuk menyadarkan tentang kontradiksi ekonomi, politik dan sosial di wilayahnya. Pendidikan politik tidak lepas dari buta huruf.
Pada bulan Maret 1954, Gerwis mengadakan kongres yang kedua di Jakarta. anggotanya meningkat menjadi 80.000 orang dan memiliki 203 cabang. Gerwis dapat memiliki 80.000 orang anggota melalui pendidikan buta huruf. Alumninya pun turun ke desa-desa untuk memberikan kursus membaca menulis. Pada saat kongres tersebut nama Gerwis menjadi Gerakan Wanita Indonesia karena diharapkan agar lebih bisa membangun politik perempuan tentang pembebasan nasional.
Dalam konstitusi organisasi Gerwani disebutkan bahwa ia terbuka untuk perempuan berusia 16 tahun untuk bergabung. Sebagai anggota ia pun tak boleh berpihak pada satu partai politik. Dalam perekrutannya Gerwani tak melihat politik, agama dan suku yang ada di Indonesia.
Program-program Gerwani kemudian mengacu pada pembinaan kader dan masalah-masalah organisasi dan pendidikan. Ia juga menciptakan metode pendidikan kader yang lebih sistematis. Gerwani juga mewajibkan setiap kadernya mempelajari sejarah Gerakan pergerakan nasional Indonesia, sejarah pergerakan wanita Indonesia dan Internasional, serta masalah organisasi dan pengembangan Gerwani.
Pada tahun 1955, Gerwani juga menyebarkan pemikirannya dengan menerbitkan majalah Wanita Indonesia, namun karena tak memiliki sumber yang cukup terbitannya berhenti pada pertengahan 1957. Namun untuk dapat menyambung kegiatan Gerwani, diterbitkannya Berita Gerwani yang peredarannya terbatas hanya sekitar 2000 eksemplar.
Di era ini kita bisa melihat bagaimana perempuan secara militan melebarkan sayap dan turun hingga ke desa-desa untuk membangun agensi perempuan. Dengan cara yang paling sederhana yaitu pemberantasan buta huruf, kesadaran perempuan dibangun melalui masalah-masalah perempuan yang dekat dengannya. Hal ini menunjukkan bagaimana Gerakan perempuan dapat massif dan bergerak hingga ke akar rumput. Ini bisa menjadi contoh dalam pengkaderan anggota Gerakan perempuan.