Narasi perempuan dalam sejarah melawan penjajahan seringkali tak diajarkan, bahkan di buku-buku sekolah kita, kita hanya tahu sedikit pahlawan perempuan yang dikenalkan. Namun kita tak pernah dikenalkan dengan pemikiran dan apa saja yang dilakukan perempuan di masa itu. Arsip tentang sejarah perempuan dalam melawan penjajahan pun masih sedikit sehingga kita kesulitan untuk mencari tahu lebih banyak tentang gerakan perempuan dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia melawan penjajahan.
Ita Fatia Nadia salah satu pegiat dari Ruang Arsip dan Sejarah Perempuan Indonesia (RUAS) bersama 12 anggota lainnya kini sendang menggiatkan untuk Menyusun Kembali sejarah perempuan Indonesia yang hilang. Dalam sebuah webinar yang diadakan oleh Perempuan Mahardhika berjudul Kiprah Perempuan Muda dalam Sejarah Pergerakan Perempuan Indonesia yang diadakan pada tanggal 24 September 2020, Ita menceritakan upaya-upaya pembebasan yang dilakukan oleh perempuan Indonesia. Dalam menceritakan ulang mengenai upaya pembebasan perempuan melawan penjajahan, Ita menggunakan teori dari Chandra Talpade Mohanty dalam bukunya yang berjudul Feminism Without Borders, Decolonizing Theory Practicing Solidarity. Melalui metode dekolonisasi, Mohanty menulis tentang persimpangan dan agensi perjuangan perempuan dalam Gerakan dekolonisasi dan internasionalisme. Teori Mohanty menjadi panduan Ita dalam meneliti posisi perempuan melawan penjajahan.
Ita membagi Gerakan perempuan ke dalam beberapa tonggak-tonggak periode. Tonggak pertama, Ita melihat Awalnya Kebangkitan Anti Kolonialisme pada awal abad 20 dengan didirikannya organisasi perempuan pertama. Organisasi perempuan pertama bernama Poetri Mardika, Putri Sejati dan Wanita Oetama menyuarakan mengenai emansipasi nasional. Mereka mengambil gagasan ini dari pemikiran dan catatan Kartini yang menulis tentang emansipasi dalam pendidikan bagi kaum pribumi.
Gerakan perempuan menggunakan istilah emansipasi dalam membebaskan perempuan dari permasalahan dan tantangan perempuan yang ada pada saat itu. Saat itu masalah perempuan berkutat pada buta huruf, minimnya akses untuk perempuan pribumi, poligami dan perkawinan anak. Oleh karena itu dalam menjawab permasalahan perempuan yang ada, gerakan perempuan selanjutnya kemudian fokus kepada pendidikan perempuan baik secara politik maupun secara pemberdayaan seperti pendidikan keterampilan hingga penguatan berbasis ekonomi dan koperasi.
Gerakan perempuan tidak berhenti dimasalah-masalah sehari-hari saja namun mereka mentransformasi persoalan keseharian tersebut sebagai modal untuk menuntut hak-haknya. Pada tahun 1926, buruh perempuan di Semarang yang tergabung dalam Sarekat Rakyat mengadakan demonstrasi untuk menuntut upah yang setara dan perlakuan yang adil antara buruh perempuan dan lelaki. Dalam berdemonstrasi perempuan Sarekat Rakyat menggunakan caping bambu. Mereka melakukan konsolidasi dan menyusun tuntutannya sendiri. Sayangnya dokumentasi dari flyer demonstrasi ini disimpan di Belanda.
Perlawanan yang dilakukan oleh Gerakan Sarekat Rakyat Perempuan mendukung revolusi kaum komunis yang menentang penjajahan Belanda menyebabkan aktivis perempuan yang tergabung dalam demonstrasi tersebut di buang ke Boven Digul oleh Belanda. Aktivis perempuan yang dibuang ke Boven Digul terpaksa membawa anaknya dan membesarkan anaknya. Walaupun hidup dalam pengasingan, para aktivis perempuan tidak berhenti melakukan pendidikan politik kepada anak-anaknya dan perempuan-perempuan di sekitarnya. Peristiwa ini menjadi awalnya tonggak kedua dalam memperjuangkan emansipasi nasional dari Belanda.
Tonggak kedua dari periodisasi Gerakan perempuan terlihat dalam konsolidasi pemikiran dan semangat perjuangan, menuju kemerdekaan dan perbaikan nasib perempuan di Hindia Belanda saat itu. Konsolidasi ini diwujudkan dalam diselenggarakannya Kongres Perempuan I pada 22 Desember 1928. Agenda kongres saat itu berpusat pada persatuan perempuan nusantara, peranan perempuan dalam perjuangan kemerdekaan, perbaikan gizi, peningkatan Kesehatan ibu dan anak, pelarangan pernikahan dini, anti poligami hingga perdagangan perempuan.
Pada Kongres Perempuan ke II pada 1934, dibentuklah badan khusus untuk memberantas buta huruf yang disebut dengan Badan Pemberantasan Buta Huruf (BPBH). Selain itu mereka juga merumuskan pentingnya penghapusan kekerasan di dunia kerja, dalam kongres tersebut mereka menentang perlakuan tidak wajar atas upah buruh perempuan di perusahaan-perusahaan batik di Lasem dan Rembang. Buruh perempuan dari perusahaan batik Lasem dan Rembang berbicara mengenai masalah mereka di hadapan kongres perempuan. Banyak dari mereka yang usianya masih muda namun sudah dipekerjakan. Usia dari buruh perempuan yang maju dan bersuara pun beragam, yang paling muda berusia 11 tahun yang saat itu ia bekerja bahkan tak diupah.
Membebaskan perempuan dari buta huruf dan menuntut upah layak adalah agenda dalam membebaskan perempuan dari segala bentuk penjajahan yang membuat perempuan tak memiliki hak untuk dapat berdaya dan bertahan hidup. Hal ini dilihat sebagai hal yang krusial dan mendasar jika mereka ingin melawan penjajahan Belanda, karena hal ini berkaitan erat dengan kesejahteraan hidup perempuan. Mereka melihat tak akan pernah ada kemerdekaan Indonesia jika perempuan masih menghadapi penindasan akibat tak bisa baca menulis dan tak memiliki upah layak dan setara.
Pemikiran mengenai Emansipasi Nasional dari segala bentuk penjajahan yang menindas perempuan ini sudah ada sejak lama. Ia berangkat dari hal-hal yang paling dekat dengan kehidupan perempuan.
Pada 1929, Perhimpunan Istri Indonesia melakukan Gerakan untuk menghapus perdagangan perempuan dan anak. Mereka bergerak ke desa-desa untuk memberikan pendidikan dalam melawan poligami dan perkawinan anak.
Selain melakukan pendidikan, Gerakan perempuan lainnya melihat masalah lain yang harus dijawab seperti yang dilakukan oleh organisasi Isteri Sedar. Isteri Sedar muncul sebagai organisasi perempuan yang bernafaskan politik sosialisme. Ia fokus pada perjuangan emansipasi nasional dan pembebasan dari penjajahan Belanda melalui perjuangan anti kapitalisme. Ia dengan eksplisit menyebutkan perlawanan terhadap kolonialisme dan kapitalisme Belanda.
Untuk mendapatkan massa yang besar, organisasi yang dipimpin oleh lelaki membutuhkan dukungan dari organisasi perempuan. Dukungan ini juga menjamin kesetaraan dalam undang-undang dasar 1945. Setelah Kongres Wanita Nasional di Klaten pada bulan Desember 1945, maka dibentuklah Kongres Wanita Indonesia (KOWANI) sebagai federasi yang memayungi seluruh organisasi perempuan dalam mendukung kemerdekaan Indonesia. KOWANI didirikan sebagai bentuk politik perempuan dalam melakukan konsolidasi dan menyuarakan kepentingan politik perempuan dengan berbagai partai yang mulai bermunculan pada tahun 1945.
Gerakan perempuan dari masa ke masa menunjukkan bagaimana perempuan membangun agensinya sendiri. Tak hanya memberdayakan dirinya sendiri, ia membangun agensi di luar dirinya melalui pendidikan politik yang dilakukan melalui pemberantasan buta huruf. Walaupun ideologi Gerakan perempuan yang ada saat itu bermacam-macam, namun mereka bisa bersatu untuk menyuarakan kepentingan mereka bersama-sama dalam melawan penjajahan yang menindas perempuan. Penjajahan kolonial Belanda berkaitan erat dengan masalah-masalah perempuan yang ada saat itu seperti buta huruf, poligami, perkawinan anak hingga upah buruh yang tak layak. Gerakan perempuan Indonesia berangkat dari masalah-masalah nyata.